Oleh: H Harun Keuchik Leumiek.
DI Jakarta ada salah satu destinasi wisata menarik berlokasi di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Destinasi ini termasuk dalam kawasan elite Menteng, tak jauh dari Pasar Cikini. Di sini terdapat sekitar 202 kios yang menjual khusus berbagai jenis benda antik yang sangat lengkap.
Kios-kios berukuran 3 x 4 meter itu, rata-rata dipenuhi segala barang antik. Bila Anda punya hobi mengoleksi barang antik, di Jalan Surabaya inilah tempat penjualan terlengkap di kota Jakarta.
Kabarnya, keberadaan kios-kios yang letaknya berderet sekitar 700 meter sepanjang jalan ini, dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1970-an. Sampai sekarang, kios-kios itu masih cukup ramai dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar negeri. Dulu Gubernur Jakarta menetapkan Jalan Surabaya sebagai salah satu kawasan wisata utama ibukota.
Penulis sendiri bila ke Jakarta selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi kawasan ini untuk melihat barang-barang antik. Kalau ada yang menarik sesuai hasrat, akan dibeli untuk menambah koleksi benda antik dalam museum pribadi penulis di Banda Aceh.
Setiap mengunjungi kawasan wisata ini, penulis selalu menyusuri satu demi satu kios. Banyak sekali barang antik yang dipajang rapi dan teratur dalam hampir semua kios tersebut.
Para wisatawan yang datang dari dalam dan luar negeri ini umumnya adalah mereka yang suka dan pehobi benda klasik. Para turis ini ada yang dari Asia dan Eropa, seperti Jepang, Korea, Italia, Jerman, Inggris dan Belanda. Bahkan, mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, pernah mengunjungi tempat wisata ini.
Harga barang antik yang ditawarkan di sini sangat bervariasi. Harus hati-hati menawarnya. Lebih-lebih bila penjualnya mengetahui bahwa kita sangat meminatinya. Kita mesti lihai tawar-menawar harga untuk bisa mendapatkan barang sesuai keinginan dengan harga yang murah.
Menyangkut keaslian barang antik yang dijual di sini, memang harus hati-hati. Kita mesti pandai melihatnya: apakah orisinal atau tidak, asli atau duplikat.
Kita dituntut teliti. Karena, di antara barang-barang antik itu banyak juga barang baru yang dituakan dengan menggunakan berbagai teknik sehingga barang tersebut hampir tak ada bedanya dengan barang antik yang asli.
Di kios wisata Jalan Surabaya ini, kita juga banyak menemukan berbagai macam porselen dan keramik, baik dalam bentuk piring, vas bunga, mangkok, guci, pelumat (kamcheng). Juga berbagai bentuk senjata tradisional dari berbagai daerah.
Ada juga lampu gantung, dan benda-benda antik lainnya yang terbuat dari kuningan, seperti gramofon dan piringan hitam dari dalam dan luar negeri buatan 1960-1970-an.
Selain itu, juga dijual koin (mata uang zaman dulu), kain tetun, berbagai jenis patung, ukiran kayu dan perunggu, buku tua dan barang elektronik buatan zaman dulu. Demikian juga perkakas rumah tangga serta berbagai jenis barang antik lainnya.
Di sepanjang jalan ini juga banyak terdapat bangunan perumahan elite yang terkesan mewah, tapi bentuk bangunannya sudah kelihatan kuno, yang di sekelilingnya ditumbuhi pepohonan rindang dengan pohon-pohon yang sudah tua.
Menemukan siwah
Setelah menghabiskan waktu lebih kurang dua jam menyusuri kios-kios, akhirnya penulis sampai di sebuah kios. Terletak paling ujung, nomor 202. Kios ini milik Dasril (55).
Di sini, terlihat beberapa senjata tradisional yang terpajang rapi dalam sebuah etalase. Salah satu yang dipajang tersebut adalah senjata tradisional kebesaran dalam adat Aceh yang bernama siwah.
Begitu melihat senjata khas bangsawan Aceh itu—karena penulis kolektor benda-benda budaya sejarah Aceh, penulis sedikit kaget, tapi berusaha tidak memperlihatkannya kepada pemilik kios.
Setelah memperhatikan dengan teliti, siwah tersebut merupakan buatan H Mansyur yang berdomisili di Rantau Panjang, Meulaboh, Aceh Barat.
Orang di pantai barat-selatan Aceh lebih mengenal Mansyur dengan panggilan Utoh Mansor. Dia memang seorang pekerja (utoh) yang sangat pandai membuat perhiasan dan senjata tradisional Aceh dari emas, terutama dalam bentuk nukilan-nukilan cawardi, baik dalam bentuk rencong maupun siwah. Penulis sendiri telah mengenal Utoh Mansor ini sejak 1970-an.
Siwah yang penulis dapatkan di kios Dasril hari itu terbuat dari emas yang dipadukan dengan suasa. Sarungnya terbuat dari perak. Siwah ini dihiasi dengan permata yang umurnya diperkirakan sekitar 45 tahun sehingga status siwah tersebut sudah dapat dikatakan sebagai barang antik yang langka.
Mansur sendiri pernah cukup lama bekerja pada usaha toko emas penulis di Banda Aceh. Beliau sangat mahir membuat siwah, rencong, pedang tumpang jingki, pedang daun tebu, dengan menggunakan bahan baku emas, suasa dan perak dengan memakai ukiran cawardi. Mansur meninggal dunia di Meulaboh pada awal 1990-an.
Mungkin, siwah di kios Dasril ini dulunya dibeli seseorang di toko emas penulis di Banda Aceh, yang kemudian dijual kembali ke kios suvenir milik Dasril.
Saat ditanyakan tentang harga siwah itu, Dasril membuka menyebutkan senilai Rp22,5 juta. Akhirnya, setelah melalui tawar-menawar, siwah itu dilepas dengan harga Rp15 juta.
Sebenarnya, kalaupun siwah itu dijual dengan harga Rp25 juta, penulis tetap akan membeli. Sebab, siwah itu telah menjadi barang klasik. Apalagi, siwah ini terbuat dari emas, suasa dan perak dengan ukiran cawardi yang sangat indah. Jadi, harga Rp15 juta ini tidak terlalu mahal bila dilihat pada bahan baku yang digunakan untuk pembuatannya.
Sekarang, siwah ini telah menambah koleksi dalam museum pribadi penulis di Banda Aceh.