Oleh: Iranda Novandi
“PEMBANGUNAN juga harus kita lakukan dengan menjaga kelestarian hutan dan sumber daya alam, agar pembangunan bangsa kita dapat berkesinambungan. Kita membangun memang bukan hanya untuk kepentingan kita yang hidup sekarang. Kita juga membangun untuk kepentingan generasi yang akan datang.”
Begitu penggalan pidato Presiden ke 2 Republik Indonesia, Soeharto, saat memperingati Puncak Penghijauan dan Konservasi Alam Nasional (PPKAN) dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) di salah satu perbukitan di Gampong (desa) Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, 21 Desember 2995.
Di atas bukit yang dijadikan lokasi PPKAN pada 22 tahun lalu itu, akhirnya dikenal dengan sebutan Bukit Soeharto. Dulu, di area bukit ini ada bangunan berupa rumah atau masyarakat menyebutnya villa. Bangunan ini sempat dijadikan oleh Soeharto sebagai tempat peristirahatan saat kunjungan ke Aceh.
Dari atas bukit ini, bisa disaksikan hamparan laut lepas yang merupakan bagian dari Selat Malaka. Hamparan perbukitan bagaikan savana. Meskipun terasa gersang, namun bisa memanjakan mata bagi siapa pun yang berkunjung ke daerah yang berjarak sekitar 35 kilometer dari pusat kota Banda Aceh ini.
Sejumlah pepohonan nan rindang membuat suasana menjadi lebih nyaman dan dingin untuk beristirahat menghilangkan penat dan lelah. Di atas bukit dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) juga terdapat sebuah meriam kuno peninggalan tentara Jepang pada 1943.
Seiring dibangunnya kawasan PPKAN ini, meriam Jepang yang dahulunya terletak di Gunung Momong Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, dipindahkan ke daerah tersebut yang letaknya persis di sisi tugu PKAN yang ditandatangani Pak Harto pada 21 Desember 1995.
Akan tetapi, menurut penuturan warga setempat, saat konflik Aceh pecah kembali pada tahun 2000, lokasi ini menjadi kawasan angker dan ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Villa yang ada dirusak dan dihancurkan.
Konon, pohon cemara yang ditanam oleh Pak Harto dicabut. Begitu juga pohon cempaka atau dalam bahasa Aceh disebut pohon Jeumpa. Yang tinggal cuma tapak atau bekas lokasi penanaman yang terbuat dari semen.
Sedangkan pohon lainnya yang ditanam para menteri saat itu, di antaranya Menteri Pangan/Kepala Bulog Ibrahim Hasan, Menteri Olahraga Hayono Isman, Mendagri Yogie S Memed, Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja dan menteri lainnya sebagian juga ada yang sudah mati, termasuk pohon yang ditanam Panglima ABRI saat itu Jenderal TNI Faisal Tanjung.
Satu yang masih tersisa dan masih berdiri kokoh meskipun terkesan kurang perawatan yakni meriam Jepang. Andaikata meriam yang memiliki panjang sekitar 3 meter lebih dengan bobot yang sangat berat itu tidak terbuat dari besi, bisa jadi juga sudah jadi besi kiloan di pasar loak.
Lokasi wisata
Kini, setelah Aceh bebas dari konflik bersenjata, kawasan ini kembali dibuka untuk umum dan dijadikan objek wisata.
Menurut warga setempat, Aisyah, setiap akhir pekan dan hari Minggu banyak warga berlibur ke sini, terurtama kalangan generasi muda walau tidak sedikit juga yang telah berkeluarga.
Bagi yang hendak berkunjung ke Bukit Soeharto ini, bisa menempuh perjalanan dari Banda Aceh ke arah Krueng Raya, Aceh Besar, yang berjarak sekitar 35 kilometer. Lintasan ini saat ini banyak digunakan warga karena juga bisa tembus ke daerah Laweung, Kecamatan Muara Dua, Pidie.
Sebagaimana layaknya sejumlah destinasi wisata lainnya di Aceh Besar dan Aceh umumnya, warga setempat memungut biaya masuk ke kawasan Bukit Soeharto Rp10.000 baik roda dua maupun roda empat.
“Biaya masuk ini dihitung per kendaraan, bukan per orang,” ujar perempuan paruh baya yang menjadi penjaga pintu masuk ke bukit tersebut.
Pengunjung selain bisa menikmati pemandangan alam dan suasana damai, juga tersedia makanan dan minuman ringan, seperti mi instan yang dimasak dengan bumbu mi Aceh, kelapa muda, serta minuman pabrikan yang harganya relatif terjangkau.
Di Bukit Soeharto ini memang banyak cerita yang menjadi konsumsi dan rahasia umum masyarakat setempat. Misalnya, saat masa konflik dulu, daerah ini sempat djadikan lintasan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk lari dan bersembunyi.
Bukit yang terletak di Lamreh ini, layaknya bukit Soeharto yang berada di Blitar, Jawa Timur dan Kalimantan Timur (Kaltim), memang banyak cerita yang sepertinya tak habis untuk disampaikan. Tentunya cerita itu menjadi pemikat bagi mereka yang ingin berkunjung ke daerah tersebut.
Namun, kembali ke pesan Pak Harto di awal tulisan ini bahwa “Kita membangun memang bukan hanya untuk kepentingan kita yang hidup sekarang. Kita juga membangun untuk kepentingan generasi yang akan datang”, upaya konservasi dan reboisasi perlu dilakukan.
Ini menjadi tugas besar Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemkab Aceh Besar agar bisa menjadikan kawasan ini kembali menjadi kawasan hijau.
Upaya penghijaun ini juga sekaligus merawat jejak sejarah yang pernah terukir di Aceh, bahwa daerah ini pernah menjadi persinggahan Presiden ke 2 RI. Kawasan persinggahan yang kini sudah rata dengan tanah. Cuma tersisa puing-puing bangunan saja.
Terlebih, sebagaimana catatan aktivis dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan, bahwa banjir dan longsor yang terjadi di Aceh selama ini dikarenakan fungsi hutan sebagai penyangga sudah rusak.
Kita berharap ada pihak yang peduli masalah ini. Sebelum semuanya menyesal dan menyalahkan bencana sebagai kambing hitam.