Aceh Minim Investasi, Syariat Islam Disalahkan

Banda Aceh, (Analisa). Keluarnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Hukum Acara Jinayat hingga saat ini masih menuai pro-kontra di kalangan masyarakat Aceh.

Pergub tersebut mengatur teknis pelaksanaan hukuman (uqubat) cambuk bagi para pelanggar sya­riat Islam, di antaranya terkait lokasi eksekusi cambuk yang selama ini digelar di tempat umum, se­perti halaman kini dipindahkan ke dalam Lembaga Pe­masyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Ne­gara (Rutan).

Selain masyarakat yang tidak lagi bebas untuk me­lihat prosesi hukuman cambuk karena aturan ma­suk Lapas/Rutan yang ketat, akses liputan media juga akan dibatasi. Wartawan foto maupun video tidak diperkenankan membawa kemera agar gambar eksekusi cambuk tersebut tidak tersebar ke luar.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengatakan, alasan pemindahan lokasi pelaksanaan hukuman cambuk yang merupakan implementasi syariat Islam dari tempat umum ke dalam Lapas ditempuh agar investasi di Provinsi Aceh tidak terganggu.

“Kebijakan ini diambil agar investor tidak fobia untuk menanam saham di Aceh. Ini juga dapat mem­bantu peningkatan dan lajur ekonomi di Acehi,” kata Irwandi Yusuf usai penandatanganan kerja sama dengan Kakanwil Kemenkumham Aceh ten­tang pelaksanaan eksekusi cambuk di Lapas, di­saksikan Menkumham Yasonna H.Laoly.

Menanggapi alasan gubernur bahwa hukuman cambuk di tempat umum bisa mengganggu investasi, Ketua Fraksi Partai Aceh (PA) di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Iskandar Usman Ar-Farlaky mengatakan, hal itu sangat tidak tepat.

Menurutnya, jangan sampai gara-gara minim in­vestor yang masuk menanamkan modalnya di Aceh, lalu syariat Islam pun ikut disalahkan de­ngan menutup-nutupi hukuman cambuk ke publik, karena ma­syarakat bakal sulit masuk Lapas/Rutan karena adanya berbagai aturan ketat di penjara.

“Jangan sampai kita menyalahkan syariat Islam sebagai penyebab minimnya investasi. Jika misalnya itu alasan untuk investasi, apakah ada jaminan saat kebijakan ini diterapkan akan datang berbondong-bondong investor datang ke Aceh,” kata Iskandar Usman kepada Analisa, Sabtu (14/4).

Langkah mundur

Dikatakan, pemberlakuan hukuman cambuk de­ngan merubahnya dari terbuka ke sistem ruang terbatas (Lapas), merupakan langkah mundur dalam konteks artikulasi syariat Islam yang telah terbuka melalui Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA).

Ide tersebut berbalik dengan apa yang diperlihatkan oleh Pemerintah Negara Bagian Kelantan, Malaysia yang baru menyetujui amandemen UU syariahnya agar hukuman cambuk mulai dan dapat dilaksanakan secara terbuka di depan umum.

“Sungguh ironi ketika negeri tetangga kita telah lama berkeinginan hukuman cambuk dilakukan secara terbuka karena otoritas kekuasaan mereka ba­ru kini mengiyakannya, justru kita coba berpali­ng dari terbuka menuju ruang terbatas. Bahkan, tem­po dulu di bawah rezim Orba, hukum-hukum Is­lam tidak diberi wadah dan ruang untuk dieks­pre­sikan di Aceh,” katanya.

Iskandar Al-Farlaky menambahkan, saat kesempatan dan kekuasaan bagi Aceh terbuka untuk itu, jus­tru kita ingin memodifikasi praktik syariah mau menjauh dari core Islam (ide hukum cambuk terbuka). Tidak ada persoalan penerapan hukum cambuk terbuka selama ini di Aceh, bahkan gaung Aceh sebagai negeri syariah terlihat lebih eksis karena hal itu.

