Meningkatkan Taraf Hidup Nelayan

Oleh: Hasan Sitorus

Keberhasilan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, memberantas illegal fishing di Indonesia ternyata belum diikuti peningkatan taraf hidup nelayan kita. Indikator keberhasilan pengen­dalian illegal fishing yakni terjadinya peningkatan secara signifikan potensi lestari sumber­daya perikanan laut kita dari 6,7 juta ton/tahun tahun 2014 menjadi 12,1 juta ton/tahun tahun 2017 atau meningkat sebesar 80,60 %, hanya menurunkan jumlah nelayan miskin sebesar 3,46 persen.

Walaupun potensi sumberdaya perikanan laut kita semakin meningkat, tetapi jumlah nelayan miskin di negeri ini belum menurun secara signifikan. Jumlah nelayan miskin di Indonesia hingga saat ini masih lebih dari 7 juta orang atau hampir seperempat dari total penduduk miskin nasional yang tesebar di sekitar 3.216 desa nelayan di wilayah pesisir tanah air.Secara nasional, jumlah nelayan terbanyak terdapat di Propinsi Jawa Timur yakni 334.000 orang, dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni 9.000 orang. Sementara itu di wilayah Propinsi Sumatera Utara jumlah nelayan mencapai 270.000 orang dan di Kota Medan sekitar 21.000 orang.

Di tengah gencarnya program pemerintah untuk meningkatkan produksi dan ekspor perikanan nasional, nelayan yang berada di sektor hulu yakni bagian awal proses produksi melalui kegiatan penangkapan ikan di laut, kehidupannya tidak sejahtera. Hanya sebagian kecil dari mereka yaitu nelayan pemilik modal dan juragan ikan yang mampu menik­mati dampak program peman­faatan sumberdaya perikanan laut.

Ironis memang, nelayan yang bergelut dengan ganasnya laut dan mempertaruhkan nyawa untuk memperoleh penghasilan untuk kelanjutan hidup dan keluarganya, dan telah berkontribusi besar meningkatkan produksi perikanan tangkap nasional. Namun kehidu­pan­nya nelayan selalu dalam kemiskinan bahkan banyak yang jatuh dalam lilitan hutang dengan para tengkulak atau juragan ikan, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang sangat lemah. Inilah tantangan besar bangsa ini untuk membangun sektor kelautan dan perikanan yang berkeadilan bagi ma­syarakat nelayan, termasuk pembudidaya ikan dan petani tambak garam.

Oleh sebab itu, timbul perta­nyaan menga­pa kehidupan nelayan kita selalu dalam ke­miskinan ? Apakah program dari Kemen­te­rian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mampu mengubah kondisi ekonomi nelayan selama ini ?

Sesungguhnya program KKP untuk meningkatkan taraf hidup nelayan sudah cukup banyak dilakukan, baik melalui pro­gram pengadaan sarana produksi peri­kanan tangkap, budidaya laut, pengolahan produk perikanan, bantuan biaya pendidikan, kese­hatan dan bentuk lainnya, namun kehidupan nelayan kita belum banyak berubah.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain menerbitkan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pem­berdayaan Nelayan, Pembu­didaya Ikan dan Petambak Garam, Inpres No. 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan In­dustri Perikanan Nasional, Program Asuransi Nelayan dan Program Jaring ((Jangkau, Si­nergi dan Guideline) yang dilaksanakan Oto­ritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mem­permudah akses kredit bagi nelayan.

Walaupun kebijakan dan program ini bertujuan bagus, tetapi banyak pihak menilai bahwa program itu tidak mudah diimple­mentasikan di lapangan. Ada gap yang besar antara kebijakan dari pemerintah pusat de­ngan imple­mentasi di berbagai daerah teru­tama menyangkut aspek adminis­trasi dan biro­krasi, sehingga menyulitkan bagi nelayan.

Rumitnya memperoleh kredit

Masyarakat nelayan sering mengeluhkan sulit dan rumitnya untuk memperoleh fasilitas kredit usaha perikanan, terutama karena tidak lengkapnya dokumen jaminan (agunan) ke lem­baga keuangan. Hal ini disebabkan karena kapal-kapal yang mereka miliki belum me­miliki Sertifikat Tanda Kelas Kapal (STKK) secara resmi dari Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), dan tanah pemukiman nelayan di wi­layah pesisir yang belum memiliki sertifikat tanah.

Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengupayakan agar kapal-kapal nela­yan yang sudah terdaftar resmi dapat segera diterbitkan STKK. Demikian juga lahan pemukiman nelayan di wilayah pesisir sela­yaknya dapat dibantu pemerintah untuk memperoleh sertifikat hak milik (SHM), sehingga dokumen ini dapat digunakan nelayan dalam pengurusan kredit usaha kecil (mikro) yang dipersyaratkan lembaga keua­ngan atau lembaga asuransi.

Kenyataan di lapangan bahwa persyaratan ini relatif sulit dipenuhi nelayan, sehingga kredit usaha nelayan yang bisa disalurkan lembaga keuangan sangat kecil setiap tahun­nya. Menurut per­hitungan KKP, kebutuhan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor kelautan dan perikanan tahun 2017 mencapai Rp 21,7 triliun, dan ternyata realisasi di lapangan hanya sebesar 1,3 %.

Berarti dapat kita nyatakan, bahwa salah satu faktor penyebab sulitnya mengubah kondisi ekonomi nelayan kita adalah sulitnya memperoleh kredit usaha, karena lembaga keuangan selalu mengemukakan alasan kla­sik bahwa KUR itu beresiko tinggi. Oleh sebab itu, dibutuhkan tero­bosan dari peme­rintah melalui Kemenko Kemaritiman, dan KKP agar lembaga keuangan dalam negeri dapat lebih banyak menyentuh program pe­ningkatan kesejahteraan nelayan.

Di samping upaya peningkatan kredit usaha kepada masyarakat nelayan, maka upa­ya lain yang dapat dilakukan untuk mening­katkan taraf hidup nelayan adalah dengan melaksanakan program transmigrasi nelayan.

Menurut penulis, melaksanakan transmi­grasi nelayan ke berbagai daerah di tanah air dengan insentif yang menarik dari peme­rintah, akan memungkinkan nelayan dapat meningkatkan kesejah­teraannya di daerah pesisir yang baru. Insentif tersebut dapat berupa rumah sederhana, lahan di pesisir, biaya hidup 1 tahun, dan bantuan sarana produksi seperti perahu dan jaring.

Penulis berkeyakinan, akan banyak nela­yan yang tertarik mengikuti program trans­migrasi dengan adanya jaminan fasilitas dari pemerintah, dan di daerah yang baru mereka dapat mem­peroleh penghasilan yang lebih besar ketimbang di daerah asal yang populasi nelayan sudah padat dan hasil tangkapan cenderung menurun.

Program lain yang patut untuk dikem­bangkan di tanah air untuk pemberdayaan nelayan adalah program pelatihan nelayan. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan nelayan dalam kegiatan penang­kapan ikan sehingga peng­hasi­lannya meningkat. Pelatihan tersebut me­nyangkut penggunaan peralatan navigasi kapal, instrumen pencari populasi ikan, aspek kepelautan (seamanship), peme­liharaan pera­hu/kapal ikan, dan perawatan mesin kapal.

Dengan melalukan pelatihan yang terprogram dan berkelanjutan, maka nelayan tidak lagi hanya mengandalkan pengalaman melaut secara turun temurun untuk menang­kap ikan di laut, tetapi juga sudah melek teknologi, sehingga upaya penangkapan ikan menjadi lebih efisien dan memberikan pen­dapatan yang lebih besar.

Dengan perkataan lain, penggunaan instrumen teknologi akan dapat memper­pendek waktu penangkapan ikan (fishing trip), sehingga biaya operasional penang­kapan semakin rendah. Selain itu, dengan adanya peningkatan keterampilan untuk perawatan kapal dan mesin, akan sangat membantu memperpanjang masa pakai kapal ikan, dan sekaligus memperkecil biaya pemeliharaan kapal ikan.

Upaya lain yang harus digiatkan peme­rintah adalah program penyuluhan berbasis sosial budaya untuk merubah pola pikir dan gaya hidup nelayan. Banyak nelayan yang dalam hidupnya pasrah menerima keadaan miskin dari waktu ke waktu, dan disisi lain memiliki gaya hidup konsumtif sehingga pendapatan mereka bisa habis dalam satu hari tanpa memikirkan hari esok. Oleh sebab itu, diperlukan revolusi mental bagi masya­rakat nelayan sehingga mereka mampu mem­bangkitkan dirinya menjadi pelaku pemba­ngunan sektor kelautan dan perikanan, tidak hanya menjadi objek pembangunan.

Dengan menjadi nelayan yang mandiri, maka mereka dapat menjadi keluarga nelayan yang sejahtera dan mampu menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga SDM di wilayah pesisir semakin meningkat dan pada gilirannya mampu berkontribusi dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Semoga !***

Penulis Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan di Universitas HKBP Nommensen Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi