Oleh: Baharaja, SH., M.Kn
PERJANJIAN merupakan suatu persetujuan antara satu orang atau lebih yang mengikatkan diri terhadap pihak lain untuk melakukan suatu prestasi, dimana perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, serta didasarkan pada konsensus (Cum nexum faciet mancipiumque, uti lingua mancuoassit, ita jus esto). Kata sepakat disini menjadi asas kekuatan mengikat suatu perjanjian (the legal binding of contract, sehingga dengan demikian suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak karena kesepakatan tersebut dianggap berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunt servanda).
Sedangkan mengenai pengertian pembatalan perjanjian itu sendiri merupakan suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak pernah ada. Dengan adanya pembatalan perjanjian/kontrak, maka eksistensi perjanjian itu dengan sendiri akan menjadi hapus, dan akibat hukum kebatalan yang menghapus eksistensi kontrak selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya kontrak.
Didalam suatu proses pembentukan perjanjian terdapat adanya suatu asas penting yang telah memberikan kebebasan atau keleluasaan kepada setiap subjek hukum (natuurlijk person) untuk mengadakan, menciptakan, dan mengatur sendiri perjanjian-perjanjian baru (beginsel der contractsvrijheid) yang isinya menyimpang dari perjanjian yang diatur oleh Undang-Undang yang disebut sebagai “Asas Kebebasan Berkontrak” (freedom of contract).
Dengan kata lain, KUHPerdata sebagai hukum pelengkap (aanvullenrechts/ optional law) yang menganut sistim terbuka tidak melarang seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun dan dengan bentuk bagaimanapun perjanjian yang dikehendakinya sepanjang perjanjian itu dibuat tidak bertentangan dengan Undang Undang, kesusilaan maupun ketertiban umum (1337 KUHPerdata). Kebebasan setiap subjek hukum untuk menyimpangi aturan UU inilah dinyatakan sebagai bentuk pengimplementasian asas kebebasan berkontrak yang tidak boleh memuat adanya unsur paksaan/dures, dwang (pasal 1324 dan 1325 KUHPerdata), tidak karena kekhilafan/dwaling (pasal 1321 KUHPerdata) atau dikarenakan penipuan/bedrog (pasal 1328 KUHPerdata) sebagai bentuk cacat kehendak (wilsgebreken).
Mengenai eksistensi asas Kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini didalam hukum perjanjian tidak dapat berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari rangkaian sub sistim yang bersama-sama dengan asas asas lainnya untuk membentuk sebuah sistim dan menjadi landasan atau pondasi guna menopang kokohnya suatu norma hukum, dimana Norma-Norma hukum tersebut akan menjadi pilar dari dari sistim hukum perdata khususnya hukum kontrak itu sendiri yang berlandaskan pada pasal 1338 ayat (1) Buku III KUHPerdata, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa landasan fundamental dari hukum perjanjian seluruhnya didasarkan pada “asas Kebebasan Berkontrak”.
Meskipun asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) telah diakui sebagai bagian dari hak asasi setiap subjek hukum (natuurlijk person) sebagaimana dideklarasikan melalui Universal Declaration of Human Rights yang dilindungi oleh Undang Undang, bukan berarti kebebasan tersebut menjadi kebebasan tanpa batas (unriestried freedom), tetapi kebebasan itu mempunyai pembatas melalui penerapan Undang Undang, Itikad baik (good faith,goode trouw) ) serta kewajiban moralitas sebagai pembatas kehendak bebas.
Pemahaman klasik ditengah masyarakat mengenai eksistensi suatu perjanjian berdasarkan KUHPerdata adalah penerapan “Teori Asumsi Resiko” meskipun teori ini terkadang tidak memuat keadilan, dimana ajaran teori asumsi resiko ini menggariskan bahwa setiap perjanjian meskipun tidak difahami jika sudah disepakati dan ditandatangani harus wajib dipenuhi karena dianggap telah berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu hukum itu sendiri, telah terjadi pergeseran paradigma yang sangat signifikan terhadap hukum perjanjian itu sendiri, dimana eksistensi KUHPerdata saat ini tidak lagi dianggap sebagai Undang Undang atau dan hanyalah sebagai hukum pelengkap saja (aanvullend recht), sehingga jika sebelumnya paradigma asas kekuatan mengikat suatu perjanjian diletakkan pada kata “sepakat” (consencus), kini asas kekuatan itu justru diletakkan pada “Kehendak bebas” (free will/otonomi kehendak).
Pemahaman kata “sepakat” (consensus) didalam perjanjian tidak semestinya diartikulasikan secara sempit, karena terbentuknya kata sepakat didalam perjanjian haruslah “Kata Sepakat” yang berasal dari “Persesuaian Kehendak.” Jika seseorang terikat didalam suatu kontrak/perjanjian itu karena dia sendiri memang mengkehendaki keterikatan itu (ridwan khairandy; 2014), sehingga dengan demikian prinsip yang paling fundamental didalam suatu perjanjian adalah “kehendak Bebas” (free will, otonomi kehendak) dari para pihak yang menyatakan kehendaknya untuk melakukan sesuatu, dengan ketentuan bahwa seseorang tidak boleh secara terpaksa dalam memberikan kesepakatannya.