Dikatakannya, mengubah pelaksanaan hukuman cambuk dari cara terbuka ke cara yang dilaksanakan di dalam lembaga permasyarakatan karena alasan apa pun, tidak cukup menjustifikasikannya de­ngan mempergubkan keinginan itu. Pergub Nomor 5 Tahun 2018 telah melabrak Pasal 262 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Aca­ra Jinayat. Qanun memang mengamanahkan uqubat cam­buk ini adalah untuk memberi efek jera kepada pe­laku, sehingga dilaksanakan di tempat terbuka, de­pan khalayak ramai.

“Karena qanun dimaksud secara sosiologis ber­singgungan langsung dengan kehidupan berhukum berdasarkan syariah di Aceh. Maka tidak serta merta gubernur dapat menderogatnya hanya dengan Pergub. Norma qanun tidak dapat dimensohkan dengan Pergub karena dalam alur perundang-undangan Pergub di bawah qanun,” ungkap alumni UIN Ar-Raniry ini.

Anggota Komisi I DPRA ini menambahkan, ken­datipun ingin memayungi sebab adanya pandangan asing yang negatif terhadap hukum uqubat cambuk menurut Qanun Nomor 7 Tahun 2013, tidak da­pat dilakukan secara monolitik. Apalagi ini perso­alan publik bukan masalah administratif.

Iskandar Al-Farlaky yang juga alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa ini menyebutkan, persoalan rencana perubahan terhadap teknik pelaksanaan hukuman cambuk ini sebaiknya dimusyawarahkan lebih luas dengan kalangan ulama di Aceh.

“Hal-hal seperti ini kita serahkan kepada ulama. Bagaimana pendapat ulama yang paling majemuk, sehingga nanti yang akan menjadi pijakan dalam pengambilan keputusan,” terang Iskandar Usman.

Anggota DPRA lainnya dari Fraksi PKS, Bardan Sahidi menyebutkan, pelaksanaan Qanun Syariat Islam, khususnya uqubat cambuk di depan umum yang selama ini diberlakukan di Aceh, tidak menja­di penghambat pertumbuhan investasi maupun investor untuk datang ke Aceh.

“Dalam kapasitas saya sebagai Anggota Komisi III DPRA Bidang Investasi dan Keuangan Aceh, sampai saat ini laju pertumbuhan investasi di Aceh masih bergerak lambat,” ujar Bardan Sahidi menanggapi Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang cambuk di Lapas.

Bahkan dari beberapa kali event bisnis forum baik bersifat lokal, regional, nasional maupun internasio­nal yang diikutinya, dapat diketahui bahwa Aceh ma­sih sebagai daerah yang tidak ramah investasi.

Bardan merincikan ada beberapa alasan sehingga investor masih belum melirik Aceh sebagai tempat untuk berinvestasi, pertama karena krisis energi. “Aceh masih belum mampu menyediakan paso­kan energi listrik yang stabil,” terangnya.

Selanjutnya, kata Bardan karena alasan infrastruktur yang menjadi kendala utama investasi di da­erah karena dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Kemudian adalah isentif pajak. Kemudahan dalam melakukan pengurusan izin dan pembebanan pajak ganda, retribusi dan pajak daerah, se­be­l­um perusahaan mapan, dan mempekerjakan ma­syarakat. Padahal ini adalah upaya menciptakan la­pangan kerja baru bagi masyarakat Aceh

Terakhir, kata Bardan soal isu keamanan dan masih ter­dapat kasus “ilegal tax” atau pajak ilegal dari berba­gai elemen, yang sangat dikeluhkan oleh banyak pe­ngu­saha yang sedang dan akan berkerja di Aceh.

“Jadi korelasi antara hukuman cambuk di depan umum dan tidak di depan umum terhadap investasi di Aceh adalah sesuatu yang berbeda yang dihubung-hubungkan. Jika memang ada korelasi yang signifikan, maka investasi di Timur Tengah yang mene­rapkan hukum cambuk atau hukum gantung di depan umum tentu menghambat investasi,.Nyatanya, tidak ada satu rujukan pun yang berkaitan dengan hal tersebut,” tandasnya. (mhd)

()

Baca Juga

Rekomendasi