• Oleh: Hidayat Banjar
Fenomena guru dianiaya murid agaknya berawal dari diundangkannya UU Perlindungan Anak. 22 Oktober 2002, diundangkanlah UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Alih-alih untuk melindungai anak, justru yang terjadi sebaliknya, anak-anak jadi “tak terlindungi” dari perilaku nakal, bandel, bahkan jahatnya.
Pasal 80: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Batas kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak tidak tegas disebutkan. Apa yang terjadi? Hukuman guru kepada siswa seperti mencubit pipi, menjewer telinga, memukul betis dan sejenisnya dapat menyebabkan guru diadukan ke polisi.
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini telah diwarnai dengan beberapa kasus guru yang diadili oleh orang tua murid, hanya karena masalah sepele. Padahal masalah tersebut dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak tanpa harus membawanya ke jalur hukum.
Pada Juli 2010, Rahman, seorang guru di sebuah SD di Banyuwangi, Jawa Timur, harus berurusan dengan pengadilan setelah memukul anak didiknya menggunakan penggaris.
Padahal itu dilakukan Rahman karena melihat siswinya menangis setelah dipukul dan ditendang oleh temannya. Ternyata yang mengalami hal tersebut ada 3 siswi lainnya.
Rahman lalu memukul kaki siswa tersebut dengan penggaris. Atas hal ini, pihak keluarga melaporkan kasus ini ke polisi. Jaksa lalu mendakwa Rahman dengan UU Perlindungan Anak.
Selanjutnya Aop Saopudin, seorang guru honorer SDN Penjalin Kidul V, Majalengka, Jawa Barat harus berurusan dengan hukum hanya gara-gara mencukur rambut muridnya. Peristiwa itu terjadi Maret 2012.
Mencubit
Nurmayani Guru biologi SMPN 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan, dipenjara karena mencubit murid didiknya. Kejadian ini Agustus 2015 silam, Nurmayani memanggil dua orang siswi bernama Tiara dan Virgin ke ruangan Bimbingan Konseling karena bermain air sisa pel lantai.
Saat berada di ruang BK, Nurmayani langsung menghukum keduanya. Ia lantas mencubit kedua paha Tiara. Namun Tiara mengaku guru biologi itu tak hanya mencubit, tetapi juga memukul dada dan pipi Tiara.
Tak terima, Tiara pun mengadu kepada ayahnya yang merupakan anggota polisi. Akhirnya ayah Tiara, Ipda Irwan Efendi melaporkan perbuatan Nurmayani ke Polres Bantaeng. Sang guru akhirnya menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Bantaeng di rutan sejak Kamis (12/5).
Setelah Nurmayani dipenjara, giliran guru Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 3 Bantaeng, Muhammad Arsal masuk ke jeruji besi. Kasus Arsal, sama dengan Nurmayani, sama-sama diduga melakukan tindak kekerasan terhadap anak didik di sekolah. Kejadiannya Februari 2016, ketika itu Arsal mengajari siswanya tata cara salat termasuk siswa bernama Israq. Namun Israq membuat ulah yang menimbulkan kegaduhan dan mengganggu siswa lainnya. Akibatnya sang guru kesal dan menghukum Israq dengan cara memukulnya.
Tak terima, orangtua Israq akhirnya melaporkan perbuatan Arsal kepada pihak berwajib. Pasalnya dari hasil visum, membuktikan jika terjadi pemukulan yang membuat luka di bagian mulut.
Menganiaya Guru
UU Perlindungan Anak dapat dikatakan pemicu keberanian siswa melawan guru. Dihukumnya guru-guru membuat guru-guru yang lain menjadi takut melaksanakan disiplin. Tewasnya guru SMAN 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur Ahmad Budi Cahyono (26) pada 1/2/2018 yang dianiaya muridnya MH (17) seyogianya membuka mata hati kita – khususnya siswa dan orangtuanya – untuk menghargai dan menghormati guru sebagai pendidik.
