Jemarimu adalah Harimaumu

Oleh: Hoesny el-Ibrahimy.

Sebagai makhluk sosial manusia hidup membutuhkan orang lain.Tak mampu hidup sepi menyendiri. Contoh ringan, kita hidup butuh perempuan (istri) sebagai pendamping hidup dalam mengarungi samu­dera kehidupan dengan segala permasalahan yang unik. Apalagi dalam berma­syarakat, satu dengan lainya saling mendukung dan membutuhkan.

Dalam lingkar kehidupan bermasya­rakat, suatu hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya etika yang baik. Kunci keselamatan hidup salah satunya adalah etika yang baik, dalam bahasa agama, berakhlak mulia. Mengapa? Karena, kisah-kisah yang terjadi dimasyarakat, seperti keributan, perselisihan, adu mulut, pembunuhan dan lain sebagainya, asbab akhlak jelek yang dipertontonkan.

Contoh buruk yang beredar adalah perilaku fitnah yang diedarkan oleh mulut-mulut “busuk”, yang tak pernah menyikat gigi dengan odolnya iman, maka ributlah satu kampung dibuatnya. Bahkan bisa jadi, negeri pun dapat dibuat gonjang-ganjing.

Mulut busuk merupakan perilaku “ember” dalam menyam­paikan informasi salah (hoax) baik secara langsung maupun main belakang. Tanpa memikirkan efek yang bakal terjadi, kelakuan ini bisa menerkam dan mencabik-cabik dirinya sendiri. Setiap bentuk perbuatan dan perkataan bernuansa jahat yang dilakukan maka akibatnya akan kembali kepada pribadi sendiri. Senjata makan tuan. Me­rugikan diri sendiri dan bahkan keluarga. Atau dalam frasa peribahasa dikatakan mulutmu adalah harimaumu.

Media lagi hangat menampilkan kisah perseteruan antara Bapak Dr. H. Muham­mad Amien Rais, Mantan Ketua MPR periode 1999 - 2004 dengan Bapak Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. Bapak M.Amien Rais menuding jika pembagian sertifikat tanah yang selama ini dilakukan noleh Presiden Jokowi hanyalah pengibulan atau pembohongan (Tribun Lampu ng.co.id/21/3/2018).

Peryataan ini membuat geram Luhut Binsar Panjaitan dan beliau menyambut­nya dengan nada tinggi. Menurut beliau apa yang disampaikan oleh Amien Rais jangan asal bunyi alias asbun. Beliau mengingatkan bahwa, jangan asal kritik saja.

Kisruh omongan antara mantan pejabat negara dan pejabat negara now sejatinya tak boleh terjadi. Efeknya tak baik untuk kemaslahatan nasib bangsa. Sungguh tak elok dipandangnya. Penulis kuatir salah satu diantaranya akan diterkam harimau dan berurusan dengan pengadilan. Sungguh tak sedap jika harus menjadi penghuni hotel prodeo.

Jemarimu adalah harimaumu

Mulutmu adalah harimaumu merupa­kan peribahasa yang mengandung kono­tasi kurang baik. Unsur negatif lebih dominan dibandingkan positif. Perbuatan yang tak bersahabat. Satu dengan lainnya bisa saling mengejek, saling benci bahkan saling menuntut hingga ke pengadilan.

Mulut adalah anggota tubuh. Salah satu indera vital yang membawa berkah dan juga bencana. Jika mulutnya “busuk” atau bau maka akan dikucilkan oleh orang banyak. Dan, jika mulutnya” wangi” akan disenangi seluruh insani.

Selain mulut ada juga anggota tubuh yang berbahaya dan juga bermanfaat, yaitu jemari. Diatas sedikit disinggung tentang mulutmu adalah harimaumu. Ada juga frasa baru yang penulis infokan yaitu jemarimu adalah harimaumu. Saya kira artinya sama dengan mulutmu adalah harimaumu.

