Adaptasi Sejarah Budaya Upeti

Oleh: Multajimah MA. Hadiah adalah sesuatu yang diberikan tan­pa ekspektasi ada­nya imbalan balik dan tidak akan mempengaruhi ke­putusan seorang pejabat. Ini berbeda de­ngan suap yang selalu disertai dengan adanya imbalan atau pembelokan terha­dap keputusan yang seharusnya dibuat oleh seorang pejabat. Meskipun warga sulit membedakannya, tetapi setidaknya di negara-negara maju yang birokrasinya relatif bersih ada semangat untuk membe­dakan antara keduanya dan ada kendali internal diantara warga masyarakat untuk tidak memberikan suap.

Para adipati memberikan persembah­an kepada raja pe­nakluk. Sebagai imba­lan­­nya, raja penakluk memberikan perlin­du­ngan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkhis ini ternyata mengalami adap­tasi di dalam sistem biro­krasi modern di In­donesia. Heather Sutherland menggam­barkan betapa sistem upeti yang telah berlangsung selama ber­abad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Pola patron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap sebagai standar yang wajar diantara para birokrat modern. Kare­na sudah mengakar dalam budaya birokrasi maka suap, atau yang dipahami oleh masyarakat sebagai upeti, sangat sulit diberantas.

Budaya upeti sudah menjadi semacam kutukan bagi bangsa ini sehingga sulit maju. Korupsi terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik, bah­wa mereka yang memiliki uang atau mo­dal besar dapat menguasai jabatan pen­ting. Terjadilah apa yang disebut venal office, bahwa kekuasaan bisa di­miliki bukan karena in­tegritas atau kepemim­pi­nan seseorang tetapi karena punya dana besar. Terlebih lagi, situasi seperti ini diperparah oleh budaya dan persepsi ma­syarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar. Oleh sebab itu, untuk bisa menghindarkan bangsa ini dari ceng­ke­ra­man korupsi, hal mendasar yang harus dilakukan adalah dengan pe­nyadaran menyeluruh bahwa kita harus keluar dari budaya upeti. Inilah saatnya untuk meyakinkan diri bahwa upeti sama saja dengan suap, dan suap adalah korupsi.

Fenomena ini patut diperhatikan dan diwaspadai secara serius, karena dampak dari tindakan korupsi tidak hanya seke­dar merugikan nilai etika para cendikia­wan bahkan mengubur masa depan bang­­sa. Membudayanya korupsi yang ter­jadi dalam level manapun merupakan hal yang dapat menghancur­kan nilai-nilai etik. Sehingga secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka di­situ telah terjadi pembenaran yang kemudian membentuk budaya korupsi. Seolah-olah menjadi semacam kutukan dalam demo­kratisasi Indonesia yang tengah berkem­bang ini. Naluri penipu dan mental sudah mem­budaya sampai kelapisan ma­syara­kat.

Seandainya seorang pejabat gagal dibujuk untuk menerima suap, para pengusaha yang cerdik biasanya juga akan segera mendekati isteri pejabat tersebut, anak-anak atau anggota ke­luarganya yang lain. Karena tuntutan untuk menyuap pejabat sudah umum di Indonesia, banyak diantara para pengu­saha yang bahkan sudah menganggarkan dana untuk suap ke dalam overhead cost pe­rusahaan. Inilah yang juga harus di­kendalikan asosiasi pengusaha atau ka­langan swasta lainnya. Pada tataran mikro, penyadaran bagi kedua belah pihak juga sangat penting artinya. Pada dasarnya setiap bentuk mekanisme administrasi yang melibatkan kekuasaan aparat birokrasi (discretionary power) selalu terdapat peluang adanya transaksi suap. Bagai­mana mungkin kita bisa mengendalikan penyuapan atau ko­rupsi. Tanpa disadari, semua warga yang selalu menyediakan uang ekstra kepada para aparat birokrasi publik yang juga ikut mem­perparah meluasnya korupsi di In­donesia. Publik di In­donesia tampak­nya masih bersikap mendua ketika menyam­pai­­kan pendapat mereka tentang suap. Se­bagian menganggap bah­wa suap harus di­berantas dan pelakunya harus dihukum berat. Tetapi sebagian menganggap bahwa suap tidak ada bedanya dengan hadiah atau tanda terima kasih. Semen­tara itu sebagian lagi mengatakan bahwa suap merupakan cara yang harus ditem­puh untuk melancarkan urusan dengan lembaga-lembaga pemerintah.

