SA CAP MEH (Malam Imlek). Bunyi piring, mangkuk, sendok, garpu dan kuali yang beradu terdengar bising di rumah Mak Yung. Mak Yung menutup kompor minyak, menyendok masakan dari kuali ke atas piring dan mangkuk. Bik Imah yang selesai mencuci, membantu Mak Yung menghidangkan masakan di atas meja sembahyang. A Yung yang duduk di sofa membaca koran, melirik berkali-kali, melihat apakah ibunya sudah selesai memasak.
Tiga mangkuk nasi, tiga cangkir teh, dan tiga pasang sumpit telah diletakkan di atas meja. Di depan kursi yang disusun menghadap altar leluhur.
“Kita mulai acara sembahyang, Ma?” tanya A Yung, meletakkan koran dan berjalan mendekati meja. Diliriknya jam dinding, pukul 11 siang.
Mak Yung melap keringat di dahinya yang berceceran sedari tadi, tak sempat dilapnya sewaktu memasak. “Mana menantu dan cucu-cucu Mama? Sudah siang begini kenapa belum datang?” tanyanya, melirik A Yung.
A Yung menjawab cepat, “Nggak usah ditunggu, Ma.” Dia berjalan mendekati altar leluhur, menarik laci di bawah altar. Dikeluarkannya enam batang hio dan sebuah mancis.
“A Fang dan anak-anak tak akan datang.”
“Lho? Katamu tadi, mereka akan menyusul ke sini?” Mak Yung mengernyitkan dahi..
“Entah kenapa, hari ini toko ramai sekali. Barangkali pelanggan tahu, toko akan libur beberapa hari jadi pada sibuk belanja.”
Mak Yung mendesah, entah senang entah kecewa.
“Ya sudahlah, kita mulai sembahyang Papa, Akong dan Ama-mu,” kata Mak Yung. Diterimanya tiga batang hio yang sudah dinyalakan putranya dan mereka pun berlutut sambil mengucapkan doa.
Setelah 6 batang hio itu ditancapkan di tempat hio, Mak Yung berpesan, “Malam nanti, suruh istri dan anak-anakmu datang, kita makan besar bersama. Masakan Mama banyak sekali, tak ada yang makan.”
A Yung hendak menjawab, tapi dibatalkannya karena takut jawabannya akan mengecewakan Mak Yung. Bagaimana hendak dikatakannya, istrinya sudah memesan tempat di restoran mewah untuk makan bersama di malam Sa Cap Meh.
Siang itu, Mak Yung dan putranya duduk di meja makan, mencicipi masakan setelah sembahyang leluhur. Tanpa A Fang dan ketiga cucunya, Mak Yung merasa sepi.
Cia Guek Che It (Hari Pertama Imlek).
A Yung, A Fang, dan ketiga putranya datang pai cia ke rumah Mak Yung pukul 11 siang.
“Kiong Hi Fat Chai, Ama!”
“Kiong Hi, Ama!”
“Kiong Hi, Ama!”
A San, A Sen, dan A Sun, ketiga putra A Yung dengan A Fang, masuk ke rumah sambil mengucapkan salam. Dengan menangkupkan kedua kepalan tangan di depan dada, cucu-cucu tampan kebanggaan Mak Yung muncul di rumah neneknya.. Kesejukan dan kehangatan menjalar di hati Mak Yung.
“Ya, ya, ya, Kiong Hi, cucu-cucu Ama yang tampan dan baik hati,” balas Mak Yung tersenyum. “Nih, Ama kasih angpao,” dikeluarkannya tiga bungkus angpao dari saku bajunya dan diberikannya pada ketiga cucunya “Pintar sekolah ya…” katanya seperti sebuah doa.
Karena gembiranya, Mak Yung batal bertanya, kenapa anak menantunya siang begini baru sampai? Ke manakah mereka pagi tadi? Sesuai tradisi Tionghoa, anak cucu harus pai cia ke rumah orangtua dari pihak laki-laki dulu. Setelah itu baru ke rumah ortu pihak permpuan.
Anak, menantu, dan cucu-cucu Mak Yung duduk di meja makan menyantap sisa lauk yang dipanaskan pagi tadi. Mak Yung duduk di depan mereka. Diperhatikannya raut wajah dan pakaian yang mereka kenakan. Tiba-tiba, keningnya berkerut.
“Kenapa anak-anak dibelikan baju warna hitam, Fang? Warna merah bukankah lebih bagus?” tanya Mak Yung. Di masanya dulu, orangtua dan neneknya bisa marah bila dia datang pai cia dengan baju hitam.
Sekilas, A Fang melirik baju ketiga putranya, lalu berkata, “Kebetulan, model yang begini cuma ada warna hitam, Ma. Ini pula yang cantik.”
Mak Yung diam, tak berkata apa-apa lagi. Seandainya cucu-cucunya dipakaikan baju merah menyala seperti gaun menantunya itu, pasti akan kelihatan lebih tampan. Tapi ya, sudahlah.
Pai Thi Kong
(Malam Sembahyang Tebu).
Mak Yung mengikat 2 batang tebu pada kedua samping kaki meja. Hidangan berupa kue dan buah telah disusun di atas meja. Meja itu ditaruh di atas loteng menghadap langit. Satu menit lewat pukul 24.00 tengah malam, di hari ke-9 Imlek, sembahyang tebu boleh dimulai.
Mak Yung ingat pembicaraannya siang tadi dengan putranya. “Yung, malam nanti ajak A Fang dan cucu-cucu Mama ke rumah. Kita sembahyang tebu bersama. Kalian kan tidak sembahyang di rumah.”
“Aduh, Ma, sekarang banyak begal. Masa kami harus keluar menjelang tengah malam dan pulang dini hari? Bahaya sekali, Ma! Sori ya, Ma, kami tak bisa datang.”