Kesalahan memainkan jemari maka dikhawa­tirkan akan kena terkam harimau juga. Dan, peran jemari di era perkem­bangan teknologi informasi sangat mung­kin hadir sebagai Devide et impera atau lahir sebagai pemecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Kalimat jemarimu adalah harimaumu terinspirasi dari sambutan yang disam­paikan oleh Kiyai Haji Masduki Baidlowi (MUI Pusat) pada acara Silatu­rahmi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah dengan tokoh Agama dan tokoh masyara­kat se-Sumatera Utara, tanggal 8 Maret 2018 di Mapoldasu. Sedikit yang penulis pahami bahwa peran jemari di era infor­masi sangat berpengaruh. Gerakan jemari mampu membuat membuat teduh dan mampu membuat kacau suasana. Tajam­nya bisa melebihi silet.

Sesaat lagi Pilkada serentak akan mengudara. Tanggal 27 Juni 2018 secara serentak akan dilaksanakan pencoblosan. Tidak tanggung-tanggung 171 daerah akan meramaikan pesta demo­krasi di tanah air. Setiap pasangan calon dengan tim sukses akan memainkan segala upaya untuk menjadi pemenang dalam pesta ini. Hal yang sangat naif kemung­kinan bisa terjadi yaitu permainan “setan” untuk mencari simpati massa. Satu lainnya kalau tak kuat iman akan saling menjatuh­kan. Salah satu atu cara yang dimainkan adalah melalui media sosial.

Media sosial sangat digan­drungi oleh masyarakat. Jemari liar dengan tipu muslihat bisa saja mengirimkan berita hoax alias palsu tentang pasangan calon pesaingnya. Kampanye hitam mungkin tak terbendung walau bertebar pengawas. Jika jemarimu salah digunakan yang dituangkan melalui media sosial seperti FB, WA, Path, Instagram dan lain seba­gainya, bahkan dengan akun palsu­nya, maka berita ini akan menjadi bahan baku perpecahan dalam hidup berkebangsaan.

Jemarimu yang dihiasi aura kebencian sangat rentan menjadi api pematik keru­suhan. Jangan ikutkan setan dijari jemari­mu. Hati-hati setiap berkolaborasi dengan setan maka tumbalnya bisa diri sendiri jadi korban. Ibaratnya setan menjelma menjadi harimau kejam.

Masih terbayang dalam ingatan ketika ada masyarakat yang menghina TNI, yang bersang­kutan menuliskan dalam akun FB nya dengan mengatakan TNI diperba­tasan hanya makan tidur saja. Akibat tangan bodohnya maka yang bersang­kutan kena “damprat” oleh ba­nyak orang. Untung TNI masih bijak­sana dengan dengan hati lapang memaaf­kan aksi dari orang tak bertanggungjawab ini.

Kisah pedih lainya adalah ujaran kebencian yang dilakukan oleh Jon Riah Ukur alias Jonru Ginting, yang ditumpah­kan di akun FB nya. Jaksa menyatakan bahwa Jonru Ginting terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana, melakukan beberapa perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku ras dan antara golongan (Bernas,20 /02/2018). Akhirnya beliau berhadapan de­ngan hukum dan repot jadinya.

Sebagai insan Tuhan, indera yang diberikan baik mulut dan jemari atau bahkan lainnya, hendaknya harus diman­faatkan untuk menyebar kebaikan. Jangan dimanfaatkan untuk mendistri­busikan ujaran kebencian. Tidak hanya mulut kita berubah menjadi harimau namun jemari kita yang halus dan lentik pun bisa ber­transformasi menjadi harimau.

Dunia boleh berlari kencang, siang pasti tergantikan malam, namun jemari ciptaan Tuhan jangan ternodai oleh ra­yuan setan. Jangan engkau merubah fung­si jemarimu menjadi harimau pe­mangsa kejam. Karena jika harimau mur­ka sang tuan pun akan menjadi santapan. ***

Penulis, Alumni Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

()

Baca Juga

Rekomendasi