Oleh: Ahmad Afandi.
Lingkungan yang sehat selalu diidam-idamkan oleh setiap makhluk. Dengan kualitas lingkungan layak huni, maka setiap makhluk hidup senantiasa bisa hidup di dalamnya. Seperti halnya kota-kota di Indonesia, Medan juga bisa dikatakan sebagai kota yang “dulunya” asri, sejuk dan bersih. Hal tersebut ditandai dengan penghargaan Piala Adipura dua tahun berturut-turut, 2013 dan 2014. Lantas sanjungan itu mengelam. Sekarang Kota Medan atau Tanah Batak menyandang status sebagai kota terkumuh. Dilansir dari sumber di internet, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kota Medan untuk Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) Tondi Nasha Nasution mengatakan, luas wilayah kumuh yang terdapat di kota Medan saat ini mencapai 200.292 hektare. Luasan ini berada di 42 kelurahan yang tersebar di 9 kecamatan di ibu kota Provinsi Sumut. "Dari 151 kelurahan di Kota Medan, 42 di antaranya merupakan wilayah kumuh.
Laporan tersebut didapati di tahun 2017 yang lalu. Di mana survei tersebut dibenarkan secara serempak oleh beberapa pejabat Pemko Medan. Medan memang tidak lagi sebersih yang dulu. Medan masih menyimpan duka permasalahan lingkungan yang buruk. Pantaskah penulis menyalahkan masyarakat Medan dalam hal ini? Rasanya belum pantas. Sebab seruan yang sering didengar akan mengatasnamakan orang Medan pasti peduli lingkungan. Orang Medan selalu tanggap dengan sampah. Serta menggiatkan semua usaha dan tenaga untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang baik. Tapi sama-sama harus kita amini, Medan memang sudah tercemar.
Pencemaran di Kota Medan merambah seluruh kategori. Pencemaran tanah, air serta udara. Pencemaran tanah yang sering kita lihat dan saksikan. Pencemaran tanah mengakibatka pola struktur tanah yang sudah tidak lagi semestinya. Di dalam tanah terdapat unsur zat hara beserta air sebagai suplemen bagi tumbuhan. Pencemaran tanah di Medan dimulai dengan kebiasaan setiap rumah tangga mengelola sampahnya secara tidak becus. Bagaimana kita menyaksikan sampah-sampah yang berserakan di lahan kosong tanpa perlakuan. Sedangkan sampah tersebut mengandung bahan kimia yang dapat merusak unsur dari tanah. Sampah yang berserakan terbagi atas, organik dan anorganik. Untuk anorganik mungkin sebagian bisa dimanfaatkan yang kemudian bernilai ekonomis. Namun tidak semuanya, hanya sebagian saja misalnya kaleng, botol serta plastik yang dapat didaur ulang kembali.
Sisanya ialah sampah organik yang menjijikkan. Hal ini beralasan dan sangat kentara. Pasalnya awal mula dari menumpuknya sampah di Kota Medan juga berasal dari buruknya sikap masyarakatnya yang dengan senang membuang sampah sembarangan. Andai satu orang saja membuang sampah makanannya di pinggir jalan, lalu melihat sampah itu menumpuk, maka semua orang Medan dengan bangga juga melakukannya. Ini sering ditunjukkan oleh mereka dengan pekerjaan buruh yang tidak peduli dengan lingkungan sendiri. Padahal peduli lingkungan adalah bentuk kepedulian untuk hidup semua makhluk hidup di bumi ini. Sampah organik sering kali mengandung protein dalam sisa-sisa makanan yang terbuang. Secara kimiawi protein memiliki kadar waktu untuk kemudian menjadi zat pembangun dalam tubuh. Namun jika dibiarkan berlarut dengan air dan kemudian terkena terus-menerus sinar matahari maka protein tersebut akan memuai. Inilah yang menyebabkan menimbulkan bau busuk yang pada akhirnya juga merusak tanah.