Mak Yung mendesah kecewa. Dia percaya, bila kita beritikad baik, tak mungkin hal buruk akan menimpa. Sembahyang Tebu adalah sembahyang kepada Dewa Langit, pasti Dewa akan melindungi dan memberkati. Kenapa harus takut?
Sambil menyalakan tiga batang hio dan ditemani suara petasan riuh rendah, Mak Yung berlutut di dekat meja sembahyang. “Ya, Thi Kong, berkatilah anak, menantu dan cucu-cucuku, agar mereka selamat, sehat dan bahagia.”
Cap Go Meh
(Malam ke-15 Imlek).
Gegap gempita suara tarian barongsai terdengar di dekat meja makan kompleks perumahan asri yang terkenal akan kulinernya. Mak Yung sedang menyantap makan malam bersama anak menantu dan cucu-cucunya. Malam Cap Go Meh menandai berakhirnya perayaan Imlek.
Bahagia berkumpul bersama keluarga besar, Mak Yung mengeluarkan angpao-angpao dari saku bajunya. Dengan wajah sumringah, diberikannya angpao-angpao itu pada para penari barongsai yang berjumlah belasan. Dengan beberapa loncatan, mereka menerima angpao itu melalui mulut barongsai. Lalu merunduk sebagai tanda terima kasih.
Chengbeng
(Hari Sembahyang Leluhur di Makam).
“Ma, Chengbeng kali ini tidak usah lipat kertas sembahyang. Kita pai-pai pakai tangan saja.”
“Maksudnya?” tanya Mak Yung tak mengerti. Tangannya sedang melipat kertas sembahyang. Karena tinggal sendiri dan dikunjungi anaknya sesekali, semuanya harus dikerjakannya sendiri.
“Nggak mengapa, cuma untuk mencegah polusi udara saja,” jawab A Yung bijak.
Hati Mak Yung bergetar. Walaupun tak berpendidikan, tapi Mak Yung tak terlalu bodoh untuk mengerti.
“Untuk mencegah polusi udara, mulai besok, kamu jemput anakmu di sekolah jalan kaki.. Ke sini pun jalan kaki. Jangan pakai mobil karena asap mobilmu akan menimbulkan polusi udara. Suara mobilmu juga menimbulkan polusi suara,” katanya geram.
A Yung diam, tak berkutik.
Mak Yung merutuk dalam hati, selama hampir 70 tahun dia mengikuti tradisi sembahyang leluhur di makam.. Tak berani sekali pun dia membantah karena takut kualat. Tapi kali ini, anaknya malah berani melarangnya atau bahkan menyuruhnya melawan tradisi leluhur?
Memang, kertas itu belum tentu menjadi uang di alam baka bila dipersembahkan dan dibakar. Itu kata sebagian orang. Bagaimana kalau, kertas itu benar-benar menjadi uang dan bisa dipergunakan di alam sana? Bukankah dalam film semua itu jelas dipertontonkan?
Chit Guek Pua
(Tengah Bulan Ke Tujuh).
Mak Yung merasa lelah. Semua tradisi leluhur yang dituruti dan dijalankannya menguras tenaganya. Tanpa dukungan anak, menantu, apalagi cucu-cucunya, langkahya terasa berat. Altar suami dan kedua mertua yang ditaruh di rumahnya, membuatnya harus memasak lebih setiap ada perayaan.
Seperti juga Chit Gwee Pua ini, yang konon sama pentingnya dengan perayaan Chengbeng. Hari makan besar bagi para arwah leluhur dan arwah gentayangan, Mak Yung tak alpa menghidangkan makanan di atas meja sembahyang. Menancapkan tiga batang hio dan membakar kim cua gin cua di depan rumah.
Semua itu dilakukannya sendiri, tanpa kehadiran anak, menantu, dan cucu-cucunya yang semakin malas menjalankan tradisi leluhur.
Peh Guek Pua
(Hari Sembahyang Dewi Bulan).
Mak Yung menghidangkan tiga potong kue bulan dan tiga cangkir teh di altar suami dan kedua mertuanya. Pai-pai sebentar, dia pun melanjutkan kembali pekerjaannya.
Tang Cuek
(Hari Makan Onde).
Mak Yung membuat bulatan-bulatan kecil berupa onde-onde dari campuran tepung warna-warni. Bulatan-bulatan itu disusunnya di atas tampa besar. Besok, bertepatan Hari Ibu 22 Desember, adalah hari makan onde. Hari sembahyang leluhur juga.
Diambilnya telepon genggamnya dan ditelponnya putranya.
“Yung, besok ajak A Fang dan anak-anak ke sini, Mama masak onde-onde. Masing-masing makan satu mangkuk sebagai pertanda bertambahnya usia. Kebulatan dalam satu keluarga.”
“Ma, besok perayaan Hari Ibu. Orangtua murid mendapat undangan dari pihak sekolah. A Fang akan hadir di sekolah, melihat perlombaan memasak anak-anak.”
Kepala Mak Yung tiba-tiba pusing. Putranya pernah berkata, Hari Ibu, A Fang tidak diperkenankannya bekerja. Hari Ibu, seorang Ibu seperti dirinya harus beristirahat. Anak-anaklah yang akan bekerja dan memasak.
Kalau begitu, onde-onde yang sudah selesai dibuatnya ini siapa yang akan memasaknya besok? Benarkah dia boleh beristirahat sehari di hari istimewa itu? Kalau dia tak memasak, tradisi leluhur siapa yang akan melanjutkan?
Kalau bukan Mak Yung sendiri yang melestarikan tradisi leluhurnya, siapa lagikah yang akan...?
Medan, Maret 2018.