Orang Eropa di Sumatera Utara

Oleh: Budi Agustono

Sumatera Utara masa lalu yang popular dengan sebutan Sumatera Timur mulai tumbuh menjadi wilayah modern pertengahan abad ke sembilan belas. Tumbuh menjadi wilayah modern tidaklah datang seketika, tetapi Sumatera Timur tumbuh menjadi kota modern terkait dengan kedatangan kekuasaan asing (Belanda) dan ekspansi kapitalisme menjalar ke wilayah ini. Sebelumnya kedatangan kekuasaan kolonial Belanda 1860, Sumatera Timur relatif tidak berkembang dan hanya hamparan tanah yang berselimut hutan. Moda transportasi menggunakan sungai dan jalan se­tapak. Penguasa (kerajaan) lokal masih sederhana olah kuasanya, tetapi memiliki jejaring politik dengan penguasa lokal lainnya. Perdagangan dari satu kerajaan lokal dengan yang lainnya tetap terjalin.

Mulanya jumlah orang Belanda yang mengelola tanah jajahan tidak banyak, hanya sedikit orang yang mengisi jabatan birokrasi pemerin­tahan, aparatur hukum dan pejabat militer. Namun sejalan dengan dibu­kanya industri perkebunan dan pem­bangunan fisik modern di berbagai tempat, terutama di Medan yang tadinya hanya sebuah kam­pung dalam waktu cepat berubah menjadi kota satelit kolonial me­nye­babkan jumlah orang Belan­da dan orang Eropa seperti Inggris, Po­landia, Amerika, Jepang, Belgia, dan sebagainya makin hari makin besar jumlahnya ke Sumatera Timur.

Kedatangan orang Eropa mem­bong­kar keseluruhan bangunan masyarakat tradisional. Orang Eropa, terutama Belanda yang me­ngalir ke wilayah ini peker­jaaannya terkait dengan industri perke­bunan. Ada yang menjadi pejabat peme­rintah, tuan kebon, hakim, jaksa, polisi, pejabat maska­pai perkebu­nan, pebisnis, arsitektur, fotografer, dan sebagainya. Orang Eropa me­n­jadi pionir dalam menggerak­kan mo­dernisasi. Orang Eropa yang meng­investasikan kapitalnya untuk akumulasi kekayaan mendesain gedung atau bangunan modern.

Sebagai tiruan kota Eropa dan tentu saja agar bangunan menye­rupai di negeri penjajah seperti me­letakkan bangunan Eropa di Suma­tera Timur, didatangkan ba­ngunan wilayah oleh arsitek membangun gedung di pusat kota. Sewaktu Medan didesain sebagai kota satelit kolonial seluruh gedung bangunan modern tersebut diran­cang oleh arsitek kenamaan. Misal­nya Hotel de Boer yang dibangun tahun 1898 terletak di Cremerweg didirikan Aeint Herman de Boer. Masjid Raya yang dibangun tahun 1905 dan Istana Maimoon berdiri 1888 dirancang arsitek Theodor van Erp, dibantu J.A. Tingdemaan. Kantor Besar Deli Spoorweg Maatschappij dibangun Thomas Kaarsten. Ge­dung Balai Kota dirancang Ch. M. Boon tahun 1908, dan Kantor Pos Medan didesain S. Snuyf tahun 1909. Hampir semua perancang ba­ngunan baru yang bermunculan di­arsiteki orang Belanda dan Eropa lainnya. Mereka inilah yang mencari lokasi dan menempatkan gedung gedung baru tersebut di kota Medan yang sedang berkembang menjadi kota metro­politan. Dengan keha­di­ran gedung-gedung baru yang ber­kerlip, mewah dan memesona men­dongkrak Me­dan menjadi kota hi­dup yang penuh gemerlap dan eksotis.

Bangunan masyarakat

Sewaktu orang Eropa membuka hutan, membangun industri perke­bunan, mendatangkan buruh, mem­buka jalan, membangun jalan, mengadakan rapat atau pertemuan dengan pejabat pemerintah, bere­kreasi, makan bersama, atau jamuan makan, menyambut pejabat peme­rintah sampai kehidupan keluarga selalu terdokumentasi. Orang Eropa sangat rajin memoto apa saja yang dianggap mempunyai nilai kema­nusiaan dan keunikan. Seorang fotografer terkemuka masa itu ada­lah Kleingrothe, seorang berke­war­gaan Jerman yang banyak men­dokumentasikan gedung, pe­man­dangan, dan orang terkemuka di Su­matera Timur. Dalam menja­lan­kan profesinya, Kleingrothe mela­kukan investigasi dokumentasi tu­run ke lokasi. Jika memoto pe­man­dangan alam ia pergi ke dataran Karo atau Tapanuli. Ia juga sangat andal memfoto tokoh terke­nal di ma­sanya hidup. Semua hasil karya Kleing­rothe terdokumentasi dengan baik.