Suatu bentuk perjanjian yang dibuat meskipun mencantumkan kata sepakat, apabila kesepakatan itu tidak berasal dari kehendak bebas para pihak yang berasal dari pertemuan kehendak (meeting of mind), maka kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan terpaksa (contradiction in terminis). Adanya keterpaksaan didalam perjanjian justru menunjukkan bahwa didalam perjanjian itu sebenarnya tidak ada kesepakatan (Rosa Agustina ; 2012), sehingga meskipun perjanjian memuat kata sepakat dan telah ditandatangani, perjanjian tersebut dapat dimohonkan untuk dibatalkan melalui Pengadilan berdasarkan doktrin penyalahgunaan keadaan (misbruik Van osmtandigheiden doctrin/undue influence doctrin) sebagai bentuk cacat kehendak (wilsgebreken) yang keempat diluar KUHPerdata.
Doktrin penyalahgunaan keadaan ini dikenal di Belanda dengan istilah “misbruik Van osmtandigheiden” sedangkan di Negara penganut sistim hukum common law disebut sebagai doktrin “undue influence” yang merupakan doktrin terbaru didalam sistem hukum kontrak Belanda yang diadopsi dari hukum Inggris (common law) dan telah diterima sebagai salah satu doktrin “equity” sebagai perluasan dari ajaran “power of equity,” atau dengan kata lain doktrin ini sama sama berakar kepada doktrin keseimbangan (equity court) bersama doktrin doktrin lainnya seperti doktrin “Unconscionability” maupun doktrin “Promissory Estoppel,“ yang telah memberikan kewenangan bagi Pengadilan untuk mengintervensi suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat suatu penyalahgunaan posisi tidak seimbang diantara para pihak, serta berfungsi sebagai pembatas kehendak bebas yang cenderung tanpa batas (unrestricted freedom of contract).
Doktrin “Penyalahgunaan Keadaan (misbruik Van osmtandigheiden) ini merupakan suatu ajaran yang menyatakan bahwa suatu perjanjian/kontrak dapat dibatalkan karena tidak tercapai kesesuaian kehendak (meeting of mind) disebabkan oleh adanya usaha oleh salah satu pihak karena kedudukan yang lebih dominan sehingga mengendalikan pihak yang lebih lemah didalam suatu hubungan kontraktual dimana pihak yang mempunyai kedudukan dominan tersebut telah mempergunakan cara-cara persuasif untuk mengambil keuntungan yang tidak fair dari pihak yang lainnya. Dalam hal ini kata persuasif perlu digaris bawahi karena cara yang digunakan bukan cara paksa atau tipuan seperti yang dianut oleh Pasal 1321 KUHPerdata mengenai bentuk cacat kehendak.
Sedangkan mengenai cara pembatalannya, pihak yang merasa kepentingannya dirugikan didalam suatu perjanjian dikarenakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, harus mengajukan permohonan pembatalan melalui pengadilan, dan apabila tidak dimohonkan pembatalannya meskipun hubungan tersebut tidak seimbang, maka eksistensi perjanjian dianggap tetap berlaku dan berjalan sebagaimana semula.
Suatu ajaran/doktrin lain yang menyerupai doktrin penyalahgunaan keadaan (Misbruik van omstandigheiden) ini adalah doktrin “Ketidakadilan” (unconscionability) dimana doktrin ketidakadilan (Unconscionability doctrin) ini mengajarkan bahwa suatu Perjanjian dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan, manakala didalam perjanjian itu terdapat klausula yang tidak adil dan memberatkan salah satu pihak meskipun kontrak tersebut sudah ditandatangani.
Perbedaan antara kedua doktrin ini, terletak pada penekanan “Ketidakpatutannya.” Jika didalam doktrin Misbruik van omstandigheiden/Undue Influence ketidakpatutan tersebut diletakkan pada suatu “hubungan” para pihak yang tidak seimbang dalam pemberian kesepakatan (hubungan yang berat sebelah), sedangkan didalam doktrin unconscionability, ketidakadilan itu ditekankan pada suatu “keadaan” yang tidak seimbang (bukan dikarenakan hubungan), tetapi justru dipandang dari kelakuan pihak yang kuat dalam usahanya memaksakan atau memanfaatkan transaksinya kepada orang yang lemah (unequal bargaining power) dan keadaan inilah yang disebut sebagai unconscionability.
Mengenai doktrin ketidak adilan (unconscionability) itu sendiri dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu :
1. Doktrin Ketidakadilan Dalam Prosedur (procedural unconscionability) yang merupakan ketidak adilan didalam prosedural yang menyangkut faktor ketidak fahaman salah satu fihak sehingga pihak lain mengontrol isi perjanjian untuk kepentingannya sendiri.
2. Ketidakadilan Dalam Substansi (substantive unconscionability) Merupakan ketidak adilan substansi isi perjanjian karena keadaan tidak seimbang sehingga subtansi dari kontrak atau perjanjian tersebut bersifat menekan (oppresive) atau berlaku kejam (overly hash).
Kedua doktrin tersebut memang tidak dikenal didalam KUHPerdata Indonesia, tetapi telah diterima didalam sistim Peradilan di Indonesia sebagai bentuk cacat kehendak yang ke-empat diluar KUHPerdata untuk membatalkan suatu perjanjian yang tidak seimbang. Hal ini telah menjadi sebuah terobosan hukum di Indonesia melalui beberapa putusan hakim dalam suatu sengketa perdata mengenai perjanjian dengan akta otentik (Notaris) yang dinilai tidak adil (unfair contract), sehingga merugikan pihak yang posisinya lemah, sebagaimana dapat dilihat melalui Putusan No: 1904K/Sip/1982 dan Putusan MARI Nomor: 3431.K/Sip/1985, dan Putusan Mahkamah Agung No. 3642K/Pdt/2001 tanggal 11 September 2012.
***
Penulis, Pengamat masalah Ekonomi dan Perbankan di Medan