DARI mana maestro tari Guru Sauti mendapat ide saat menciptakan karya tari dan lagunya? padahal ia tak pernah ikut sekolah musik. Dua dari 11 anak Sauti yang masih hidup, H Akhiruddin Sauti (80) dan adiknya, H Makmur Sauti (70) punya kesaksian.
“Dulu kalau ayah mau mencipta lagu, biasanya ia duduk di atas sebuah mejar besar. Ia lalu mengeluarkan dan memainkan alat-alat musiknya, seruling, klarinet, harmonika, dan gendang. Setelah itu mulai membuat catatan-catatan di atas kertas,” ujar Khairuddin, mengenang saat ia masih kelas 5 SD. Ditemani teh manis dan susu kerbau segar yang dibeli dari langganan orangtuanya, Sauti bisa betah berjam-jam mencipta karya-karyanya.
“Ayah saya dulu juga sering melihat langsung orang-orang yang tengah mengirik padi di sawah, dari situ lalu tercipta tari dan lagu Penggirik Padi. Apa yang dilihat ayah, kata mamak saya semasa hidup, bisa dijadikan bahan untuk lagu dan tarian,” tambah Makmur yang pernah menjabat sebagai Camat Percut Sei Tuan.
Menurut istri Makmur, yang pernah bertanya kepada almarhumah mertua, Sauti biasa mencipta karyanya malam hari setelah seluruh anaknya tidur. Sauti lahir sebagai anak tunggal dari pasangan Tatih dan Semah di Kampung Besar, Kecamatan Pantai Cermin, Deli Serdang (saat itu sebelum Deli Serdang dimekarkan). Ia sudah ditinggal ayahnya begitu lahir. Semah membawa Sauti ke Kesultanan Serdang.
Karena menjadi kerabat istana, saat remaja Sauti disekolahkan oleh Sultan Serdang ke Normalschool Inland Hulpoderwijzers (sekolah pendidikan guru) di Pematangsiantar. Ia tamat tahun 1921 dan langsung ditempatkan menjadi guru Inlandschool (sekarang SD) di kota itu. Pada 1926, Sauti dipindahkan menjadi guru SD di Sunggal. Setahun kemudian Sauti menjadi Kepala Sekolah Governement Inlandschool (SD Negeri) di Simpang Tiga Perbaungan.
Lingkungan tinggal saat remaja yang akrab dengan kehidupan istana, memung-kinkan Sauti melihat dan menikmati berbagi kesenian yang sering dipentaskan. Misalnya tari Makyung dan Ronggeng. Lingkungan seperti ini berpengaruh terhadap bakat seni Sauti. Bahkan Sauti akhirnya juga menjadi guru tari di Kesultanan Serdang.
Kecintaan Sauti terhadap seni ditunjukkan lewat cara lain. “Kalau ayah pulang dari luar negeri, yang dibawanya biasanya alat-alat musik,” tutur Akhiruddin yang saat SD biasa diajak mancing ayahnya di Sungai Baung.
Hidup sebagai guru dan seniman terkenal pada masanya, menurut keduanya, membuat keluarga mereka tergolong lumayan. Terlebih saat Sauti menjadi penilik sekolah dan berkantor di Djawatan Kebudayaan di Medan. Tiap hari Sauti diantar-jemput mobil dinas playmoth Medan-Perbaungan. Mereka juga mendapat jatah roti, susu, mentega, dan keju. Gaji Sauti waktu itu Rp 15, sedang harga seekor kerbau waktu itu hanya Rp 5. “Makanya saya yang lahir 1949, dinamakan Makmur,” ujar Makmur Sauti berseloroh.
Sauti juga mengajar tari Serampang 12 di sejumlah sanggar di Medan, termasuk ke sejumlah kota seperti Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Tanjung Pinang, dan sejumlah negara sahabat seperti Tiongkok, Perancis, Jepang, dsb. Tari Serampang 12 menasional bahkan telah mendunia.
Pemerintah pada 2014 memutuskan tari Serampang 12 sebagai “Warisan Budaya Tak Benda”. Lalu pada 2015, presiden menganugerahkan penghargaan kebudayaan sebagai Pencipta Tari Serampang 12 dan Pembaharu Tari Melayu.
Sauti meninggal dunia pada 1963 karena penyakit jantung. Sebagai pelaku seni ia meninggalkan banyak warisan budaya. Lalu apa yang diwariskan Sauti kepada keturunannya? “Ayah pernah bilang, hanya ilmu yang bisa menjaga hidup kamu, karena itu kamu harus rajin belajar, sekolah yang tinggi. Harta tak ada yang bisa kuwariskan karena nanti justru kamu yang capai menjaganya selama hidup,” ujar Makmur.
Sebuah filosofi sederhana, tapi dalam artinya. Kesebelas anak Sauti umumnya berprofesi sebagai guru.
Yayasan Sauti Serampang 12
Sejak beberapa bulan lalu, empat anak Sauti yang masih hidup, Akhiruddin, Makmur, Siti Sarina, dan Mardiah sepakat mendirikan Yayasan Sauti Serampang 12. Misi yayasan ini untuk melestarikan dan mengembangkan tari Serampang 12. Salah satu harapan mereka, tari tersebut masuk dalam kurikulum sekolah, diajarkan mulai SD sampai SMA.
Mereka sudah ancang-ancang membentuk sanggar. Umumnya cucu-cucu perempuan Sauti memang sudah menguasai tari Serampang 12 dan tari melayu lain. Gurunya tak lain, Jose Rizal Firdaus, murid Sauti yang masih hidup.
Dengan adanya yayasan itu, diharapkan beberapa warisan budaya yang ditinggalkan Sauti bisa diselamatkan dan makin luas diapresiasi masyarakat. Makmur misalnya, tentang rumah panggung milik ayahnya yang sejak 5 tahun lalu terpaksa harus dijual. “Sudah 20-an tahun kami pertahankan rumah itu, selama itu kami juga sudah memperjuangkan agar rumah ayah kami itu dijadikan cagar budaya.”
Namun respons pemerintah daerah yang tak jelas, membuat keluarga besar Sauti akhirnya melepas kepemilikan rumah tersebut ke pihak lain. Kejadian ini disesalkan sejumlah budayawan, termasuk Rizaldi Siagian.
Dalam sebuah wawancara di Jurnal Tembi, ia berujar, “Mungkin orang tak akan peduli rumah itu mau dijual atau dijadikan apa pun. Tetapi, bagi pelaku budaya, terutama mereka yang tahu dan bisa menarikan Serampang 12, hal ini mengejutkan dan mengecewakan. Di rumah itulah Guru Sauti menciptakan tarian yang sangat terkenal itu, terutama dalam konteks sejarah pengembangan kebudayaan nasional Indonesia.”
Seharusnya, imbuhnya, Pemkab Serdang Bedagai berinisiatif mengurusnya, mengingat rumah itu memenuhi syarat menjadi situs budaya sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Sebuah harapan tak berlebihan. Bukankah keadaban sebuah bangsa juga tercermin dari sikap penghargaan terhadap lingkungan tempat tinggal yang telah menyumbang proses kreatif sang pelaku kebudayaan? Termasuk pelaku budaya yang telah selesai berkarya namun karyanya itu tetap menjadi legenda sampai sekarang. ( J Anto)