Pandangan Nietzsche tentang Kebenaran dan Fanatisme

Friedrich Wihelm Nietzsche hidup di ujung abad modern. Dia lahir di Rocken Jerman Timur pada tanggal 15 Oktober 1844 di lingku­ngan keluarga Kristen yang taat. Nietzsche sudah harus menjadi yatim pada usia 5 tahun. Sejak saat itu ibu, kakak-kakaknya, nenek, dan tantenya yang memelihara dan mendidiknya. Ia dikenal sebagai filsuf penting Jerman yang banyak mengkritik dan memprovokasi kebudayaan Barat pada masanya. Salah satu pemikiran Nietzsche yang terkenal adalah pemikirannya tentang kebenaran. Filsafat cara memandang kebenaran menurut Nietzsche lebih dikenal dengan istilah perspektivisme.

Sering kita sulit untuk memper­ca­yai suatu kebenaran karena adanya perbedaan sudut pandang. Tingkat ke­percayaan memerlukan wawasan luas dan keyakinan yang mantap ter­ha­dap suatu kebenaran yang dipe­gang. Menurut Nietzs­che, orang yang hanya mempercayai suatu ke­be­naran dan menerima ke­benaran tersebut lalu me­negasikan yang di­ang­gap batil adalah indi­vidu yang lemah. Dalam artian orang tersebut tidak mampu bera­daptasi de­ngan realitas kehidu­pan yang ada (hal 238).

Menerima kebenaran saja tidaklah cukup karena ini hanya berarti meno­lak sisi hidup lain yang pada hakikatnya merupakan penyem­purnaan kehidupan itu sendiri. Terkadang kebenaran sulit untuk dipastikan karena kepastian hanya dibuat oleh orang yang memper­cayai­nya saja. Orang yang tidak memper­cayainya sudah pasti menolak kebenaran tersebut. Jadi di sini kebe­naran itu tergantung bagaimana ma­sing-masing individu menginterpre­ta­sikannya dan masalah interpretasi ini tidak dapat dilepaskan dari pers­pektif. Menurut sang filsuf karena kebe­naran tergantung pada perspektif tertentu maka setiap klaim kebenaran hanya bersifat imanen.

Bagi Nietzsche, ada keterkaitan antara suatu kepercayaan tertentu dengan kebutuhan untuk percaya dari suatu subjek di mana itu menunjuk­kan kekuatan dan kelemahan. Con­toh­nya konsep agama tertentu yang membuat orang rela menjadi pembu­nuh. Atau pada kasus lain di mana Tuhan dipercaya manusia saat putus harapan karena berhadapan dengan persoalan yang dirasa di luar kemam­puannya.

Dahulu banyak orang pepercaya pada objek-objek tertentu seperti kepercayaan pada gunung, binatang buas, bulan, dan yang luar biasa dari kepercayaan tersebut adalah mampu menghindarkan dari berbagai musi­bah. Hal ini merepresentasikan pe­ngakuan kelemahan manusia terha­dap berbagai masalah tersebut. Yang terlihat jelas dari hal ini adalah bahwa begitu kekuatan manusia meningkat maka kepercayaannya juga berubah.

Nietzsche mengungkapkan bahwa semua fanatisme merupakan pe­ngung­kapan kelemahan manusia itu sendiri. Tidak hanya fanatisme terha­dap suatu agama saja tapi bisa juga fanatisme dalam filsafat, patrio­tisme, bahkan dalam ateisme karena fanatis­me memang bisa berbentuk apa saja. Satu hal yang jelas di sini bah­wa ma­nusia selalu membutuhkan pega­ngan dan tuntutan yang meme­rin­tah dari luar diri yang pada akhir­nya me­lahirkan fanatisme. Fanatisme mun­cul dari kebutuhan akan pega­ngan hidup. Ini untuk menjaga agar dirinya tetap eksis dan tertata di te­ngah-tengah kenyataan yang menurut Nietzsche am­bigu, plural, dan se­lalu menjadi tidak pasti.

Bahkan dalam sains pun tetap ada fanatisme yang mengklaim kebe­naran tunggal. Fana­tis­me sains yang ber­stan­darkan objektivitas telah me­nga­baikan sub­jekti­vitas dan me­ngor­ban­kan kepercayaan lain­nya. Ambisi sains da­lam mencari kebe­na­ran sebenar-benarnya ini dipan­dang oleh Niet­zsche sebagai keingi­nan mati-matian akan kema­tian. Hal ini terung­kap dari hasil kerja sains yang mema­tikan tatanan ekologis (hal 231).

Nietzsche sendiri diketahui seba­gai tokoh eksistensialis yang ateis. Dia be­ranggapan bakwa percaya pada Tuhan adalah pengakuan akan kele­mahan manusia itu sendiri. Apalagi percaya pada hal lain selain Tuhan se­­perti gunung dan benda lainnya. Ba­ginya, Tuhan yang digambarkan ha­­nya­lah suatu bentuk proyeksi kesa­daran manusia terhadap cinta atau ke­kuatan yang terdapat di dalam diri­nya sendiri.

Pandangan epistemologinya ten­tang kebenaran memang sulit untuk diterima oleh mereka yang beragama atau penganjur ideologi. Di Indonesia sendiri terkadang kepercayaan dija­dikan sebagai bahan untuk mencip­ta­kan propaganda demi kepentingan kelom­pok tertentu tapi setidaknya pa­radigma Nietzche tersebut tetap me­miliki manfaat yaitu untuk melihat sisi terdalam suatu kebenaran yang memang kerap diperjuangkan oleh yang memperca­yainya. Terkadang mem­perjuangkan kebenaran tanpa disadari didasari akan kebutuhan ekonomi, politis, psikologi, dan kebu­tuhan-kebutuhan lainnya. Cara yang digunakan untuk memperjuang­kan kebenaran pun terkadang salah dan hal inilah yang tidak benar.

Peresensi: Tanti Endarwati, lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta.

()

Baca Juga

Rekomendasi