Oleh: Barlian Erliadi
Cengkeh memang salah satu komoditi ekspor andalan di Indonesia. Bagi masyarakat Simeulue, Aceh, hasil alam peninggalan Belanda ini pun menjadi harapan perbaikan ekonomi setiap tahun karena selalu berbuah setiap tahun bila dirawat dengan baik. Namun, terkadang, bila luput dari perawatan, cengkeh pun enggan berbunga.
Tradisi musim panen cengkeh bukan saat ini saja dirasakan masyarakat daerah ini. Pada awal 1980-an, pulau Simeulue sempat jaya dengan hasil alamnya yang bernilai jual tinggi itu. Bahkan, Simeulue ketika itu menjadi daerah tujuan pencari kerja untuk mendulang rupiah. Saat itu, petani cengkeh tidak bisa dipandang sebelah mata karena sukses meningkatkan taraf ekonomi dengan memproduksi komoditi yang bernilai jual tinggi.
Kini, musim panen cengkeh kembali menghampiri kepulauan Simeulue. Antusiasme warga menyambut panen raya cengkeh ini menggantungkan harapan bahwa ekonomi sedikit berdenyut di pulau ini.
Sekitar 95 persen penduduk asli Simeulue memiliki kebun cengkeh. Ada kebun yang merupakan warisan, ada juga kebun jerih payah sendiri. Di setiap lereng dan puncak pegunungan di pulau ini, tampak dipenuhi rimbunnya daun cengkeh.
Musim petik cengkeh sudah berlangsung dua pekan lalu. Setiap pagi, warga berangkat ke kebun masing-masing. Banyak di antara petani memilih berangkat sekitar pukul tujuh pagi. Karena, pada pagi hari, tubuh masih bugar dan kuat sehingga saat mendaki gunung tidak terlalu lelah. Apalagi, mayoritas kebun cengkeh warga berada di pegunungan.
Jalan-jalan kecil di sela-sela lereng sengaja dibuat untuk mempermudah akses ke kebun. Bahkan, jalan-jalan setapak ke kebun yang puluhan tahun lalu ada, kini kembali dibuka warga.
Hiruk pikuk dan suara para pemetik cengkeh memecah keheningan lereng dan bukit-bukit pegunungan di Simeulue. Kawasan perkampungan terlihat sunyi, karena banyak warga memanfaatkan waktu untuk memetik cengkeh milik sendiri maupun milik warga lainnya.
Ayunan langkah para petani dan pemetik cengkeh menyasar lereng pegunungan. Celotehan mereka sambil menantang bukit-bukit, disambut hangat kicauan burung dan monyet, memacu semangat petani untuk mendaki. Tak peduli keringat bercucuran.
Setiba di kebun, pemetik mempersiapkan empang, tali dan sabit, untuk dibawa ke atas pohon cengkeh setinggi rata-rata 6 meter hingga 10 meter. Tali digunakan untuk mengikat dahan di bagian pucuk agar tidak terlalu berayun oleh tiupan angin. Sementara, sabit yang terbuat dari besi seukuan jari tangan digunakan untuk menarik dahan cengkeh.
Aktivitas ini menjadi rutinitas warga Simeulue setiap musim panen cengkeh. Sore hari, para pemetik mulai turun dari kebun sambil membawa cengkeh yang sudah dipetik dari batangnya.
Memetik cengkeh terbagi dalam dua tahapan, yakni memetik dari batang untuk memisahkan cengkeh beserta tangkainya dari pohonnya, dan memetik cengkeh tahap kedua yaitu memisahkan buah cengkeh dari tangkainya saat tiba di rumah masing-masing.
Kemeriahan musim panen cengkeh bukan saja berlangsung pada siang hari. Pada malam hari juga meriah aktivitas memetik cengkeh (petik dari tangkai) di rumah-rumah penduduk. Ada yang memetik bersamaan dengan pemetik-pemetik lainnya, ada juga yang memilih memetik sendiri-sendiri.
Upah Memetik
Hari itu, Sabtu (27/1), salah satu pemetik cengkeh di kebun cengkeh di Kecamatan Teupah Barat, adalah Farin (12). Bocah ini mengaku senang dengan datangnya musim panen rempah-rempah ini.
Meski cukup belia, kemampuannya memetik cengkeh tak perlu diragukan. Dalam sehari, dia bisa memetik hingga 11 bambu (ukuran 2 liter) cengkeh. Hal ini jauh lebih banyak dibanding hasil pemetik cengkeh seusianya yang rata-rata hanya mampu 5 bambu.
“Saya senang musim panen cengkeh, bisa memetik cengkeh dan hasilnya bisa untuk membeli keperluan sekolah. Saya juga bisa membantu ibu,” tuturnya sambil mengayunkan langkah menapaki tanjakan, mendaki salah satu pegunungan kebun cengkeh yang dinamakan gunung Mamplam di Teupah Barat itu.
Upah memetik cengkeh, bila bukan milik sendiri, yakni Rp15 ribu/bambu.
“Kalau cengkeh punya sendiri, tentu bagi satu saja alias 100 persen milik sendiri. Tetapi kalau kita diminta warga lainnya untuk membantu memetik cengkeh, sekarang upahnya Rp15 ribu/bambu. Misalnya saya memanjat dan mendapat 10 bambu, upah saya Rp150 ribu,” kata Kholis, seorang pemetik cengekh.
Upah petik berbeda-beda sesuai permintaan pekerja. Kalau pekerja meminta upah dengan cengkeh, pasaran upahnya sekitar 50 persen. “Kalau dapat 10 bambu, upah petik 5 bambu mentah,” terangnya.
Musim panen cengkeh memang sedang datang ke Simeulue. Suasana panen saat ini terasa seperti suasana era 1980-an. Saat ini seluruh cengkeh milik warga berbuah. Lalu, saat anjloknya harga cengkeh 1990-an, warga mulai membiarkan kebun cengkehnya, dipenuhi semak belukar.
Ketika itu, masyarakat menganggap, percuma memanen cengkeh karena harganya hanya Rp1.500/kg, anjlok dari sebelumnya Rp8.000/kg. Kemudian, banyak tanaman cengkeh penduduk yang tidak produktif lagi akibat tak terurus.
Sejak era reformasi, tepatnya saat runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto, harga cengkeh kembali melejit hingga mencapai Rp30 ribu/kg dan terus naik mencapai Rp200 ribu pada 2013.
Sejak kenaikan harga ini, petani mulai merawat kebunnya dan hasilnya setiap dua tahun berbuah. Bahkan ada cengkeh yang berbuah setiap tahun.
Setelah belasan tahun kurang produktif, akhirnya awal 2018 ini, tanaman cengkeh Simeulue kembali produktif. Dan, baru kali ini seluruh pegunungan Simeulue hijau dengan buah cengkeh.
Meski harga cengkeh kini berkisar Rp75 ribu-85 ribu, masyarakat mengaku masih diperhatikan. Tapi, kalau harga cengkeh kembali anjlok seperti zaman Soeharto, bukan tidak mungkin cengkeh Simeulue akan kembali hancur.
Masyarakat daerah kepulauan ini hanya berharap pemerintah bisa memperhatikan nilai jual hasil alam berkualitas ekspor ini.