Millenials: Bukan Generasi Micin

Oleh: M. Hariansyah. Dewasa ini, generasi millennials menjadi topik yang cukup hangat dikalangan ma­sya­rakat, mulai dari segi pendidikan, teknologi maupun moral dan budaya. Tapi se­benarnya, siapakah generasi millenials itu dan apakah masyarakat benar-benar mengerti akan sebutan itu?

Siapa Generasi Millenial? Sete­lah perang dunia ke 2, kelom­pok demografs (cohort) dibedakan men­jadi 4 generasi yaitu generasi baby boomer, generasi X (Gen-Xer), generasi millennials dan ge­nerasi Z. Generasi baby boomer ada­lah generasi yang lahir setelah perang dunia kedua (saat ini berusia 51 hingga 70 tahun). Disebut gene­rasi baby boomer karena di era tersebut kelahiran bayi sangat tinggi. Gene­rasi X adalah generasi yang lahir pada tahun 1965 hingga 1980 (saat ini berusia 35 hingga 50 tahun). Generasi millennials adalah gene­rasi yang lahir antara tahun 1981-2000, atau yang saat ini berusia 15 tahun hingga 34 tahun.

Generasi Millennials (juga dikenal sebagai Generasi Millenial atau Generasi Y) adalah kelompok demografis setelah Generasi X, sedangkan generasi Z merupakan generasi yang lahir setelah tahun 2000 hingga saat ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun hingga 40 tahun di tahun 2020 diduga berjum­lah 83 juta jiwa atau 34 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 271 juta jiwa. Proporsi tersebut lebih besar dari proporsi generasi X yang sebesar 53 juta jiwa (20 persen) maupun generasi baby boomer yang hanya tinggal 35 juta jiwa (13 persen) saja.

Dalam esai berjudul “The Problem of Generation” sosiolog Mann­heim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurut­nya, manusia-ma­nusia di dunia ini akan saling me­mengaruhi dan mem­bentuk ka­rakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Maksudnya, manusia-manusia zaman Perang Dunia II dan manusia pasca-PD II pasti memiliki karakter yang berbeda, meski saling meme­ngaruhi.

Generasi Millennial merupakan generasi yang unik, dan berbeda dengan generasi lain. Hal ini banyak dipenga­ruhi oleh munculnya smart­phone, meluasnya internet dan mun­culnya jejaring sosial media (social media). Ketiga hal tersebut banyak mempengaruhi pola pikir, nilai-nilai dan perilaku yang dianut. Generasi Millenial adalah generasi yang “melek teknologi”.

Hasil riset yang dirilis oleh Pew Research Center secara gamblang menjelaskan keunikan generasi millennial dibanding generasi-generasi sebelumnya. Yang men­colok dari generasi millennial ini dibanding generasi sebelumnya adalah soal penggunaan teknologi dan budaya pop/musik.

Kehidupan generasi millennial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment/ hiburan sudah men­jadi kebutuhan pokok bagi generasi ini. Temuan riset kami di Alvara Research Center pada survey penggunaan Internet di Indonesia tahun 2015 juga men­dukung hal serupa. menun­jukkan bahwa konsumsi internet Generasi Millennial jauh lebih tinggi diban­ding dengan genXer, terutama di younger millennial generation (15 – 24 tahun).

Komposisi addicted user pada generasi millennial lebih besar jika dibanding dengan gen-Xer. Jika kita lihat trend penggunaan internet menurut usia, maka terlihat makin muda usia makin tinggi konsumsi internetnya. Artinya bahwa internet sudah menjadi kebutuhan pokok bagi Generasi Millennials untuk komunikasi dan aktualisasi diri.

Indonesia juga akan mencapai pengguna internet 140 juta, Indonesia akan menjadi pasar digital terbesar di Asia tenggara tahun 2020. Tahun 2015 pengguna internet di Indonesia men­capai 93.4 juta pengguna (47.9 persen dari populasi ) yang akan terus bertam­bah hingga tahun 2019 diprediksi akan mencapai 133.5 juta pengguna dan tahun 2020 mencapai 140 juta pengguna, yang sebagian angka itu di dominasi para Generasi mil­lenial’s.

