Driver Transportasi Online yang Merana

Oleh: Sagita Purnomo. Sebelumnya sangat banyak pihak yang memuji dan memuja kehadiran trans­por­tasi berbasis aplikasi (online). Trans­portasi online diyakini sebagai ja­waban atas tuntutan masyarakat akan moda trans­portasi yang murah, aman dan nya­man. Sayangnya eksistensi dan popularitas tran­sportasi berbasis aplikasi seper­tinya mulai memudar seiring dengan munculnya berbagai per­soalan negatif, salah satunya terkait dengan kesenjangan penda­patan antara owner, vendor dan driver.

Konflik antara transportasi online dan konvensional beberapa waktu lalu membuat pemerintah harus mengeluar­kan regulasi untuk menciptakan persaing­an yang sehat. Setelah pengaturan tarif, pembentukan badan hukum dan uji kir, kali ini pemerintah juga melakukan pem­batasan atau monatorium terhadap per­tumbuhan transportasi online. Ba­nyak­nya transportasi online yang beroperasi bukan hanya memberi dampak per­sai­ngan terhadap transportasi konven­sio­nal, melainkan juga dikalangan driver online itu sendiri.

Saat masih baru diluncurkan, bisnis trans­portasi online menda­tangkan keun­tungan yang sangat menjanjikan bagi driver. Peng­hasilan antara jutaan hingga belasan juta rupiah per bulan dapat diraih dengan mudahnya, namun seiring dengan semakin banyaknya anggota, membuat pendapatan driver mulai berkurang. Persaingan memperebutkan penumpang pun mulai muncul, bahkan tak jarang ada driver yang bermain curang dengan membobol dan mengakali aplikasi yang berujung pada penangkapan oleh kepolisian beberapa waktu lalu.

Singkatnya, menjalankan tran­sportasi online tak lagi menjanjikan dan seindah dahulu. Selain harus berhadapan dengan berbagai regulasi yang mengekang, karena pendapatan yang terus berkurang, kini driver harus berhadapan dengan pihak leasing karena angsuran kendaraan mulai menunggak.

Dibatasi

Pada 12 Maret lalu Menteri Koordina­tor Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pan­jaitan bersama dengan Menteri Per­hubungan Budi Karya Sumadi, meng­gelar rapat bersama perwakilan Kemen­terian Komunikasi dan Informatika, Korlantas Polri, Dinas Perhu­bungan, dan tiga perusahaan utama penyedia aplikasi, untuk mengatur perihal monatorium pen­daftaran pengemudi taksi online. Hal ini dilakukan mengingat jumlah taksi online di berbagai provinsi telah melebih kuota yang ditetapkan. “Mengingat jumlah taksi aplikasi ini sudah terlalu banyak, diminta dilakukan moratorium. Tidak lagi menerima pendaftaran taksi online. Karena kasihan nih, driver-driver sudah berkompetisi semakin ketat,” kata Men­teri Perhubungan Budi Karya Sumadi

Selain itu, ia juga meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informa­tika untuk segera menyelesaikan sistem dash­board taksi online. Hal ini untuk memantau jumlah pengemudi taksi online di Indonesia “Mengonsoli­dasikan data-data dari aplikator itu dalam dash­board dan ditugaskan kepada Menkom­info menyelesai­kannya dalam minggu ini,” ujarnya. (JurnalAsia.com)

Mengingat membludaknya penge­mu­di transportasi online, regulasi mo­na­to­ri­um dinilai sebagai kebijakan yang cu­kup tepat, apalagi jumlahnya telah mele­bihi kuota yang ditetapkan. Berdasarkan in­formasi yang penulis himpun dari Merdeka.com menyebutkan bahwa untuk wilayah Jabodetabek kuota taksi online yang ditetapkan adalah sebanyak 36.510 kendaraan, Jawa Barat 15.418, Lampung 8.000, Sulawesi Selatan 7.000, Jawa Tengah 4.935 dan Jawa Timur sebanyak 4.445.

Sementara untuk Sumatera Utara sebanyak 3.500 kendaraan, Sumatera Selatan 1.700, Kalimantan Timur 1.000, Aceh 748, Sumatera Barat 400 dan Provinsi Bengkulu sebanyak 250 ken­daraan. Dari data tersebut, kita dapat menyaksikan sendiri antara batasan kuota de­ngan jumlah real transportasi online di lapangan yang membludak. Oleh karena­nya, untuk menciptakan persaingan yang sehat dan demi kebaikan bersama, maka monatorium pendaftarann pengemudi online sangatlah diperlukan.