Pergerakan orang Eropa berkait dengan denyut aktivitas ekonomi perkebunan. Hampir semua perca­bangan kegiatan ekonomi selalu dikendalikan orang Eropa. Sejalan dengan denyut nadi ekonomi perkebunan, orang Eropa yang datang makin hari terus bertambah dan ditaksir tahun 1900 ada sekitar 425 orang berada di Sumatera Ti­mur. Para asisten kebun kolonial didatangkan ke Sumatera Timur yang dikenal sebagai the land of the money atau negeri dollar untuk me­ngawasi dan melancarkan bero­perasinya kapitalisme ke seluruh perkebunan guna melipatgandakan keuntungan besar yang hasilnya diang­kut ke negeri induk kapita­lisme, the Netherlands.

Kehidupan sosial orang Eropa berjalinkelindan dengan bangunan masyarakat kolonial. Bangunan masyarakat kolonial sangat rasis, kaku dan represif. Rasis lantaran relasi sosial di tanah jajahan Suma­tera Timur didasarkan atas ras. Orang kulit putih berada di puncak lapisan atas. Orang Timur Asing (Tionghoa dan Arab) di lapisan tengah, sedangkan pribumi berada di lapisan bawah. Lapisan sosial berpiramida ini sangat kaku dan ketat diberlakukan di tanah jajahan Sumatera Timur. Semua properti orang Eropa tidak bisa atau dilarang digunakan lapisan menengah dan lapis bawah.

Jika seorang buruh perkebunan bertemu dengan asisten perkebunan, buruh perkebunan harus berjalan membungkuk melewati asisten kebun sebagai tanda hormat. Jika sedang bersepeda berpapasan dengan asisten kebun, buruh harus turun dari sepedanya dan menenteng sepeda sembari membungkukkan badan sampai asisten kebun men­jauh dari pandangan mata. Di kota Medan jika orang Eropa sedang berada di gedung tempat pertemuan dan rekreasi orang Eropa (kulit putih), orang berkulit sawo matang dilarang mendekatinya. Lebih mudah seekor anjing masuk ke tempat berkumpulnya orang Eropa ketimbang orang berkulit coklat. Orang Eropa sangat merendahkan berkulit sawo matang. Itu sebabnya mereka menjulukinya sebagai irlander, pribumi.

Orang Eropa datang dan pergi. Ada yang bermukim menghabiskan waktunya jika selesai masa kerja­nya, tetapi ada juga yang pulang ke kampung halamannya Belanda. Demikian pula dengan pejabat pe­merintah, pada generasi berikutnya ada yang lahir di kota besar Hindia Belanda, bekerja lalu pensiun. Memasuki masa pensiun ada yang terus menetap atau berpindah ke kota lain, tetapi ada juga yang balik ke Belanda. Namun, di atas semua semasa bekerja dan bertempat tinggal di Sumatera Timur, orang Eropa atau Belanda berada dalam kemakmuran.

Masa keemasan dan berjayanya dominasi orang Eropa (kulit putih) tidak bisa ditegakkan sepanjang waktu. Sewaktu terjadi perubahan politik di Sumatera Timur dengan runtuhnya sistem kekuasaan kolo­nial di masa Jepang, orang Eropa dari status berkelas tinggi berubah menjadi paria. Peran dan status tingginya dilucuti Jepang. Pada masa Jepang hampir semua orang Eropa mengalami turbulensi politik. Mereka ditangkap dan dijadikan tahanan politik Jepang. Mereka diinternir di berbagai tempat sampai beberapa waktu lamanya. Mereka dibebaskan dari lokasi penangkapan setelah kedatangan pasukan Sekutu.

Sewaktu Jepang memerintah Sumatera Timur, orang Eropa yang jumlah tidak melebihi 425 orang makin limbung. Semua jabatan puncak yang ada di tangan mereka beralih ke orang Jepang. Para irlander yang berada di lapis bawah bangunan masyarakat kolonial, berangsur-angsur mengalami mobi­litas sosial karena beroleh posisi dan mengisi birokrasi pemerintahan di masa Jepang.

Sewaktu Jepang kalah perang dengan Sekutu dan Hindia Belanda memproklamirkan sebagai negara Indonesia merdeka, semua jabatan posisi puncak berada di tangan orang Indonesia. Dengan kemerde­kaan bangsa, orang Eropa yang men­jadi pioner dalam modernisasi masyarakat Sumatera Timur pelan tapi pasti menghilang dari pelataran formasi sosial masyarakat. Meski orang Eropa telah pergi, tetapi pe­ning­galan struktur sosial masya­rakat warisan masa kolonial masih tetap dirasakan sampai sekarang. Masih mengerasnya warisan bangu­nan masyarakat kolonial seperti yang terlihat dari meningginya kon­tes­tasi perebutan sumber daya eko­nomi dan politik di Sumatera Utara kontemporer merupakan eksemplar dari peninggalan warisan bangunan masyarakat kolonial masa lalu.

Penulis Dekan FIB USU; sejarawan

()

Baca Juga

Rekomendasi