Ciri Mukmin: Berjiwa Kuat, Kokoh dan Tegar

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal Irham, M.Ag

Orang beriman dalam mengarungi kehidupan, selalu berada dalam pantauan dan mendapat perlindungan dari Allah, sehingga mereka selalu diingatkan agar tidak melakukan atau memiliki hal-hal yang buruk. Menjauhi keburukan, tentu saja akan semakin memperteguh keimanan di dalam hati. Seorang mukmin diberikan Allah kemampuan akal untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang berpotensi pada keburukan. Di dalam Alquran telah dijelaskan bahwa jiwa seseorang (an-nafs) memiliki dua sifat atau potensi, yakni potensi buruk (fujur) dan potensi baik (taqwa). Allah berfirman: “fa al-hamahaa fujuurohaa wa taqwaahaa” yang artinya “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ke­takwaannya”. (Qs. Asy-Syam, 91: 8). Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa jiwa/nafs adalah salah satu dari tiga unsur diri, selain fisik dan ruh. Jiwa/nafs disebut dalam Alquran dalam bentuk tunggal (nafs) sebanyak 116 kali dan dalam bentuk jama’ (anfus, nufus) sebanyak 155 kali. Jika fisik bersifat kehewanan, dan ruh bersifat keIlahian, maka jiwa bersifat kemanusiaan. Dalam sifat kemanusiaan ini, ada dua hal yang sama besar dan kuat potensinya, yakni fujur dan taqwa.

Jiwa yang buruk (fujur) sesung­guhnya merupakan kekurangan atau kelemahan jiwa yang harus diperbaiki. Di antara ciri-ciri orang yang lemah jiwanya adalah suka memuji diri sendiri. Dalam tinjauan ilmu psikologi, sesung­guhnya orang-orang yang suka memuji dirinya adalah orang yang menutupi sebuah tanda kelemahan diri. Pujian yang dilakukan pada dirinya tiada lain merupakan bentuk dari menghibur hati­nya yang sedang galau dan gelisah. Di sisi lain, sikap memuji diri ini adalah sebagian dari tanda kelemahan akal. Hal ini senada dengan ungkapan madhu an-nafs ‘alaamah qalil al-‘aql (Memuji diri adalah tanda rendahnya akal).

Orang yang suka memuji dirinya, sebenarnya adalah orang yang “belum dewasa” cara berpikirnya. Ia masih kekanak-kanakan dalam penggunaan akal, meskipun usianya sudah tua. Meminta pertimbangan atau nasehat kepada orang seperti ini, tentu saja merupakan sebuah kekeliruan. Lebih lanjut, orang yang memuji diri sendiri akan membangun karakter bahwa dirinya sangat benar dan sangat suci bila dibandingkan orang lain, sehingga ia melupakan bentuk keimanan kepada Allah yang sesungguhnya. Allah berfirman: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (Qs. An-Najm, 53: 32)

Ciri lain dari jiwa yang lemah adalah rasa bangga ketika ia memperoleh keberhasilan dan kesuksesan. Lebih dari itu, apabila mendapatkan kenik­matan atau kesenangan, mereka akan menunjukkan kegembiraan secara berlebih-lebihan. Berjingkrak-jingkrak kegirangan, melompat kesana kemari, tertawa terbahak-bahak, berjalan dengan sombong dan congkak. Namun jika ditimpa musibah atau kesulitan, maka mereka akan mengumpat, memaki-maki, marah-marah serta menyalahkan berbagai pihak atas kejadian yang menimpanya. Sebalik­nya, boleh jadi mereka akan merasa terpuruk, terkucil dan terhina. Efeknya mereka sering melamun, mengunci diri, atau bahkan menyendiri serta bicara dan tertawa sendiri.

Allah menggambarkan keadaan orang yang berjiwa rapuh ini dalam Alquran: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memu­liakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi Rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku meng­hinakanku”. (Qs. Al Fajr, 89: 15-16).

Ego atau kesombongan juga meru­pakan merupakan tanda dari kelemahan jiwa. Ia mengambil sifat yang bukan sifatnya. Itu adalah sifat Tuhan yang Maha Agung lagi Maha Berkuasa. Selain itu, sifat-sifat seperti ketakutan , kecemasan dan kekha­watiran adalah tanda lain dari kelema­han jiwa yang dilarang-Nya. “Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh­mu). Jika kamu men­derita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagai­mana kamu (pernah) mera­sa­kan penderitaan itu; sedangkan kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. An-Nisa’, 4: 104).

Dalam ayat tersebut secara tersirat dijelaskan bahwa orang yang selalu berharap (raja’) kepada Allah, tidak mudah mengeluh karena penderitaan atau sakit yang dirasakan. Ia tetap berjuang meski mengalami berbagai kesulitan. Bahkan, dalam perjuangan menegakkan kebenaran, ia akan terus mengejar dan memburu musuh, meski sampai ke lubang semut. Inilah gambaran dari ketegaran orang beriman, karena kuatnya harapan kepada Allah.

Segala bentuk ujian Allah yang diberikan kepada orang yang beriman pasti akan dihadapinya. Ia selalu merasa segala yang dimilikinya di dunia ini baik yang melekat pada dirinya maupun yang didapatkan dari usaha diri adalah milik Allah semata dan hanya kepada-Nya semuanya kembali. Maka ujian Allah dengan segala bentuk ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, ia hadapi dengan kesabaran. Allah berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)” (Qs. Al-Baqarah, 2: 155-156). Lalu ditegaskan Allah di lain ayat: “Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar”. (Qs. Ali Imran, 3: 146).

Penting untuk diingat bahwa kondisi kesehatan dan ketegaran jiwa sese­orang sangat berpengaruh bagi kualitas hidup dan ketangguhannya dalam menghadapi berbagai masalah atau problematika hidup. Orang yang jiwanya sehat dan kuat dapat meng­hadapi berbagai masalah kehidupan dengan mudah. Namun sebaliknya, apabila jiwa sedang sakit dan lemah tidak mampu mencerna dan menelaah masalah kehidupan yang dihadapinya. Resiko yang diterima tentu bertolak belakang dengan orang yang jiwanya sehat.

Orang yang kuat jiwanya akan menghadapi persoalan hidup dengan ketenangan, ketentraman dan keda­maian. Ia merasa tenang menjalani hidup karena yakin bahwa Allah yang Maha Rahman dan Rahim, akan selalu memberikan yang terbaik baginya. Jiwanya tentram karena merasakan keindahan mengingat-Nya. Hatinya penuh kedamaian karena merasakan kedekatan dengan-Nya.

Bagi orang beriman, selalu mengi­ngat Allah dijadikan amunisi utama untuk memperkuat jiwanya. Zikrullah (mengingat Allah) adalah modal terbesar bagi orang beriman untuk semakin memperkokoh jiwanya. Orang beriman selalu meyakini bahwa zikrullah tidak hanya memberi ketenangan jiwa, tapi juga memberi asupan kekuatan dan kesehatan dari segala penyakit. Mengapa demikian? Karena orang beriman selalu yakin dan percaya bahwa Allah memberi syifa’ (pe­nyem­buh) baik penyakit jasmani maupun ruhani. Allah berfirman: “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyem­buh bagi penyakit-penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beri­man”. (Qs. Yunus, 10: 57). Dan firman Allah: “Dan Kami turunkan dari Alquran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman”. (Qs. al-Isra’, 17: 82).

Secara pasti, yang namanya penya­kit harus disembuhkan agar segala aktitifas manusia dapat terus berjalan sebagaimana mestinya. Maka secara hakikat, Allah pulalah yang menyem­buhkan segala penyakit yang diderita manusia. Seorang yang jiwanya lemah, apabila ia diberi suatu penyakit, ia akan terus mengeluh terhadap penyakitnya, berburuk sangka kepada Allah atas segala takdirNya, melakukan perbuatan sia-sia selama sakit, hingga melupakan sebuah keharusan dirinya yang mesti dilakukan kepada Allah. Sungguh jauh berbeda dengan ciri seorang mukmin yang sesuai dengan ajaran Islam.Orang beriman selain ia harus kuat, tegar dan kokoh menghadapi ujian dari Allah, ia juga meyakini bahwa segala penyakit yang jika ia derita, pasti kesembuhannya hanya datang dari Allah. Para nabi terdahulu pun mengimani dan meyakini hal demikian sebagaimana diungkapkan oleh nabi Ibrahim dalam firman Allah: “...dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku, dan yang mematikan aku, kemudian akan meng­ hidupkan aku (kembali)...” (Qs. Asy-Syu’ara’, 26: 80-81). Begitu pula dengan ungkapan doa nabi Ayub dalam firman Allah: “....(Ya tuhanku) sesung­guhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang diantara para penyayang”. (Qs. al-Anbiya’, 21: 83).

Jadi secara keseluruhan, jika dipertanyakan mengapa orang beriman itu berjiwa kuat, kokoh dan tegar? Jawabannya, karena dia selalu memiliki ketersambungan atau keterhubungan yang baik dan berkesinambungan dengan Allah SWT. Allahu a’lam bi as-shawab.

*Penulis adalah Dosen Ilmu Tasawuf pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi