Kerugian Negara Akibat Kerusakan Lingkungan

Oleh: Hasan Sitorus

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pertama ka­linya meng­gu­nakan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian keuangan negara dalam penuntutan terdakwa Gubernur nonaktif Sulawesi Teng­gara (Kompas, 8 Maret 2018).

Kasus yang menjerat Gubernur nonaktif Sulawesi Tengga­ra, Nur Alam, berkaitan dengan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertamba­ngan, Persetujuan Izin Usaha Per­tam­bangan (IUP) Eksplorasi, dan Persetujuan Peningkatan IUP Eks­plo­rasi menjadi IUP Operasi Pro­duksi kepada PT. Anugerah Harisma Barakah. Akibat pemberian persetu­juan itu yang dinilai jaksa KPK tidak mengikuti prosedur menyebabkan kerusakan ekosistem atau lingku­ngan dengan kerugian negara men­capai Rp 4,3 triliun.

Dasar perhitungan kerugian nega­ra akibat kerusakan ling­kungan didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pen­ce­maran dan Keru­sakan Lingkungan Hidup. Da­lam Per­men tersebut dinyatakan bahwa kerugian lingkungan hidup terdiri dari 4 jenis, yakni a) Kerugian karena dilampaunya baku mutu lingkungan hidup, b) Kerugian untuk penggan­tian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, c) Keru­gian untuk mengganti biaya penang­gulangan pen­ce­maran dan kerusakan lingkungan, dan d) Kerugian ekosis­tem.

Implikasi penting

Dengan mulai diterapkannya Permen LH No. 7/2014 oleh KPK, maka paling tidak hal itu membe­rikan 3 implikasi penting berkaitan dengan lingkungan hidup, yaitu : a) setiap pejabat publik harus lebih berhati-hati dalam pemberian izin pemanfaatan lingkungan, b) setiap perusahaan harus lebih berhati-hati untuk mencegah kerusakan ekosis­tem dan atau lingkungan, dan c) penegak hukum harus memiliki kemam­puan untuk menilai kerusa­kan lingkungan secara akurat.

Implikasi butir a dan b di atas hanya akan terlaksana bila pejabat publik dan para pengusaha memiliki komitmen untuk mendahulukan kepentingan masyarakat dan ling­kungan ketim­bang kepentingan pribadi. Namun hal itu tampaknya ti­daklah mudah di negeri tercinta ini, karena sering kita lihat bahwa ke­kuatan uang dapat mengalahkan se­galanya. Buk­tinya sudah banyak peja­bat publik dan para pengusaha yang tertangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus suap menyuap.

Dengan diterapkannya faktor kerusakan lingkungan dalam perhitu­ngan kerugian keuangan negara oleh KPK, memberi­kan secercah harapan di waktu mendatang akan terciptanya perlindungan lingkungan yang lebih baik, sebagaimana diamanatkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlin­dungan dan Pengelolaan Lingku­ngan. Artinya, upaya awal yang telah dila­kukan KPK menjadi momentum untuk mendorong seluruh penegak hukum dan pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk merevitalisasi aspek ekologi dan ekonomi dari ling­kungan yang rusak sebagai unsur kerugian negara yang harus diper­tang­gungjawabkan oleh pihak-pihak yang merusak lingkungan atau ekosistem.

Penerapan Permen LH No. 7/2014 sekaligus juga menjadi tan­tangan bagi para ahli atau konsultan lingku­ngan, Polisi, Jaksa dan Hakim dan unsur lainnya, untuk mampu menilai ke­rusakan lingkungan secara kuanti­tatif dalam bentuk nominal rupiah. Kita harus pahami bahwa menilai kerusakan eko­sis­tem atau lingku­ngan dalam bentuk nominal uang tidaklah mudah, dibutuhkan penge­tahuan khusus untuk menghitung atau mengestimasinya.

Peningkatan SDM

Unsur-unsur yang harus dinilai dalam setiap kerusakan ling­kungan dipengaruhi oleh aspek teknis dan non teknis. Aspek teknis sangat ter­kait dengan lokasi lahan dimana ter­jadi keru­sakan lingkungan, apakah di perairan laut, danau dan sungai, atau di daratan seperti hutan dan dara­tan pesisir, atau menyang­kut lingkungan udara. Sedangkan aspek non teknis terkait de­ngan kebijakan pemerintah dalam perlindungan dan penge­lo­laan lingkungan yang masih berlaku.

Aspek teknis cukup banyak un­sur­nya sehingga dapat timbul biaya verifikasi sengketa lingkungan hi­dup, biaya pengawasan, biaya pe­nang­­gulangan kerusakan ling­ku­ngan, biaya pemulih­an lingkungan, dan biaya kerugian ekosistem. Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa proses menilai biaya kerugian aki­bat ke­rusakan lingkungan secara kuanti­tatif bukanlah peker­jaan mudah, se­hingga sangat diperlukan pelatihan khusus un­tuk meningkatkan ke­mam­puan SDM penegak hukum, sehing­ga dapat diperoleh nilai keru­gian akibat kerusakan lingkungan atau ekosistem secara lebih akurat.

Berdasarkan hal itu, sudah saat­nya pemerintah melalui Ke­men­terian Lingkungan Hidup dan Ke­hu­ta­nan (KLHK) me­la­ku­kan upaya sosialisasi dan pelatihan secara intensif dan berke­sinambungan tentang metode penilaian kerugian negara akibat kerusakan lingku­ngan, baik di lembaga penegak hu­kum, litbang pemerintah, pergu­ru­an tinggi, lembaga konsultan ling­kungan, dan lembaga swadaya ma­sya­rakat Hal ini dimaksud­kan agar lebih banyak pemangku kepenti­ngan penge­lo­laan lingkungan yang memahami dan bisa dilibatkan da­lam proses penilaian kerugian ne­gara akibat kerusakan lingkungan di berbagai daerah. Hal ini akan se­kaligus memberikan dampak posi­tif yakni di satu sisi para pengusaha akan semakin hati-hati dalam me­manfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan dengan prinsip minimal kerusakan lingkungan dan pen­cemar­an, dan sisi lain biaya peme­rintah untuk rehabilitasi dan kon­servasi sumberdaya alam akan se­ma­kin rendah.

Selama ini kita lihat banyak lokasi pertambangan atau ke­giat­an industri yang menyisakan kerusa­kan lingkungan yang sangat parah, dan proses rehabilitasinya menjadi beban pe­me­rintah. Oleh sebab itu, penerapan hukum lingkungan me­la­lui perhitungan kerugian keuang­an negara akibat kerusakan ling­kungan dan atau ekosistem, harus­lah dapat dila­kukan se­ca­ra konsis­ten tanpa pandang bulu, dengan satu tujuan yakni sumberdaya alam dan lingkungan tetap terjaga keles­tariannya sehingga dapat dimanfa­atkan secara berkelan­jutan untuk pem­bangunan ekonomi dan kese­jah­te­raan masyarakat. Semoga !.

***

Penulis Dosen Tetap di Universitas HKBP Nommensen dan Pemerhati Masalah Lingkungan

()

Baca Juga

Rekomendasi