Oleh: Ris Pasha
SEJAK penulis duduk di bangku SMP sampai lulus SMA, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Amir Hamzah adalah penyair sangat sufi. Ketika SMA kami mendapatkan buku yang ditulis oleh J.E. Tatengkeng. Kepada semua siswa diajarkan, kalau Amir Hamzah itu adalah penyair yang begitu dekat dengan Tuhannya. Terlebih pada puisinya yang berjudul Padamu Jua.
Ketika itu, kami masih mengenal yanga disebut dengan deklamasi. Bukan baca puisi seperti sekarang, dimana puisinya bisa dibaca di atas pentas. Kami harus menghafal puisi Amir Hamzah sehafal-hafalnya, kemudian dideklamasikan. Gerak dan mimik kami, benar-benar sedang menyerahkan diri kepada Tuhan.
Setiap ada lomba deklamasi, Puisi Padamu Juga tak pernah lepas sebagai puisi wajib. Puisi lain biasanya ada dua, yakni Aku atau Senja di Pelabuhan Kecil karya Charil Anwar dan atau karya Trisno Soemardjo.
Beberapa tahun lalu, buku tulisan Damiri Mahmud, saya dan almarhum Buoy Y.A. Hardjo menemukan berserakan di kantor DKSU di Tapian Daya. Baru kini, buku karya Damiri Mahmud itu terbit kembali oleh penerbit Yogyakarta.
Dalam buku ini, Damiri Mahmud mementahkan semua teori yang ditulis oleh HB Jassin, A. Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana, A. H. Johns dan Abdul Hadi WM dalam menafsir puisi Amir Hamzah. HB Jassin dan A Teeuw serta A.H. Johns dengan berbagai teori dalam menafsir puisi Amir Hamzah tentang kesufian karya Amir Hamzah, menurut Damiri tidak berlasan.
Kenapa? Tentu Damiri memiliki banyak alasan yang benar-benar dapat diterima oleh akal. Semua yang menafsir puisi Amir Hamzah tidak mengerti betul tentang Melayu dan kemelayuan.
Amir Hamzah sebelum menikah dengan Tengku Kamaliah, dia telah dua kali mengalami patah hati. Pertama dengan Aja Bun di Langkat dan patah Hatai keuda yang sangat mendalam dengan Ilik Sundari gadis Solo.
Amir seorang berdarah biru dari Kerajaan Langkat berhati lembut dan penuh santun. Tatakramanya terpelihara. Tutur bahasanya sangat baik bahkan indah, demikian kata Damiri.
Sayangnya para pemerhati/penafsir puisi Amir Hamzah tidak sampai melihat kuatnya tradisi istana dan kemelayuan dalam karya-karyanya.
Puisi Padamu Jua, adalah karya agung penuh cinta yang agung terhadap kekasihnya Ilik Sundari yang berada di Solo. Kedalaman cinta Amir Hamzah terhadap Ilik Sundari diperoleh Damiri dari keterangan Putri Amir Hamzah, Tengku Tahura Alautiyah dan isteri Amir Hamzah sendiri Tengku Kamaliah.
Sebelum meninggal Tengkui Kamaliah berpesan kepada putrinya tengku Tahura Alautiyah, agar mencari dan menemui Ilik Sundari. Dan itu dilaksanakan oleh sang putri.
Ilik Sundai sudah menjadi isteri sorang menteri. Dia mendapat kabar, kalau putri Amir Hamzah dan isterinya datang dari Medan mau bertemu. Ketika itu sang pyutri baru berusia 12 tahun, juga ingin bertemu dengan mantan kekasih ayahnya.
Kaki tangan isteri menteri itu (Ilin Sundari) pun menyuruh Tahura duduk di lobby hotel tempat mereka mengiap di Jakarta dan diberikan berbagai hadiah. Hal ini tanpa diketahui oleh Tengku Kamaliah, karena sibuk dalam urusan dagang.
Tanpa diketahui oleh Tahura, seseorang yang duduk disebuah sudut lobi hotel sedang menatapnya. Seseorang itu adalah Ilik Sundari yang ingin melihat gurat-gurat wajah Amir Hamzah yang sangat dicintainya itu, pada diri sang putri.
Ketika Amir harus pulang ke Langkat atas panggilan sang Paman yang Sultan Langkat, Amir mengemukakannya kepada Ilik Sundari. Dengan hati sangat berat dan penuh cinta, Ilik Sundari melepas Amir pulang ke Langkat. Ilik Sundari tau betul, kalau Amir tak mampyu mengelak dari panggilan sang Paman yang Sultan.
Sebelum menikah dengan Tengku Kamaliah, Amir sempat sebulan di Jakarta untuk mengemasi barangt-barangnya. Dia tak keluar dari kamarnya. Dia menulis puisi-puisinya. Kumpulan puisi-puisinya itu diserahkannya kepada sahabatnya. Oleh sahabatnya kemudian dijadikan buku.
Selain Padamu Juga, Puisi berjudul Astana Rela, juga ditafsir sebagai puisi sufistis. Damiri juga menampiknya dengan berbagai alasan yang menarik dan masuk akal.
Demikian juga puisi yang berjudul Hanyut Aku. Dikatakan puisi yang sangat religius dan mistis. Damiri menolak tafsiran Sutan Takdir Alisjahbana dan Md. Saleh.
Menurut Damiri, terlalu riskan kalau dikatakan, sajak ini berisikan kerinduan kepada Tuhan. sebab kekasihku disitu bertidak sebagai pasif, tak memberikan sugesti sedikitpun.
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak
dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebab diammu.
Sajak ini adalah sajak cinta Amir Hamzah kepada kekasihnya yang gagal itu. Dalam perspektif budaya, perhatikan ngelak (Jawa:haus) ditempatkan Amir dalam bait itu. Menunjukkan secara intuisif upaya Amir mengawinkan budaya Jawa-Melayu, sebagaimana keinginannya terhadap Ilik Sundari. KIta harus ingat, Amir Hamzah adalah penyair Rimantik.
Salah satu ciri kauj romantik, melukiskan sesuatu hal dalam keadaan bagaimanapun juga, senantiasa secara estetis dan hiperbolis. Perhatikan lagi kuplet akhir sajak ini.
Tenggelam dalam malam
Air di atas menindih keras
Bumi di bawah menolak ke atas
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Jelasnya sajak Hanyut Aku, bukan sajak sufistis atau mistis, tapi sajak untuk sang kekasih yang sangat dicintranya di Solo. Jelasnya Damiri mengatakan, Amir amzah bukanlah penyair Sufi dan dalam puisi-puisnya tak ditemukan aura tasawuf. Amir Hamzah juga bukan mencari Makrifat dalam puisi-puisinya.
Jelasnya pengaruh budaya lokal dalam karya Amir Hamzah sangat kuat, terutama nuansa Melayu. Salah mereka yang menafsirkan karya Amir Hamzah kalau mereka hanya memakai kacamata Strukturalisme- ekspresif saja. Mereka harus menelusuri siapa Amir Hamzah dan budayanya yang amat kental dengan kemelayuannya.
Pasti banyak pembaca yang seperti saya. Selama ini mengetahui Kalau Amir Hamzah dengan puisinya Padamu Jua, adalah Puisi ketuhanan. Atau Puisi Aku-nya Chairil Anwar adalah puisi untuk para pejuang.
Jika anda sama sepertai saya, maka saya anjurkan anda juga wajib memilkiki buku ini. Terlebih jika anda masih mahasiswa fakultas sastra Indonesia atau guru bahasa dan sastra Indonesia di SLTP dan SLTA. Selamat membaca.