Tradisi Leluhur

Oleh: Rosniu Lim

SA CAP MEH (Malam Im­lek). Bunyi piring, mangkuk, sendok, garpu dan kuali yang ber­adu terdengar bising di rumah Mak Yung. Mak Yung menutup kompor minyak, menyendok ma­sakan dari kuali ke atas piring dan mangkuk. Bik Imah yang se­lesai mencuci, membantu Mak Yung menghidangkan masakan di atas meja sembahyang. A Yung yang duduk di sofa mem­baca koran, melirik berkali-kali, melihat apakah ibunya sudah se­lesai memasak.

Tiga mangkuk nasi, tiga cang­kir teh, dan tiga pasang sumpit telah diletakkan di atas meja. Di de­pan kursi yang disusun meng­hadap altar leluhur.

“Kita mulai acara sembah­yang, Ma?” tanya A Yung, mele­takkan koran dan berjalan men­dekati meja. Diliriknya jam din­ding, pukul 11 siang.

Mak Yung melap keringat di dahinya yang berceceran sedari ta­di, tak sempat dilapnya sewak­tu memasak. “Mana menantu dan cucu-cucu Mama? Sudah si­ang begini kenapa belum datang?” tanyanya, melirik A Yung.

A Yung menjawab cepat, “Nggak usah ditunggu, Ma.” Dia berjalan mendekati altar leluhur, menarik laci di bawah altar. Di­ke­luarkannya enam batang hio dan sebuah mancis.

“A Fang dan anak-anak tak akan datang.”

“Lho? Katamu tadi, mereka akan menyusul ke sini?” Mak Yung mengernyitkan dahi..

“Entah kenapa, hari ini toko ra­mai sekali. Barangkali pelang­gan tahu, toko akan libur bebe­rapa hari jadi pada sibuk belan­ja.”

Mak Yung mendesah, entah se­nang entah kecewa.

“Ya sudahlah, kita mulai sem­bahyang Papa, Akong dan Ama-mu,” kata Mak Yung. Diterima­nya tiga batang hio yang sudah dinyalakan putranya dan mereka pun berlutut sambil mengucap­kan doa.

Setelah 6 batang hio itu ditan­capkan di tempat hio, Mak Yung berpesan, “Malam nanti, suruh is­tri dan anak-anakmu datang, ki­ta makan besar bersama. Ma­sakan Mama banyak sekali, tak ada yang makan.”

A Yung hendak menjawab, ta­pi dibatalkannya karena takut ja­wabannya akan mengecewa­kan Mak Yung. Bagaimana hen­dak dikatakannya, istrinya sudah memesan tempat di restoran me­wah untuk makan bersama di ma­lam Sa Cap Meh.

Siang itu, Mak Yung dan pu­tranya duduk di meja makan, men­cicipi masakan setelah sem­bahyang leluhur. Tanpa A Fang dan ketiga cucunya, Mak Yung me­rasa sepi.

Cia Guek Che It (Hari Pertama Imlek).

A Yung, A Fang, dan ketiga putranya datang pai cia ke rumah Mak Yung pukul 11 siang.

Kiong Hi Fat ChaiAma!”

Kiong Hi, Ama!”

Kiong Hi, Ama!”

A San, A Sen, dan A Sun, ke­tiga putra A Yung dengan A Fang, masuk ke rumah sambil me­ngucapkan salam. Dengan me­nangkupkan kedua kepalan ta­ngan di depan dada, cucu-cucu tampan kebanggaan Mak Yung muncul di rumah neneknya.. Kesejukan dan kehangatan men­jalar di hati Mak Yung.

“Ya, ya, ya, Kiong Hi, cucu-cucu Ama yang tampan dan baik hati,” balas Mak Yung terse­nyum. “Nih, Ama kasih angpao,” dikeluarkannya tiga bungkus ang­pao dari saku bajunya dan diberikannya pada ketiga cucu­nya “Pintar sekolah ya…” kata­nya seperti sebuah doa.