Generasi millenial’s, lebih cen­drung senang berlama-lama mena­tap layar smartphone-nya tidak peduli dengan orang yang berada di sekitarnya, ia lebih peduli dengan apa yang ada di dalam aplikasi smartphone-nya baik dalam ber­main media sosial (Instagram, line, path, skype, whatsapp, bbm, face­book, dan lain-lain) ataupun ber­main game online.

Generasi millenial’s acap kali menganggap segala sesuatu itu dengan remeh temeh, woles dan tidak kaku (suka sekali melompat dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain atau mencoba hal-hal yang baru) karena merasa tidak cocok dengan lingkungan yang begitu kaku, rekan kerja yang culas, dan atasan yang hobinya marah melulu, memiliki tingkat narsisitas yang berlebihan, notabene dari mereka penggila gadget suka kepo dan up-date status-status alay, pamer kemewahan dalam liburan atau kuliner yang di upload atau di posting ke akun pribadi media socialnya, egois, malas dan manja. Maka tak ayal kebanyakan dari mereka disebut sebagai generasi micin.

Bahkan, perdebatan atau bulling juga kerap menghiasi linimasa dan kolom komentar para millenial’s di jagat maya. Seyogyanya melalui media sosial itu dapat memperluas jaringan, relasi pertemanan dan ko­munitas. Namun, dalam realitas­nya malah menambah lawan bukan pula kawan. Kurangnya pemaha­man lite­rasi media menambah keran­cuan dalam memahami situasi dan cenderung terjebak dalam konsepsi kesalahan berpikir.

Mudah sekali ikut larut dalam membagikan dan menyebarluaskan informasi ke grup-grup pertemanan media social yang tidak tahu kebenarannya. Terlebih di era yang serba digital dewasa ini telah menggeser pola gaya hidup (life style) terlebih bagi generasi milli­neal’s dengan hadirnya transportasi online dengan segala jenis varian dan layanan, toko online (start-up), cooffe shop dan lainnya semakin menambah wejangan kaum mille­nial’s yang kian hari menjadi pelanggan setia dari Perilaku konsumtif itu.

Generasi millenials bukannya tidak berpendidikan malah mereka generasi yang selalu memikirkan tentang jenjang pendidikannya. Banyak dari generasi millenials yang memiliki pendidikan tinggi tetapi masih pengangguran. Alasan­nya bermacam, mulai dari sangat susah mencari pekerjaan yang gajinya sesuai dengan pengeluaran sampai dengan tidak suka dengan sistem birokrasi dari calon perusa­haannya.

Apa yang Rakhmad Hida­yatul­loh Permana sebut “generasi tanpa kantor” dalam artikelnya dengan judul yang sama, itu juga sempat disinggung oleh Yoris Sebastian dalam bu­ku Generasi Langgas: Millenials Indonesia (2016). Dalam riset­nya Yoris mengatakan bahwa generasi yang sering diolok-olok cengeng itu memang punya kecen­de­rungan budaya kerja yang berbe­da. Mereka menyukai kebebasan, ke­mudahan, kreativitas, tantangan, dan kolaborasi kerja yang menye­nang­kan. Persis seperti lema “lang­gas” yang artinya juga ialah ke­bebasan. 

Buka mata, sekarang ini zaman­nya Industri Kreatif, generasi mille­nial’s harus bisa memanfaatkan kondisi ini dengan berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan dan mampu meng­komunikasikan ide dan gagasan itu dengan cemer­lang, jangan terlalu galau dan kalut dalam menentukan masa depan, cari masalah yang ada di sekitar kita dan selesaikanlah melalui startup, yang memungkinkan tidak perlu menja­lani rutinitas yang formal dan kaku, dengan begitu millenial’s dapat mem­bantu orang lain yang memiliki masalah yang sama. ***

Penulis, mahasiswa PPKn Fis Unimed, Alumni Climate Blogger, Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017

()

Baca Juga

Rekomendasi