Oleh: Dede Harison.
“JERUK yang dimakan di tempat gratis, yang dibawa pulang baru bayar. Boleh memetik sendiri asalkan tahu memilih jeruk yang sudah tua. Bagian bawah jeruk yang lembek itu tandanya sudah masak, boleh dipetik.”
Begitulah ungkapan Siti (48) kepada pembeli yang datang di kebun jeruk miliknya di Desa Rongoh, Kecamatan Tamiang Hulu, Aceh Tamiang, Sabtu (17/3).
Dia memberitahukan itu karena jeruk asal Pantai Buaya, Kecamatan Besitang, Langkat, ini rerata kulitnya tetap berwarna hijau meski sudah masak di pohon. Di samping itu agar terbangun keramah-tamahan yang membuat pembeli senang.
“Saya tahu ada kebun jeruk di sini dari adik ipar. Baru kali ini sih beli jeruk langsung dari pohonnya,” kata seorang pembeli, Novi, warga Desa Lubuk, Kecamatan Kejuruan Muda.
Pembeli dan pemilik kebun tampak akrab terbawa suasana ladang jeruk yang di tengahnya terdapat gubuk untuk berteduh sekaligus menyediakan minuman teh dan kopi untuk pengunjung yang singgah. Hal menarik lain, sebelum membawa pulang jeruk, biasanya pembeli makan jeruk di tempat sepuasnya.
Kepada Analisa, Siti menuturkan, kebun jeruknya hanya sekitar satu hektare lebih. Usianya sekitar enam tahun. Itu berarti, selama tiga tahun terakhir keluarganya sudah menikmati hasil panen jeruk.
Dia mengaku tak pernah memakai jasa pengepul atau memasarkan sendiri jeruknya keluar desa. Meski jarak Desa Rongoh dengan Pulo Tiga, ibukota Kecamatan dan Kualasimpang, ibukota kabupaten, sangat jauh. “Selama ini, para pembeli datang sendiri. Pembeli ada yang beli 2 kg, 5 kg sampai 25 kg,” tuturnya.
Diceritakannya, bibit jeruk Pantai Buaya ini berasal dari Bangkinang, Riau. Tapi, dia mengambil bibit melalui petani jeruk di Pantai Buaya. Kini jeruk Pantai Buaya yang sudah dikenal sejak 1990-an juga ditanam di Rongoh.
Harga jeruk dengan ciri khas kulit hijau ini sangat terjangkau, sekitar Rp10.000-13.000/kg. “Banyak yang menyebut ini jeruk Pantai Buaya tapi berbuah di Rongoh,” katanya.
Jeruk Pantai Buaya yang ditanamnya mengalami dua kali masa panen puncak dalam setahun, yakni antara Agustus dan Desember saat curah hujan tinggi.
Diserang hama
Sayangnya, dewasa ini petani jeruk banyak yang frustasi karena tanaman mereka diserang penyakit dan hama. Penyakit yang paling mematikan bagi jeruk ialah jamur upas yang menyerang akar dan pangkal pohon.
Suami Siti, Abu (59) menyatakan, dari 230 batang jeruk yang ditanam, hampir 100 batang terserang jamur dan sebagian sudah mati. Kendati mereka sudah berusaha memberi pestisida untuk menangkal jamur, tapi tetap gagal. Kondisi ini membuat petani jeruk, termasuk Abu, bingung untuk mengatasinya.
Namun, dia tetap bersyukur karena tanaman jeruknya yang lain masih berbuah maksimal. “Pohonya banyak yang mati akibat jamur. Dari lahan satu hektare lebih, mungkin yang bisa dipanen saat ini hanya separuhnya,” ungkapnya.
Kepala Dusun Suka Jaya, Rongoh, Adul Samad mengatakan, tanah dan iklim desanya sangat cocok untuk ditanami jeruk. Dia berharap petani mau mengembangkan jeruk Pantai Buaya tersebut. “Kami rasa cuma di sini satu-satunya desa yang menghasilkan jeruk di Tamiang Hulu,” katanya.
Menurutnya, awalnya banyak penduduk desanya ikut membudidayakan jeruk Pantai Buaya. Tapi, yang berhasil sangat sedikit.
Camat Tamiang Hulu, Iman Suhery SSTP MSP, mendukung budidaya jeruk oleh warga Desa Rongoh. Sebab, tanaman ini sudah jarang dibudidayakan, terutama di wilayah hulu yang sudah dipenuhi kelapa sawit.
Camat yang karib disapa Bayu ini bercerita, sebelumnya, Datok Penghulu Rongoh pernah membawa buah jeruk hasil panen raya ke kantornya. Dia terkejut melihat jeruk yang segar habis dipetik dari pohon. Dia pun penasaran ingin melihat sendiri kebun jeruk itu.
“Saya sudah sampai ke sana. Pohonnya subur dan buahnya cukup lebat. Jika dikembangkan, pasti bagus dan bisa menambah pendapatan penduduk sekitar. Ini juga sesuai visi-misi Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tamiang, H Mursil SH MKn dan HT Insyafuddin yang ingin menggerakkan roda perekonomian dari perdesaan,” terangnya.
Pernah jadi sentra
Kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan (Distanakbun) Aceh Tamiang, Safwan SP, melalui Kabid Produksi dan Perlindungan Tanaman, Mustafa SP, Jumat (23/3) mengatakan, pada tahun ini pihaknya mengusulkan bantuan bibit jeruk ke Distan Aceh untuk realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2019. Pihaknya juga akan mendata calon petani dan calon lokasi (CP/CL) untuk menyalurkan bantuan bibit sebelum program diusulkan.
Namun, ungkapnya, tidak semua petani mau menanamnya. Padahal, jeruk sangat cocok ditanam di sejumlah wilayah di Aceh Tamiang. “Biasanya varietas jeruk Mikam atau Siam Pontianak sudah berbuah saat usia tanam sekitar dua tahun,” katanya.
Mustafa didampingi stafnya, Firman Banurea, memaparkan, berdasarkan pendataan, selain di Rongoh, budidaya jeruk di kabupaten ini juga tersebar Seruway, Sekrak, Bandar Pusaka dan terluas di Kecamatan Tenggulun.
Diutarakannya, sebelum banjir bandang 2006, Aceh Tamiang termasuk sentra jeruk manis. Tapi, seiring muncul penyakit dan hama, Aceh Tamiang menjadi “zona merah” komoditi jeruk, sehingga petani hijrah dan menanam komoditi lain, seperti sawit, kakao dan karet.
Tentang penyakit jamur pada jeruk, diakuinya sulit diberantas. Penyakit tersebut menyerang segala jenis tanaman, termasuk jeruk. Dampaknya, buah kuning tidak merata, di batang muncul keputihan dan akhirnya mati.
“Untuk meminimalisirnya, sejak penanaman awal saat pengorekan tanah harus diberi pestisida. Kalau pohon sudah besar, sulit diobati,” katanya.
Meski begitu, ungkapnya, sejauh ini belum ada laporan dari petani ke pihaknya terkait serangan penyakit jamur pada jeruk. “Penyakit jamur ini akan dicarikan solusi. Tapi, kita berharap petani jeruk fokus dan konsisten dalam upaya mengembangkan kembali jeruk di Aceh Tamiang,” harapnya.