Karena gembiranya, Mak Yung batal bertanya, kenapa anak menantunya siang begini baru sampai? Ke manakah me­reka pagi tadi? Sesuai tradisi Ti­onghoa, anak cucu harus pai cia ke rumah orangtua dari pihak la­ki-laki dulu. Setelah itu baru ke rumah ortu pihak permpuan.

Anak, menantu, dan cucu-cu­cu Mak Yung duduk di meja ma­kan menyantap sisa lauk yang dipanaskan pagi tadi. Mak Yung duduk di depan mereka. Diperha­tikannya raut wajah dan pakaian yang mereka kenakan. Tiba-tiba, keningnya berkerut.

“Kenapa anak-anak dibelikan baju warna hitam, Fang? Warna merah bukankah lebih bagus?” ta­nya Mak Yung. Di masanya du­lu, orangtua dan neneknya bisa marah bila dia datang pai cia de­ngan baju hitam.

Sekilas, A Fang melirik baju ketiga putranya, lalu berkata, “Kebetulan, model yang begini cu­ma ada warna hitam, Ma. Ini pula yang cantik.”

Mak Yung diam, tak berkata apa-apa lagi. Seandainya cucu-cucunya dipakaikan baju merah me­nyala seperti gaun menantu­nya itu, pasti akan kelihatan lebih tampan. Tapi ya, sudahlah.

 Pai Thi Kong

(Malam Sembahyang Tebu).

Mak Yung mengikat 2 batang tebu pada kedua samping kaki meja. Hidangan berupa kue dan buah telah disusun di atas meja. Meja itu ditaruh di atas loteng meng­hadap langit. Satu menit lewat pukul 24.00 tengah malam, di hari ke-9 Imlek, sembahyang tebu boleh dimulai.

 Mak Yung ingat pembicara­annya siang tadi dengan putra­nya. “Yung, malam nanti ajak A Fang dan cucu-cucu Mama ke rumah. Kita sembahyang tebu ber­sama. Kalian kan tidak sem­bahyang di rumah.”

“Aduh, Ma, sekarang banyak begal. Masa kami harus keluar menjelang tengah malam dan pulang dini hari? Bahaya sekali, Ma! Sori ya, Ma, kami tak bisa datang.”

Mak Yung mendesah kece­wa. Dia percaya, bila kita ber­itikad baik, tak mungkin hal bu­ruk akan menimpa. Sembahyang Tebu adalah sembahyang kepada Dewa Langit, pasti Dewa akan melindungi dan memberkati. Kenapa harus takut?

Sambil menyalakan tiga batang hio dan ditemani suara petasan riuh rendah, Mak Yung berlutut di dekat meja sembahyang. “Ya, Thi Kong, berkatilah anak, menantu dan cucu-cucuku, agar mereka selamat, se­hat dan bahagia.”

Cap Go Meh

(Malam ke-15 Imlek).

Gegap gempita suara tarian ba­rongsai terdengar di dekat meja ma­kan kompleks perumahan asri yang terkenal akan kulinernya. Mak Yung sedang menyantap ma­kan malam bersama anak menantu dan cucu-cucunya. Malam Cap Go Meh menandai berakhirnya pera­yaan Imlek.

Bahagia berkumpul bersama keluarga besar, Mak Yung menge­luarkan angpao-angpao dari saku ba­junya. Dengan wajah sumri­ngah, diberikannya angpao-angpao itu pada para penari barongsai yang berjumlah belasan. Dengan bebe­rapa loncatan, mereka menerima angpao itu melalui mulut barong­sai. Lalu merunduk sebagai tanda terima kasih.

Chengbeng

(Hari Sembahyang Leluhur di Makam).

“Ma, Chengbeng kali ini tidak usah lipat kertas sembahyang. Kita pai-pai pakai tangan saja.”

“Maksudnya?” tanya Mak Yung tak mengerti. Tangannya sedang melipat kertas sembah­yang. Karena tinggal sendiri dan dikunjungi anaknya sesekali, semuanya harus dikerjakannya sendiri.

Nggak mengapa, cuma untuk men­cegah polusi udara saja,” jawab A Yung bijak.

  Hati Mak Yung bergetar. Wa­laupun tak berpendidikan, tapi Mak Yung tak terlalu bodoh untuk me­ngerti.

“Untuk mencegah polusi udara, mulai besok, kamu jemput anakmu di sekolah jalan kaki.. Ke sini pun jalan kaki. Jangan pakai mobil ka­rena asap mobilmu akan menim­bulkan polusi udara. Suara mobil­mu juga menimbulkan polusi sua­ra,” katanya geram.

A Yung diam, tak berkutik.

Mak Yung merutuk dalam hati, selama hampir 70 tahun dia meng­ikuti tradisi sembahyang leluhur di makam.. Tak berani sekali pun dia membantah karena takut kualat. Tapi kali ini, anaknya malah berani melarangnya atau bahkan menyu­ruhnya melawan tradisi leluhur?

Memang, kertas itu belum tentu menjadi uang di alam baka bila di­­persembahkan dan dibakar. Itu ka­ta sebagian orang. Bagaimana kalau, kertas itu benar-benar men­jadi uang dan bisa dipergunakan di alam sana? Bukankah dalam film semua itu jelas dipertontonkan?

Chit Guek Pua

(Tengah Bulan Ke Tujuh).

Mak Yung merasa lelah. Semua tradisi leluhur yang dituruti dan di­ja­lankannya menguras tenaga­nya. Tanpa dukungan anak, menan­tu, apalagi cucu-cucunya, lang­kahya terasa berat. Altar suami dan kedua mertua yang ditaruh di ru­mahnya, membuatnya harus memasak lebih setiap ada pera­yaan.

Seperti juga Chit Gwee Pua ini, yang konon sama penting­nya dengan perayaan Chengbeng. Hari makan besar bagi para arwah leluhur dan arwah gentayangan, Mak Yung  tak al­pa menghidangkan makanan di atas meja sembahyang. Me­nancapkan tiga batang hio dan membakar kim cua gin cua di de­pan rumah.

Semua itu dilakukannya sen­diri, tanpa kehadiran anak, menantu, dan cucu-cucunya yang semakin malas menjalan­kan tradisi leluhur.

Peh Guek Pua

(Hari Sembahyang Dewi Bulan).

Mak Yung menghidangkan tiga potong kue bulan dan tiga cangkir teh di altar suami dan kedua mertuanya. Pai-pai se­bentar, dia pun melanjutkan kembali pekerjaannya.

Tang Cuek

(Hari Makan Onde).

Mak Yung membuat bula­tan-bulatan kecil berupa onde-onde dari campuran tepung war­na-warni. Bulatan-bulatan itu disusunnya di atas tampa be­sar. Besok, bertepatan  Hari Ibu 22 Desember, adalah hari makan onde. Hari sembahyang leluhur juga.

Diambilnya telepon geng­gamnya dan ditelponnya putra­nya.

“Yung, besok ajak A Fang dan anak-anak ke sini, Mama masak onde-onde. Masing-ma­sing makan satu mangkuk sebagai pertanda bertambah­nya usia. Kebulatan dalam satu keluarga.”

“Ma, besok perayaan Hari Ibu. Orangtua murid mendapat undangan dari pihak sekolah. A Fang akan hadir di sekolah, melihat perlombaan memasak anak-anak.”

Kepala Mak Yung tiba-tiba pusing. Putranya pernah ber­ka­ta, Hari Ibu, A Fang tidak di­perkenankannya bekerja. Ha­ri Ibu, seorang Ibu seperti di­rinya harus beristirahat. Anak-anaklah yang akan be­ker­ja dan memasak.

Kalau begitu, onde-onde yang sudah selesai dibuatnya ini siapa yang akan memasak­nya besok? Benarkah dia boleh beristirahat sehari di hari isti­mewa itu? Kalau dia tak me­masak, tradisi leluhur siapa yang akan melanjutkan?

Kalau bukan Mak Yung sen­diri yang melestarikan tra­disi leluhurnya, siapa lagikah yang akan...?

Medan, Maret 2018.

()

Baca Juga

Rekomendasi