PELATUK ialah burung dari ordo Piciformes. Ditemukan di seluruh dunia dan termasuk sejumlah spesies, biasanya berjumlah 218 (termasuk Pelatuk paruh gading).
Beberapa burung pelatuk dalam ordo Piciformes memiliki kaki zigodaktil, dengan dua jari kaki mengarah ke depan, dan 2 lainnya ke belakang.
Beberapa spesies hanya memiliki tiga jari kaki. Lidah panjang yang ditemukan pada beberapa burung pelatuk dapat dijulurkan keluar untuk menangkap serangga.
Burung pelatuk mendapatkan namanya dari kebiasaan beberapa speiesnya menyadap dan mematuk batang pohon dengan paruhnya. Ini adalah alat komunikasi kepemilikan daerah melalui sinyal kepada saingan-saingannya, dan cara mencari dan menemukan larva serangga di bawah kulit kayu atau terowongan berliku yang panjang di pohon.
Kini prilaku burung pelatuk yang mencari makanannya menjadi bahan penelitian ilmuwan. Tim ilmuwan di fakultas kedokteran Universitas Boston mempelajari otak burung pelatuk untuk mengetahui seberapa besar patukan mempengaruhi kepala burung tersebut. Seperti yang diketahui, burung pelatuk ribuan kali menghempaskan kepala ke batang pohon sepanjang hidup, namun burung-burung ini tetap bertahan hidup selama 25 juta tahun ini.
Kendati demikian, riset yang hasilnya disiarkan baru-baru ini menunjukkan untuk pertama kali bahwa semua kegiatan mematuk ini membawa konsekuensi pada otak burung pelatuk.
Menurut para ilmuwan, satu penelitian menemukan bangunan protein yang disebut tau dalam otak burung pelatuk yang pada manusia berkaitan dengan kerusakan otak akibat penyakit neurodegeneratif dan trauma kepala.
Para ilmuwan meneliti jaringan otak dari burung pelatuk Downy dan burung hitam bersayap merah, yang tidak termasuk burung pelatuk, dari koleksi Field Museum di Chicago dan Harvard Museum of Natural History. Hasil penelitian menunjukkan burung-burung pelatuk memiliki bangunan tau. Burung hitam tak memilikinya.
Perbedaan antara
protektif atau patologis
"Asumsinya burung-burung pelatuk tidak mengalami cedera otak," ujar George Farah, yang melakukan penelitian dan hasilnya disiarkan di jurnal PLOS ONE itu sebagai mahasiswa pasca-sarjana Boston University School of Medicine.
"Riset ini tampaknya menunjukkan yang sebaliknya." Para ilmuwan sekarang berusaha menentukan apakah bangunan tau burung pelatuk merupakan indikasi kerusakan otak atau apakah malah berfungsi protektif.
"Saya melatih football, membiarkan anak lelaki saya main football dan saya juga main," tandas ahli neuropatologi Boston University School of Medicine, Peter Cummings.
"Suatu hari di laboratorium saya berbicara ke profesor yang lain tentang bagaimana kita merancang perlengkapan keamanan olahraga yang berbeda, seperti helm football, berdasarkan biomekanika burung pelatuk, namun belum ada yang melihat bagaimana kondisi otak burung pelatuk."
Burung pelatuk melakukan beberapa penyesuaian untuk mengurangi dampak kegiatan patukannya, yang melibatkan paruh, tengkorak, lidah dan ruang antara otak dan tengkorak mereka.
Mereka menghadapi g-force -- efek akselerasi tubuh-- dari mematuk untuk mendapat makanan seperti serangan dan getah pohon atau menarik pasangan. Mematuk menimbulkan gaya sampai 1.400 g. Seseorang bisa mengalami gegar otak dari gaya 60 sampai 100 g.
Tau membantu menstabilkan sel-sel syaraf otak, atau neuron. Kalau neuron rusak, satu bentuk tau bisa terbangun, kadang mengubah fungsi otak. Menurut Cummings, ada banyak tipe tau dan beberapa bisa jadi neuroprotektif. "Kalau benar mematuk menyebabkan peningkatan akumulasi tau, penelitian kami bisa memberitahu perbedaan antara yang mungkin protektif atau patologis," terang Cummings. (wkp/rtr/dmc/dm/es)