Pabrik-pabrik dalangnya
Kehadiran dari pembangunan pabrik-pabrik di Kota Medan memang sedikit keliru terhadap prediksi manfaat yang ditimbulkan. Pemerintah menganggap dengan adanya kawasan industri di Medan akan menambah anggaran daerah. Namun dampaknya sama sekali tidak difikirkan. Adanya pabrik dengan segala operasionalnya menambah keterpurukan lingkungan Kota Medan yang sudah tercemar. Pabrik-pabrik beroperasi 1 x 24 jam selama sehari penuh. Tidak ada libur resmi yang menekankan produksi pabrik harus berhenti. Dengan gencarnya melakukan produksi itu artinya membuat semua siklus lingkungan semakin tidak sehat.
Pabrik memproduksi barang dengan menggunakan bahan kimia. Revolusi dari industri mengajarkan kehadiran mesin-mesin canggih pembantu manusia. Seluruh mesin yang ada di pabrik menggunakan bahan dasar pembakaran. Sisa pembakaran dari mesin produksi berupa limbah dari bahan fosil. Tentunya output yang dihasilkan adalah asap. Sedangkan asap mengganggu sirkulasi udara. Asap yang dihasilkan merusak semua lini. Menganggu pernafasan makhluk hidup. Yang pada akhirnya mempengaruhi organ-organ manusia.
Kemudian hasil dari limbah pabrik juga sangat berpengaruh. Kota Medan menganutnya dengan banyaknya jenis perusahaan manufaktur yang berdiri dan aktif melakukan produktifitas. Jika menilik contoh, sebagian warga kelurahan Mabar sudah merasakannya. Masyarakat Belawan sudah ikut terjangkit penyakit akibat lingkungan yang kotor. Di sana industri gencar-gencarnya dilakukan. Bahkan baru-baru ini di wilayah Pulo Sicanang, Belawan terjadi sedikit pergolakan yang menolak gencarnya produktifitas yang dilakukan perusahaan industri. Membuat Medan semakin kumuh dan tidak tertata.
Sebenarnya menyoal pabrik yang berdiri, pemerintah tidak boleh hanya menyoal keuntungan dan nilai ekonomis dari kehadiran pabrik tersebut. Tapi haruslah meliputi semuanya, padahal bila dirincikan dampaknya bisa berakibat fatal. Di Kota Medan tidak hanya di wilayah Kawasan Industri Medan (KIM) saja yang dibangun pabrik. Sekarang sudah merambah ke tingkat kecamatan yang ada di Medan. Bahkan di kelurahan kecil maupun perkampungan. Kehadiran pabrik-pabrik ini pastinya diawali dengan pembebasan lahan. Sedangkan pembebasan lahan dilakukan dengan mengorbankan sejumlah pohon yang harus ditebang. Ya, Kota Medan kehilangan “paru-parunya”.
“Paru-paru” Kota Medan hilang. Akibatnya oksigen tidak lagi tersedia secara maksimal. Kita terbukti sangat sulit menemui oksigen yang sejuk di kota ini. Semuanya terkontaminasi dengan debu dan partikel limbah berbahaya dikarenakan oksigen yang dihasilkan oleh pepohonan berkurang. Kemudian hilangnya pepohonan di Medan menambah kepiluan, pasalnya gedung-gedung, pabrik, rumah dan ruko di Medan tidak memiliki fungsi yang sama dengan pohon tidak dapat menyerap panas selayaknya pepohonan. Panas di Kota Medan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dari pukul 10.00 pagi panas itu bisa ditandai dengan sangat nyata. Efek yang lebih jauh dari itu panas tersebut yang nantinya akan membentuk efek rumah kaca setelah menumpuk dalam jumlah yang tidak terbatas. Inilah awal dari terjadinya pemanasan global.
Dampak dari pencemaran di Kota Medan memang sangat merugikan masyarakat. Pencemaran air merugikan mereka dengan perekonomian terbatas dengan memanfaatkan laut dan sungai untuk minum. Pencemaran udara berdampak langsung kepada setiap orang Medan yang mula-mula terserang penyakit pernafasan sebab tidak cukup oksigen. Sedangkan pencemaran tanah yang sangat menganggu pemandangan dan kelangsungan hidup tumbuhan. Pemerintah memang telah membuat regulasi, namun belumlah optimal dengan pengawasan dan tindakan tegas yang nyata. Akhirnya harapan itu datang pada diri kita selaku orang Medan dengan melestarikan lingkungan Medan dengan tanpa sampah di manapun. ***
Penulis pemerhati lingkungan, mahasiswa Universitas Potensi Utama.