Oleh: Sagita Purnomo
SETELAH menjalani padatnya rutinitas sehari-hari, liburan minimal satu kali dalam seminggu menjadi keharusan untuk sekedar melepas penat, mengistirahatkan mata dari layar komputer, meluruskan pinggang dari kerasnya kursi kerja dan sesuatu yang membosankan dari rutinitas kerja lainnya. Jika terlalu banyak bekerja atau bekerja tanpa libur (biasanya dialami oleh pekerja baru) tentu mendatangkan dampak buruk bagi pekerja itu sendiri, terutama dari segi kesehatan dan fisikis. Intinya pekerja tidak boleh terlalu dibebani dengan segudang tanggung jawab dan harus diberi liburan yang cukup untuk sekedar melepas penat.
Baik itu pengusaha maupun pemerintah sekarang ini menginginkan pekerja/pegawai lebih produktif. Apalagi dengan adanya jargon Kerja! Kerja! Kerja! oleh pemerintah, menunjukkan bahwa betapa seriusnya keinginan memajukan bangsa. Produktifitas yang tinggi tentu akan memberi dampak positif bagi berbagai sektor kehidupan, terutama dari bidang perekonomian. Sayangnya, pada tahun 2017 ini, para pengusaha besar di Indonesia tengah berhadapan dengan sesuatu yang tidak begitu menguntungkan, yaitu terkait banyaknya tanggal merah (hari libur) nasional di kalender.
Banyaknya hari libur ini paling dirasakan oleh sektor industri. Mayoritas pelaku industri di Indonesia mengeluhkan banyaknya hari libur nasional yang mengurangi produktifitas mereka. Apalagi dalam beberapa bulan belakangan terdapat libur di ‘hari kejepit’ (Kamis atau Jumat) membuat banyak pekerja memilih untuk bolos dengan alasan nanggung. Dibandingkan harus memilih kehilangan produktifitas karena tanggal merah, pengusaha lebih memilih mengeluarkan biaya ekstra dengan memberi upah lembur kepada karyawannya agar tetap bekerja di hari libur.
Dampaknya
Berdasarkan informasi yang penulis himpun dari Kompas.com, tahun 2017 ini setidaknya terdapat 15 tanggal merah (diluar hari minggu, Pilkada serentak dan cuti bersama) dalam kalender kita. Adapun ke-15 tanggal merah itu adalah Minggu, 1 Januari : Tahun Baru Masehi, Sabtu, 28 Januari : Tahun Baru Imlek 2568, Selasa, 28 Maret : Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939, Jumat, 14 April : Wafat Isa Al Masih, Senin, 24 April : Isra Miraj Nabi Muhammad SAW, Senin, 1 Mei :Hari Buruh Internasional, Kamis, 11 Mei : Hari Raya Waisak 2561, Kamis, 25 Mei : Kenaikan Isa Al Masih, Kamis, 1 Juni : Hari Lahir Pancasila, Minggu-Senin : 25-26 Juni, Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriah, Kamis, 17 Agustus : Hari Kemerdekaan Indonesia, Jumat : 1 September : Hari Raya Idul Adha 1438 Hijriah, Kamis, 21 September : Tahun Baru Islam 1439 Hijriah, Jumat, 1 Desember : Maulid Nabi Muhammad SAW, Senin, 25 Desember : Hari Raya Natal.
Menanggapi kondisi tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo),Suryadi Sasmita, mengatakan, banyaknya hari libur mempengarhi produktifitas usaha yang ada di tanah air. Kalangan pengusaha bahkan berhitung, akan banyak potensi pendapatan yang hilang karena banyaknya hari libur. “Kita ini pengusaha melihat Indonesia ini punya hari libur terbanyak di dunia. Nah ini kalau terus ada cuti bersama ditambah karena kejepit, terus terang kita ada pendapatan yang hilang,” kata Suryadi.