Siswa maupun orangtuanya hindarilah mempersepsikan guru hanya sebagai pekerja yang mendapat gaji sedangkan para murid adalah pemakai jasanya. Lalu mereka pun bertingkah seenaknya. Sedikit saja guru memarahi atau memberi sanksi, terus dilaporkan ke polisi atau wali murid datang mendamprat sang guru ke sekolah. Atau malah memukul guru tersebut dan lain sebagainya.
Relasi murid dan guru dianggap tak lebih dari hubungan pemakai jasa dan pemberi jasa. Seperti pemilik mobil dan tukang servis bengkel atau pengunjung resto dengan pemiliknya. Hanya dianggap transaksional biasa. Guru memberi pelajaran, murid membayar SPP bulanan (sekolah swasta), membayar uang komite sekolah (negeri). Sedikit saja ada ketidakpuasan, pelanggan bisa bebas melakukan komplain.
Padahal hubungan guru-murid bukanlah transaksi sederhana. Bahkan tak bisa disebut transaksi karena uang yang dibayarkan tidak akan mampu membeli ilmu yang diterima. Terlalu murah jika ilmu yang diterima seorang murid hanya dihargai dengan gaji bulanan.
Mari kita buka kembali akhlak para ulama terdahulu kepada guru-guru mereka. Lihatlah sejarah para ulama dan ilmuwan besar dalam Islam. Pada masa pendidikannya, para ulama dahulunya adalah murid yang paling menghormati dan beradab terhadap gurunya. Para shahabat adalah murid-murid yang paling menghormati guru mereka, Rasulullah SAW.
Pewaris Nabi
Sebagai murid, maka guru harus diperlakukan lebih dari orang pada umumnya. Hal ini karena para guru sesungguhnya pewaris para Nabi. Para guru mewariskan kepada para muridnya ilmu, yang membuat murid mencapai pribadi utama. Nabi SAW mengatakan, dengan diwariskannya ilmu maka murid mendapat keberuntungan yang sangat besar. Nabi Saw bersabda:…Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya, para penghuni langit dan bumi, hingga semut yang ada di dalam tanah (di tempat tinggalnya) dan ikan hiu yang ada di dasar laut mendoakan kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.
Peran guru begitu besar untuk mengangkat murid dari kejahilan. Oleh karena itu sangat pantas mereka mendapat penghormatan dari murid-muridnya. Guru (bahasa Arab: muallim) bagaikan mengalirkan samudera ilmu di atas bumi yang tandus, dan membuat bumi jadi subur, dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan hijau, sehingga menghasilkan buah-buahan yang matang.
Para ulama mazhab, imam Ahmad, Imam Syafii dan lainnya adalah murid-murid yang sangat menghormati para guru dan memuliakan mereka. Jangankan ramai saat diajar, murid Imam Syafii merasa segan meski hanya untuk minum air saat sedang belajar. Adapun Imam Asy Syafii menceritakan bahwa saking segannya terhadap gurunya, Imam Malik, ia membuka lembaran bukunya dengan sangat perlahan agar tidak berisik.
Syaikh Utsaimin menasehatkan para murid agar duduk dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki dan tidak bersandar. Tapi apa yang dilakukan anak-anak jaman sekarang terhadap sang guru? Dalam hal ini, semestinya pra orangtua membantu dan mengajarkan kepada anaknya cara menghormati guru dan memuliakannya. Bukan malah menerima mentah-mentah laporan anak atas sanksi yang diterima lalu dengan mudah mendamprat guru di sekolah.
Selain itu harus juga diperhatikan soal kewajiban sang anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya bab yang berbicara soal hak dan kewajiban anak, ada begitu banyak pasal berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (Pasal 19). Setiap anak berkewajiban untuk: 1. menghormati orang tua, wali, dan guru, 2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, 3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara, 4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan 5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Muncul pertanyaan, jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan kepada anak? Kenapa tidak melihat hal ini. Banyak orang hanya melihat hak anak, sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang ditindak. Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
Penulis Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Agama