Tunggakan Kredit

Sebagaimana penulis paparkan diatas, ramainya pengemudi transportasi online mem­berikan dampak besar bagi eksis­tensi dan persaingan sehat bisnis ini, terutama bagi para driver. Antara jumlah pe­numpang (pengguna) dengan driver kini hampir sama banyaknya, hal ini me­nyebabkan persaingan antara driver dalam mendapatkan penumpang. Penda­pa­tan driver pun menjadi berku­rang dras­tis, kini para driver mengalami kesulitan un­tuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membayar angsuran kenda­raan (mobil). Mayoritas kendaran penge­mudi online masih berstatus kredit, hal ini dikarena­kan adanya regulasi dari peru­sa­­haan yang untuk menggunakan ken­da­raan tahun terbaru.

Menurut Ketua Umum Perkum­pulan Ar­mada Sewa (PAS) Indonesia, Sulistyo Raharjo, mengakui mayoritas pengemudi taksi online sengaja mengkredit mobil lantaran tergiur mendapatkan keuntu­ngan dengan cara bergabung menjadi mitra. Saat ini terjadi ketidak seimbangan an­tara permintaan dan penawaran, ba­nyak pengemudi yang terpaksa mere­la­kan mobilnya diambil oleh dealer lanta­ran tak sanggup membayar tunggakan.

“Iya benar, karena dulu kan teman-teman tertarik jadi mitra sebelum banyak yang jadi driver. Tapi sekarang kan sudah men­jamur. Mayoritas dari kami memang menyicil mobil untuk sengaja bekerja taksi online. Di PAS Indonesia sendiri saya menemukan ada 10 orang yang mo­bil­nya ditarik dealer karena gak mampu ba­yar cicilan,” ungkapnya.

Hal lain yang menyebabkan semakin menurunnya penghasilan para penge­mudi yakni kebijakan aplikator yang dinilainya meru­gikan bagi para mitra. “Selain itu, aplikator juga menetapkan kebijakan yang merugikan kami. Misal­nya kalau customer mem­batalkan trip-nya, persyaratan kami untuk mendapat­kan bonus jadinya berkurang. Pendapatan kami pun semakin kecil,” kata Sulistyo (TribunNews.com)

Kesenjangan pendapatan dan kesejah­teraan antara pemilik, vendor dan pengemudi transportasi online memang sangat ketara. Jika pengemudi berpeng­ha­silan paling besar Rp. 10 juta per bulan (belum termasuk potongan dari aplikasi), maka pengembang atau pihak ketiga dapat meraih puluhan kali lipat. Ironisnya lagi, pemilik salah satu aplikasi transpor­tasi online (Grab) berhasil menjadi orang terkaya di Malaysia versi Majalah Forbes dengan total kekayakan sebesar US$ 6 Miliar atau setara Rp. 82,8 Triliun.

Kekayaan tersebut didapat dari ke­suk­sesannya mengembangkan dan men­jalankan Grab di berbagai negara Asia Tenggara hanya dalam beberapa tahun. Begitu juga dengan CEO dan Pendiri Go-Jek yang sukses menjadi miliuner. Saat ini Go-Jek sedang dalam tahap memperoleh pendanaan dari perusahaan asal Tiongkok sebesar US$ 3 Miliar.

Sebelumnya pada bulan Februari lalu perusahaan yang didirikan oleh Nadiem Makraim ini mendapat suntikan dari Astra International dan Djarum Group sebesar Rp. 2 Triliun.

Kondisi paceklik penghasilan yang dihadapi tulang punggung bisnis trans­por­tasi online (para driver), tentu sangat ber­banding terbalik dengan ‘Tsunami’ pen­dapatan yang menerpa para pemilik. Se­makin banyak orang yang ingin men­daftar sebagai driver online, maka se­ma­kin besar pula pendapatan pemilik peru­sa­haan. Harusnya perusahaan juga me­miliki formulasi dan regulasi untuk men­ja­min kesejahteraan mitranya, terutama ter­kait dengan intensif dan bonus peng­ha­silan.

Semoga saja melalui monatorium ini dapat membantu para driver dalam me­ning­katkan pendapatannya, jangan sam­pai para driver menjadi korban ‘Romusa’. Pemilik dan perusahaan semakin sejah­tera bergelimpang harta, driver semakin me­rana dan tak mampu membayar ang­su­ran kendaraan. ***

Penulis adalah Alumni UMSU

()

Baca Juga

Rekomendasi