Budaya korupsi merusak mental anak bangsa merusak tatanan lembaga negara dan tatanan lembaga demokrasi, meng­ham­­bat pembangunan dan menyebabkan ke­­miskinan akut yang berkepanjangan. Ko­­rupsi politik mencakup berbagai as­pek yang berkaitan dengan kekuasaan, karena figur sentral dari korupsi politik adalah sub­yek hukum yang memiliki ke­kuasaan po­litik, menerima amanat dari rak­yat, me­miliki man­dat konstitusional de­ngan hu­kum untuk menegakkan de­mo­­krasi dan ke­adilan diberbagai aspek ke­hidupan dan peng­hi­dupan rakyat. Per­soa­lan suap me­nyuap bukan­lah masalah baru baik dalam konteks hukum yang berkembang maupun per­soalan suap sebagai budaya. Sejarah me­nunjukkan bahwa pem­berian upeti dari kaum "kawila, priyai" kepada raja mau­pun dari bawahan kepada atasan sebagai bentuk budaya dimana hal itu meru­pa­kan wujud kesetiaan sekaligus wujud loyalitas seorang bawahan kepada atasan.

Dalam perkembangannya suap atau pemberian upeti ini men­jadi bentuk hubungan antar manusia dengan manu­sia yang saling menguntungkan baik yang memberi maupun yang menerima suap. Kriminalisasi terhadap tindak pi­dana suap secara mendasar sudah di­la­kukan melalui Pasal 209 KUHP yang me­ngatur penyuap­an aktif (actieve om­koo­ping atau active bribery) terhadap pe­gawai negeri. Dimana si pemberi suap meng­harap suatu imbalan tertentu baik yang akan dilaku­kan ataupun tidak dila­kukan oleh si pe­nerima suap yang pada akhirnya akan me­nguntungkan si pem­beri suap. Bentuk suap dalam konteks per­kembangan jaman se­­karang bisa berupa pemberian barang atau hadiah, uang sogok dan bentuk lain­nya. Tujuan utama pemberian itu adalah untuk mem­pe­nga­ruhi pengam­bil­an ke­pu­tusan dari orang pegawai atau peja­bat yang disuap. Kasus suap me­nyuap se­be­narnya semata-mata tidak ha­nya karena faktor penghasil­an yang kecil tetapi juga karena adanya sifat kese­ra­kah­an dalam diri seseorang

Kejahatan korupsi sangat erat kaitan­nya dengan gaya hidup hedonis atau he­do­nisme. Johan Budi, Wakil Ketua KPK me­­nyebut bahwa perilaku hedonis ditu­ding menjadi salah satu pe­nyebab ko­rupsi demikian menjalar di Indonesia. Da­lam budaya birokrasi di Indonesia ke­tika kebanyakan pemerintahan masih meng­gunakan sistem kerajaan yang ke­mu­dian diman­faatkan oleh penjajah Be­lan­da, upeti merupakan salah satu ben­­tuk tanda kesetiaan yang dapat dipa­hami sebagai simbiosis mutualisme.

Sistem politik perebutan kekuasaan kita memang mencipta­kan biaya yang ting­gi, yang ini harus ditanggung elit-elit politik dan pejabat eksekutif, se­hing­ga keterpi­li­han­nya harus mem­berikan "setoran" kepada partai yang telah me­mi­lihnya. Mental korupsi telah mem­bu­daya di Indonesia seakan-akan menjadi ke­butuhan seperti makanan pokok yang di konsumsi oleh se­mua lapisan penye­leng­gara negara. Pupus sudah keper­ca­yaan publik karena kasus-kasus beruntun yang melibatkan seluruh sendi pemerin­tah dan tampaknya sudah sampai pada titik nadir. Korupsi telah menancap kuat pada sendi-sendi kehidu­p­an. Mustahil untuk mengharapkan pem­berantasan ko­rupsi dan menjamin penggunaan ke­kua­saan yang bersih dan sejalan dengan ke­pen­tingan publik.

Bahkan, ketika KPK sudah melarang se­gala macam bentuk gratifikasi atau upeti kepada para pejabat dalam upaya mem­be­rantas korupsi, banyak yang ma­sih mempertanyakan apa ala­san­nya. Ka­rena masyarakat umumnya tidak paham apa beda­nya antara hadiah dan suap, ke­biasaan untuk memberikan gra­tifikasi atau menyuap seolah-olah menjadi wajar atau bahkan menjadi prosedur standar. Maka suap menjadi fenomena yang ter­jadi dan meluas dalam semua tingkatan bi­rokrasi. Pada hal harus dipahami bah­wa ketika orang melakukan transaksi suap, titik persoalannya bukan sekadar be­sa­ran atau modus operandi­nya. Untuk dapat mengatasi persoalan suap-me­nyuap yang kian hari semakin suram dan meng­­gerus ketidakpercayaan publik ter­ha­dap para pejabat publik, harus dipa­hami bahwa transaksi suap dapat terjadi karena keterlibatan dua pihak, yaitu pe­nyuap dan pejabat yang disuap. Pe­nyua­pan adalah transaksi yang bersi­fat timbal-balik atau resiprokal. ***

* Penulis Dosen UIN SU dan STAIS TTD

()

Baca Juga

Rekomendasi