Patung Batu di Pulau Paskah, Chili

PULAU Paskah (easter island) adalah sebuah pulau milik Chili yang terletak di selatan Samudra Pasifik. Dalam bahasa Polinesia Pulau Paskah disebut Rapa Nui, sedangkan dalam bahasa Spanyol di sebut la de Pascua. Secara admi­nistratif Pulau Paskah termasuk dalam Provinsi Valparaiso.

Pulau Paskah terkenal secara luas karena masih ada 887 patung-pa­tung yang monumental, yang di­sebut Moai. Pulau ini ada­lah Situs Warisan Dunia Unesco dengan ba­nyak pulau yang dilindungi da­lam Taman Nasional Rapa Nui. Pulau Pas­kah telah banyak mengalami keruntuhan dari ekosistem, dengan kepunahan dari banyak dari pra­sejarah spesies; peristiwa ini dikait­kan dengan over-eksploitasi sum­ber daya pulau.

Sejarah Pulau Paskah Penuh dengan kontroversi. Penduduk­nya telah mengalami kelaparan, wabah, pe­rang saudara, perbudakan dan ko­lonialisme, dan bencana eko­sistem; populasi mereka telah me­nu­run drastis. Mereka telah me­ning­galkan warisan budaya yang telah membawa ketenaran mereka namun tidak sepadan dengan po­pulasi mereka.

Nama "Rapa Nui" bukan nama as­li Pulau Paskah yang diberikan oleh suku Rapanui. Nama itu dicip­takan oleh para imigran pekerja da­ri suku asli Rapa di Kepulauan Bass yang menyamakannya de­ngan kampung halamannya. Nama yang diberikan suku Rapanui bagi pulau ini adalah Te pito o te henua ("Puser Dunia") karena keterpen­ci­lannya, namun sebutan ini juga diambil dari lokasi lain, mungkin dari sebuah bangu­nan di Mar­quesas.

Menurut legenda dicatat oleh para misionaris pada 1860-an, awal­nya pulau yang sangat jelas sis­tem kelas, dengan ariki, raja, mut­lak memegang kekuasaan de­wa-seperti sejak hotu Matu'a telah tiba di pulau itu.

Pemujaan terhadap Manusia Bu­rung, tampaknya sebagian besar akibat penderitaan yang me­nimpa ma­syarakat pulau itu pada akhir abad 18 dan 19. Katherine Routh­led­ge (yang secara sistematis me­ngum­­pulkan tradisi pulau dalam ekspedisi pada 1919) menunjukkan bahwa menurut penduduk asli, se­mua konflik dan penderitaan ini ada­lah tanggal tepat untuk periode setelah kedatangan orang Eropa. Terlepas, dengan ekosistem pulau itu memudar, kehancuran tanaman­mengakibatkan kelaparan, penya­kit dan kematian.

Sejarah

Menurut Diamond dan He­yer­dahl versi sejarah, para bidadari ber­wujud mo'ai - "Statue-toppling" - berlanjut ke tahun 1830-an seba­gai bagian dari perang internal.

Pada tahun 1838 satu-satu­nya Moai yang berdiri berada di lereng Rano Raraku dan Hoa Hakananai'a di Orongo. Namun, ada sedikit buk­ti arkeologi untuk "perang internal" dalam periode pra-Eropa, dan jauh lebih sedikit dari masya­rakat pra-Eropa runtuh. Bahkan, tulang patologi dan data dari pulau osteometric pada masa itu jelas.

Moai adalah patung-patung yang terdapat di Pulau Paskah yang terbuat dari batu-batu yang dipahat. Sebagian besar patung tersebut berjenis monolitis, atau dipahat dari satu batu saja, walaupun ada juga yang mempunyai batu Pukau tam­bahan terpisah yang diletakkan di bagian kepala.

Terdapat lebih dari 600 Moai yang tersebar di seluruh pulau. Se­bagian besar moai dipahat dari batu karang vulkanik lunak yang ter­da­pat di daerah Rano Raraku, di mana tersisa sekitar 400 moai lain­nya yang belum jadi. Tambang tersebut sepertinya ditinggalkan secara tiba-tiba. Hampir seluruh moai yang telah selesai dipahat kemudian di­han­curkan oleh penduduk pri­bumi setempat pada masa setelah ber­akhirnya konstruksi.

Tukuturi di Rano Raraku ada­lah satu-satunya Moai yang ber­lu­tut dan salah satu dari sedikit ter­buat dari Scoria merah.

Walaupun biasanya teri­den­ti­fikasi melalui "kepala", banyak moai yang mempunyai bahu, le­ngan dan batang tubuh yang telah ter­timbun selama bertahun-tahun. Mak­na "moai" masih belum diketa­hui walaupun banyak teori menge­nai asal-usul patung-patung ini.

Penjaga

Teori yang paling dikenali ialah moai tersebut dipahat oleh peng­huni asal Polinesia lebih dari seribu tahun lalu. Moai diyakini mewakili arwah leluhur (sebagai penanda ku­buran), atau mungkin mewakili tokoh terkemuka serta sebagai sim­bol status keluarga. Moai sangatlah ma­hal untuk dipahat dan membu­tuhkan waktu yang lama.

Moai juga harus diangkut untuk mencapai lokasi terakhir di sepan­jang pulau. Tidak diketahui secara pasti bagaimana moai diangkut, tetapi proses tersebut pasti memer­lukan alat penarik dan kayu gelon­dongan.

Legenda kuno setempat men­ce­ritakan kisah seorang kepala suku yang mencari rumah baru. Lokasi yang dia pilih sekarang dikenal sebagai Pulau Paskah. Ketika dia meninggal, pulau tersebut dibagi-bagikan untuk anak-anak lelakinya.

Setiap kali kepala dari suku ini me­ninggal, sebuah moai diletakkan di makam si kepala suku. Penduduk setempat percaya patung itu akan me­nangkap "mana" (kekuatan gaib) kepala suku. Menurut mereka, de­ngan menjaga "mana" di pulau itu, ke­b­eruntungan akan terjadi, hujan akan turun dan tanaman akan tumbuh.

Ada yang berspekulasi bahwa moai dibangun oleh masya­rakat ke­las bawah untuk memuliakan kelas atas. Orang kelas bawah dipaksa be­kerja pada bidang ini. Setelah ber­tahun-tahun bekerja, kelas ba­wah memberontak dengan keras.

Akibatnya, banyak patung yang han­cur, jumlah penduduk berku­rang hingga ratusan orang dan me­nimbun sejarah Pulau Paskah sela­ma-lamanya. (cnn/dws/atn/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi