Fenomena Awan Cerah Malam Hari

SAAT malam tiba membuat suasana gelap tanpa ada lampu dan tiba-tiba di ujung bumi tem­pat kalian berpijak, di cakrawala, terlihat awan yang bercahaya atau langitnya masih terang, maka itu­lah awan Noctilucent.

Awan Noctilucent adalah awan tipis yang berwarna putih ke­pe­rakan dan dapat dilihat da­lam beberapa malam musim pa­nas di arah utara dekat cakra­wa­la, yang pernah terlihat di Ero­pa dan Rusia. Awan Noctilucent memiliki nama lain yaitu Polar Mesospheric Clouds (PMC).

Berbeda dengan awan-awan lain seperti Awan Lenticular, Awan Mammatus atau­pun Un­dulatus Asperatus yang memiliki ke­tinggian maksimal 15 km, awan ini justru berada di keting­gian 80-85 km (sekitar 50-53 mil) di bawah Menopause, bagian terdingin dari atmosfer. Awan Noctilucent terdiri dari kristal es yang sangat kecil dengan diameter sekitar 0,1 mikron (1/10.000 mm).

Orang dapat melihat awan Noc­tilucent karena diakibatkan oleh sinar matahari yang tersebar oleh kristal yang cukup untuk menunjukkan efek warna-warni dari pembiasan cahaya matahari ter­sebut. Warna tersebut muncul pada langit yang gelap yang ma­sih diterangi oleh sinar matahari.

Warna biru yang muncul ke­mungkinan merupakan hasil dari penyerapan cahaya berwarna me­rah oleh lapisan ozon di stratosfer. Kadang-kadang warna yang mun­cul adalah merah dan emas yang merupakan hasil dari ca­haya matahari yang rendah yang menerangi mereka. Namun ada juga awan Noctilucent yang berwarna hijau.

Awan Noctilucent hanya da­pat terbentuk ketika suhu mesopause sangat rendah. Suhu yang rendah ini biasanya terjadi antara pertengahan bulan mei hing­ga pertengahan bulan agus­tus. Pem­bentukan awan ini mem­butuhkan kombinasi dari suhu yang rendah, uap air dan inti es yang dapat tum­buh. Awan Noctilucent diper­kirakan akan terlihat lebih sering dan lebih cerah di da­erah yang rendah. Ke­giatan ma­nusia juga kemung­kinan ber­kontribusi atas penampakan awan Noctilucent.

Serangkaian letusan besar dari gunung berapi Krakatau pada akhir agustus 1883 mungkin telah kebetulan membantu untuk me­narik perhatian orang-orang atau peneliti terhadap fenomena awan Noctilucent. Debu dan abu yang disuntikkan ke atmosfer yang tinggi dari gunung Krakatau asli In­donesia ini menyebabkan ma­ta­hari terbenam yang spekta­kuler dan penuh warna di seluruh dunia selama beberapa tahun.

Pada malam 8 juni 1885, TW Backhouse mengagumi satu ma­tahari terbenam yang indah ter­sebut di Kissingen, Jerman, saat dia melihat sesuatu yang agak aneh: suasana yang gelap dan mun­cul cahaya kemerahan yang me­mudar dan melihat filament tipis berwarna putih kebiruan yang tampak bersinar di utara dan langit laut.

Pada saat itu, para ilmuwan menolak efek ini dan berangga­pan bahwa peristiwa itu disebab­kan oleh abu vulkanik letusan gu­nung Krakatau. Setelah bebe­rapa tahun, akhirnya abu dari letusan gunung Krakatau mulai habis. Meskipun demikian, ter­nyata peristiwa yang dilihat oleh TW Backhouse masih tetap terjadi.

Terdapat beberapa perdebatan mengenai siapa yang pertama kali melihat peristiwa awan Noctilucent. Beberapa dari mereka ber­pen­dapat bahwa TW Bac­khouse bukanlah orang yang pertama kali menunjukkan awan Noctilucent, karena dalam sebuah laporan tahun 1854, Thomas Romney Ro­binson mengkomunikasikan pe­ngamatan pribadinya dari “sifat pendar awan biasa” di Armagh, Irlandia. Jadi, mereka me­nya­takan bahwa kemungkinan Thomas Romney Robinson telah membuat referensi awan Noctilucent 31 tahun sebelum TW Backhouse.

Payudara

Mammatus Clouds atau dise­but juga Mammatocumulus arti­nya “awan susu” atau “awan pa­yu­dara”,  merupakan istilah me­teo­­rologikal yang sering dikait­kan dengan gumpalan-gumpalan atau kantong yang tergantung di bawah dasar awan dan merupa­kan suatu fenomena yang sangat langka.

Nama Mammatus diambil dari bahasa latin Mamma yang artinya puting atau payudara, karena ben­tuknya yang menyerupai bagian tubuh wanita, yaitu payudara.

Awan Mammatus biasanya dihubungkan dengan badai petir. Bahkan, jika awan ini terbentuk pada awan kumulonimbus, maka awan mammatus dijadikan se­bagai pertanda akan datang ba­dai besar atau bahkan badai tornado. Menurut beberapa penda­pat, awan ini bisa muncul sebe­lum atau sesudah badai/tornado.

Namun ada juga yang ber­pendapat, bahwa awan Mam­ma­tus tidak memiliki hubungan de­ngan munculnya cuaca buruk seperti badai dan tornado, mes­ki­pun awan ini juga kerap muncul sebelum badai terjadi. Hal ini menjadikan awan Mam­matus tidak bisa dijadikan sebagai si­nyal pasti akan datangnya cuaca yang buruk, dan hanya dapat dija­dikan sebagai sinyal ‘kemung­kinan’ akan terjadi cuaca buruk saja. Awan Mammatus terdiri dari kum­pulan bentuk lobus atau cuping (seperti payudara) dengan masing-masing berukuran sama maupun memiliki ukuran yang berbeda-beda. Tiap lobus yang membentuk formasi awan ini me­miliki diameter rata-rata 1 hingga 3 km dan panjang rata-rata 0,5 km.

Sebuah lobus bisa bertahan rata-rata 10 menit, namun jika ber­kelompok dapat berkisar dari 15 menit hingga berjam-jam. Awan ini biasanya terdiri dari kris­tal es, tapi juga bisa berupa campuran kristal es dan air, atau hampir seluruhnya air.

Proses terjadinya awan ini di awali dengan naiknya uap air ke udara dan terus naik ke atas. Sete­lah berada di atas, uap tersebut berubah menjadi embun dan mem­bentuk awan. Namun tete­san air dari embun tersebut beru­bah menjadi Kristal es, yang ter­jadi pada ketinggian mencapai 57.000 kaki di atas permukaan.

ada saat itu, gerakan awan ke atas mulai lemah, sehingga air me­nyebar secara horisontal. Kris­tal es kemudian mulai tenggelam (hampir jatuh ke bawah) di dasar awan karena lebih padat dari udara disekitarnya. Sementara, di dasar awan mengalami kelem­bapan yang tinggi, sehing­ga kristal air terus tenggelam (ham­pir jatuh ke bawah) dan mencipta­kan kantong awan yang biasa disebut Mammatus. (ubc/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi