Oleh: Muhammad Hisyamsyah Dani
Pada tahun 2005, gunungan sampah dari TPA Leuwi Gajah longsor menimbun dua perkampungan warga hingga menewaskan ratusan jiwa. Sejak bencana tersebut, 21 Februari dicetuskan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional, yakni pengingat kondisi persampahan diIndonesia. Kini, sudah hampir 11 tahun sejak peristiwa berlalu. Perubahan apa yang terjadi? Ironisnya, volume sampah di Indonesia justru kian meningkat dari tahun ke tahun. Sampah-sampah di TPA semakin menggunung melebihi kapasitasnya.
Menyoal mengenai masalah sampah sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita masing- masing. Selintas akan timbul di benak kita sampah adalah sesuatu yang terlukis sebagai sebuah kotoran, setumpuk limbah, sekumpulan berbagai macam benda yang telah dibuang, tentunya menimbulkan aroma yang tidak sehat untuk udara di sekitarnya. Dengan kata lain, sampah dapat diartikan sebagai material sisa yang tidak diinginkan dan cenderung merusak lingkungan.
Kuantitas sampah merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang terjadi pada masyarakat. Khususnya masalah ini semakin merebak di lini perkotaan. Masyarakat kota ataupun daerah yang padat penduduknya pasti menghasilkan sampah yang tak terhitung jumlahnya.
Ada anggapan bahwa sebagian masyarakat sampah bukanlah menjadi masalah, hal inilah yang sangat mengkhawatirkan. Sampah merupakan masalah yang paling besar terhadap lingkungan. Masyarakat perkotaan banyak membuang sampah di daerah daerah sungai dan selokan air, daripada di tempat sampah. Ironisnya, praktek antipati terhadap lingkungan sekitar ini masih terus berlanjut hingga sekarang.
Prilaku Antipati Masyarakat
Sampah merupakan hasil perbuatan manusia. Pada dasarnya, banyak aktifitas manusia yang menghasilkan sampah. Baik dari hasil kegiatan maupun limbah rumah tangga. Kita tidak pula menafikan bahwa sebagian masyarakat masih memiliki pemikiran bahwa membuang sampah sembarangan merupakan hal yang wajar dan tidak salah. Faktornya tidak lain dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Bisa berasal dari keluarga, pendidikan, maupun lingkungan kerja.
Ketidakpedulian masyarakat mengenai sampah dan penanganannya akan bermuara pada timbulnya ragam penyakit di tengah-tengah lingkungan. Sampah yang berlebih akan menimbulkan penyakit yang dapat mengganggu manusia itu sendiri. Misalnya, penyakit diare, kolera, hingga tifus. Sampah merupakan konsekuensi yang harus diterima. Sebab, segala lini kehidupan akan menghasilkan sampah. Entah itu kecil maupun besar.
Dewasa ini pertumbuhan penduduk khususnya di kota berjalan dengan pesat. Sekitar 36%, pada tahun 2020 diperkirakan menjadi 52 % atau sebanyak 40 juta jiwa. Pesatnya pertumbuhan penduduk di kota-kota besar di Indonesia selain membawa keuntungan dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota menjadi pusat kegiatan ekonomi, industri, sosial dan budaya juga membawa dampak terhadap meningkatnya biaya sosial, sehingga pada akhirnya kawasan perkotaan akan sampai pada tingkat skala disekonomi (kemunduran ekonomi). Hal ini merupakan akibat terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan hidup perkotaan berupa kebisingan, kemacetan lalu lintas, pencemaran air, udara dan tanah yang disebabkan oleh limbah industri dan rumah tangga.
Telaah data yang didapat dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa jumlah sampah pada tahun 2020 di 384 kota di Indonesia mencapai 80.235,87 ton tiap hari. Sebuah angka yang tentunya mencengangkan dan menjadi renungan kita bersama. Dari banyaknya kuantitas sampah di atas diperkirakan sebesar 4,2 % akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9 % dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Bahkan, dari 53,3% sampah yang tidak tertangani tersebut sampah dibuang dengan cara yang tidak saniter atau sesuai dengan peraturan. Ya, sungai dan selokan menjadi pilihan favorit untuk membuang sampah-sampah tersebut.
Sejalan dengan kalkulasi angka di atas, menurut perkiraan National Urban Development Strategy (NUDS) tahun 2003 rata-rata volume sampah yuang dihasilkan per orang sekitar 0,5-0,6 kg/hari. Mengambil contoh kota kita tercinta ini, Kota Medan. kota yang berada di tingkat kota metropolitan ketiga setelah Jakarta dan Surabaya ternyata mempunyai beban volume sampah yang menggunung. Beban volume sampah tersebut terutama yang diproduksi masyarakat mencapai 5.710 m3/hari. Seolah masih menyelimuti permasalahan, sampah tersebut hanya mampu diangkut sekitar 68% oleh Dinas Kebersihan. Sedangkan sisanya sekitar 32 % belum terangkut.
Sumber sampah yang berasal dari hasil kegiatan produksi dan konsumsi masyarakat baik berbentuk padat, cair, dan gas merupakan sumber pencemaran lingkungan. Ekses negatif yang timbul bukan hanya masalah lingkungan, namun akan terjadi pelemahan sektor ekonomi masyarakat perkotaan itu sendiri.
Upaya Pengelolaan Sampah
Masalah sampah meliputi sektor pengelolaannya sendiri. Dari data yang juga diolah didapatkan bahwa 70%-80% sampah dihasilkan adalah sampah organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur maupun dari pekarangan rumah. Inilah yang pada akhirnya menjadi cambukan bagi kita bersama, bahwa rumah tangga di manapun berada bertanggung jawab terhadap seluruh sampah yang dihasilkan.
Fakta yang terlihat menunjukkan bahwa umumnya sampah organik yang memang secara kebiasaan dibakar oleh masyarakat tentunya akan menimbulkan dampak yang lebih besar lagi bagi lingkungan sekitar, pemanasan global adalah muaranya. Pengelolaan yang cerdas seperti pengomposan, dan pendaur ulangan sampah adalah cara bijak mengola sampah yang bisa dilakukan secara sederhana di lingkungan kita.
Sadoko (1993) mengatakan bahwa upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik berdasarkan pada usaha penanganan sampah sedini mungkin, sedekat mungkin dari sumbernya dan sebanyak mungkin mendayagunakan kembali sampah.
Sudah sewajarnya, peristiwa 11 tahun silam yang menjadi pembuka tulisan saya di atas menjadi ikhtibar bagi kita bersama, bahwa masalah sampah adalah masalah kita bersama. Saya sebagai generasi muda turut berkewajiban menjaga lingkunga sekitar. Contoh, beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman komunitas yang ada di Kota Medan menggalang aksi peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN 2016) di Kota Medan.
Hasilnya tentu saja kami mengharapkan aksi yang dilakukan anak-anak muda Kota Medan bukan hanya seremonial belaka, namun berkelanjutan dan turut serta membebaskan masalah sampah di kota tercinta ini. Mari berbuat demi umat manusia. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Jadilah masyarakat yang peduli akan lingkungan sekitar. Save Our Urban.
(Penulis adalah mahasiswa pemerhati lingkungan)