Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik. Tidak tertib berlalu lintas telah menjadi konsepsi yang hidup dalam pikiran dan perilaku masyarakat di Sumatera Utara, khususnya. Melanggar aturan dianggap bernilai. Jika lolos tanpa distop polisi dengan pelanggaran yang disadari dan disengaja, dianggap kebanggaan.
Sistem hukum yang diatur UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum menjadi cultural value system, norma tersebut dianggap remeh dan tidak berharga. Sanksi dalam norma tersebut hanya menjadi nasib sial atau sedang apes, bukan untuk pelajaran atau tuntunan.
Menurut Theodorson (Pelly: 1994) keterikatan seseorang atau kelompok terhadap nilai sangat kuat, bersifat emosional dan menjadi tujuan kehidupan manusia. Jika sampai hari ini norma dan nilai sosial berlalu lintas yang telah diatur dan telah diketahui masih dianggap remeh dan tidak berharga, tentu ada yang salah dalam perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut Max Weber dalam Berger (2004), tindakan sosial atau aksi sosial tidak dapat dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku.
Tiga komponen penting dalam sistem hukum yaitu substansi, struktur dan budaya hukum yang saling mempengaruhi (Friedman, 1975:5) dan aturan tekhnis lain belum menciptakan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Citra budaya kebanyakan; hanya akan pura-pura patuh jika di sana ada petugas. Kehadiran petugas jadi pedoman atau petunjuk bertingkah laku, atau jikapun ada petugas, sering menjadi tindakan dibiarkan, kerena tidak sedang razia atau tidak disertai surat tugas.
Berbagai Pelanggaran
Secara umum pelanggaran berlalu lintas yang sudah membudaya diantaranya: menaikan dan menurunkan penumpang tidak pada tempatnya, berhenti melebihi garis stop, melanggar lampu lalu lintas, tanpa surat izin mengemudi, melawan arus, menggunakan kenderaan tanpa surat tanda nomor kenderaan bermotor, menggunakan telepon genggam, pajak kenderaan tidak dibayar, tidak menggunakan helm atau berboncengan lebih dua orang, mengangkat beban melebihi kapasitas kenderaan dan lain-lain.
Pelanggaran tersebut masif terjadi terutama di pinggir kota, malam hari dan telah berlangsung lama, sehingga menjadi petunjuk umum atau kebiasaan. Pada beberapa kasus hal ini menjadi contoh yang diikuti.
Dampak lain, pembiaran menyebabkan pencurian kenderaan atau begal makin marak. Di tempat tertentu kenderaan hasil curian banyak peminat. Di desa, perkebunan atau pinggir kota kenderaan curian banyak beroperasi atau jadi becak bermotor pengangkut orang/barang. Toh, becak jarang dirazia walau beroperasi di jalan raya.
Di tempat tertentu, situasi jalan raya yang belum memadai dijadikan alibi, pada event tertentu, jika rombongan, pelanggaran menjadi ditolerir, kendati dikawal petugas. Ironis, pada beberapa kasus, justru petugas atau aparat negara menjadi contoh buruk.
Shock Therapy
Bermacam pelanggaran di jalan raya harus ditanggulangi dengan berbagai pendekatan. Kepolisian dan pengguna jalan harus melakukan perubahan. Kita memerlukan perubahan perilaku melalui tindakan nyata. Tidak disiplin atau tidak menghargai pengendara lain diantara penyebab kecelakaan di jalan raya, khususnya oleh pengendara sepeda motor. Berbagai data menunjukkan lebih 80 persen kecelakaan sepeda motor diakibatkan faktor manusia.
Perubahan merupakan kebutuhan interpersonal manusia. Merujuk teori Kurt Lewin (1951), perubahan akan terjadi jika driving forces diperkuat untuk melemahkan resistences to change, maka dalam pencegahan dan penanganan pelanggaran lalu lintas dapat mengadopsi model force-field sebagai power-based untuk memperkuat efek jera kepada pelanggar. Menurut Kurt Lwin, kekuatan driving forces akan berhadapan dengan penolakan untuk berubah.
Tiga langkah, menurut Kurt Lwin, dapat diambil untuk melakukan perubahan tersebut yaitu: unfreezing berupa proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah. Changing yaitu langkah untuk memperkuat driving forces atau memperlemah resistences, dan ketiga, refreesing membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium).
Melakukan perubahan tersebut dapat menerapkan model difusi inovasi Everret M. (1964) yaitu proses dimana suatu inovasi dikomunikasi melalui berbagai saluran dalam jangka waktu tertentu dalam satu kebudayaan. Thompson dan Eveland (1967) menyebut inovasi identik dengan teknologi; desain yang digunakan untuk tindakan instrumental untuk mengurangi ketidak teraturan suatu hubungan sebab akibat untuk mencapai tujuan tertentu.
Merujuk karakteristik pelanggar yang beragam, Everret M. Rogers, menekankan, dalam proses difusi, derajat kesamaan atribut seperti pendidikan atau pekerjaan sangat mempengaruhi, semakin besar kesamaan atributnya hasilnya lebih efektif, demikian sebaliknya, sehingga dalam proses difusi inovasi penting memahami karakter masyarakat dimana pesan akan disampaikan.
Kepolisian dapat menggandeng pihak-pihak untuk menyampaikan pesan tertib berlalu lintas. Menurut Rogers ada empat faktor yang akan mempengaruhi difusi inovasi yaitu struktur sosial, sistem norma, pemimpin opini dan agen perubahan. Dengan demikian, dalam pesan perubahan tidak selalu harus disertai gambar pimpinan kepolisian. Ulama, tokoh masyarakat atau tokoh muda dapat dijadikan pemimpin opini maupun agen perubahan, sebagai panutan atau idola.
Pada era teknologi digital sekarang, ajakan untuk pemahaman bersama (mutual understanding) dan perubahan bersama dapat dilakukan melalui saluran media sosial, media massa, pemasangan informasi di tempat publik, pengoperasian CCTV bersuara untuk menegur pelanggar lalu lintas melalui pengeras suara dan penerapan e-tilang atau seperti dilakukan Satlantas Polres Bangkalan, Maret 2018, bekerjasama dengan satu sekolah, anak didik sekolah tersebut didandani menyerupai korban kecelakaan dengan luka di sekujur tubuh.
Dengan aktingnya mereka menyampaikan pesan kepada pengguna jalan yang sedang berhenti di lampu merah: jangan tiru saya, patuhi peraturan lalu lintas. Kepolisian setempat menyebutkan aksi tersebut bertujuan untuk memberikan soft shock therapy kepada pengguna jalan agar tidak mencontoh apa yang digambarkan pemain teatrikal.
Teguran atau tindakan langsung (tilang) tidak selalu kontributif terhadap kepatuhan pengendara, beberapa kasus pada satu acara televisi menunjukkan pengendara yang sudah ditilang masih melanggar hingga petugas bertanya; mau ditilang apa lagi, atau surat tilang tidak diurus. Selain menilang, perlu dibuat surat perjanjian kepada pengendara yang ditilang untuk segera melunasi denda akibat ditilang dan tidak melakukan pelanggaran lagi, termasuk kepada anak sekolah yang belum memiliki SIM, orang tua mereka perlu diberikan teguran melalui surat.
Sebagai perubahan dan aksi nyata, setelah sosialisasi, kenderaan yang tidak memiliki surat baiknya ditahan sampai pemilik dapat menunjukkan surat kepemilikan. Jika perubahan dan aksi nyata dilakukan, kesemerawutan lalu lintas kita akan berkurang 20-30 persen. Mudah-mudahan. ***
Penulis adalah pemerhati sosial