Diungkapkannya, kebijakan penambahan cuti bersama ini tak sesuai dengan upaya pemerintah saat ini untuk mendukung daya saing dunia usaha. Salah satunya bakal menambah beban uang lembur untuk karyawannya.”Dengan adanya saat ini saja (liburan nasional) kita sudah enggak efisien. Produktivitas semakin rendah, kita enggak setuju kalau jadi cuti bersama, kita jadi harus bayar uang lembur. Tolonglah itu pemerintah bisa dipikirkan,” ujar Suryadi. (Medanbisnisdaily. com)
Dampak yang lebih berat juga dialami pengusaha saat perhelatan Pilkada Serentak 15 Februari lalu yang ditetapkan sebagai hari libur nasional. Meski ‘merahnya’ tak tercantum dalam kalender namun ditetapkan dalam Kepres khusus. Keputusan hari libur ini banyak dikeluhkan oleh kalangan pengusaha.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani, mengatakan bahwa kalangan pengusaha tidak menyukai keputusan libur nasional pada saat hari pencoblosan. Alasan kalangan usaha tidak menyukai kebijakan itu harus membayar upah lembur buruhnya. Seperti diketahui, bahwa dalam aturan ketenagakerjaan yang termaktub dalam Kepmen No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, pengusaha yang mempekerjakan buruhnya pada hari libur resmi/nasional, harus membayarkan upah buruhnya 2 kali upah per jam pada 7 jam pertama.
“Libur nasional pabrik tetap berjalan, mereka harus bayar uang lembur. Itu banyak, ada beberapa yang komplain ke kita karena kalau libur nasional, pabrik tetap jalan pengusaha harus bayar uang lembur yang signifikan. Kami kasih masukan ya, jangan libur nasional harusnya, tapi hanya di tempat-tempat yang melakukan Pilkada saja,” katanya. (Kabarburuh.com).
Proporsional
Sebagaimana penulis uraikan diatas, banyaknya hari libur sangat merugikan dunia usaha. Pihak yang paling diuntungkan dari banyaknya tanggal ini adalah para mayoritas pekerja plat merah (PNS dan pegawai BUMN/BUMD), sementara untuk buruh dan pekerja dengan shift lainnya banyak yang tidak dapat menikmati liburan karena peraturan internal perusahaan. Apalagi tak jarang upah lembur yang diberikan perusahaan sama sekali tidak sepadan dengan jatah libur yang terpaksa harus dijual.
Jika pemerintah memang ingin membahagiakan seluruh pekerja di Indonesia tanpa memandang sektor dan golongan, hendaknya penambahan hari libur/cuti bersama dalam kalender juga diiringi dengan kebijakan maupun regulasi untuk melindungi kepentingan pengusaha dan pekerja itu sendiri. Misalkan memberi kompensasi atau bantuan bagi pengusaha untuk membayar uang lembur kepada pekerja secara proporsional atau kebijakan efektif lainnya yang bersifat menunjang produktifitas.
Keluhan pengusaha terkait beratnya membayar uang lembur akibat banyaknya tanggal merah hendaknya didengarkan sekaligus dipertimbangkan pemerintah dalam membuat kebijakan. Dikhawatirkan bertambah atau membengkaknya cost oprasional produksi yang tidak dibarengi dengan peningkatan produktifitas kerja, dapat berdampak negatif bagi berbagai sektor dan dikhawatirkan menggoyang stabilitas perekonomian nasional serta dunia investasi.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakkan dan pemangku kepentingan utama harus mampu menciptakan keadilan bagi seluruh pihak terkait dengan banyaknya libur nasional. Jangan sampai banyaknya hari libur justru membentuk mental malas di kalangan pekerja khususnya pegawai plat merah atau justru menjadi ajang ‘romusha’ bagi buruh pabrik dan karyawan swasta lainnya yang tetap bekerja di hari libr dengan atau tanpa upah lembur sama sekali.***
Penulis adalah Alumni UMSU 2014