Oleh: Romasta Simbolon.
Sewaktu kecil aku bermimpi menjadi ibu rumah tangga yang baik, ahli dalam memasak, pandai dalam mendidik anak agar kelak menjadi penerus bangsa yang mempunyai moral baik. Lalu aku luangkan waktu untuk berdandan agar suami tak direbut wanita lain. Semua urusan domestik akan kutangani dengan baik dan mantap! Begitulah impianku dahulu. Sekarang aku sudah berusia 18 tahun kuliah di salah satu Universitas di Sumatera Utara. Impianku dulu menjadi sebuah pertanyaan besar saat ini, cukupkah aku menjadi ibu rumah tangga yang baik? Sebab aku mempunyai impian yang baru yaitu bekerja di ruang publik sebagai pemberdaya masyarakat.
Aku berasal dari desa yang terletak di daerah kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Masyarakat di kampung cenderung bersifat tradisional tidak seperti di kota Medan yang kehidupanya sudah modern, canggih, dan berpikir rasional. Dulu pertama-tama aku dilarang kuliah oleh keluarga sebab ada pandangan bahwa seorang anak perempuan hanya bekerja di dapur, kasur dan sumur (ibu rumah tangga yang baik), sehingga tidak perlu berpendidikan tinggi. Adapun mencari nafkah untuk kehidupan adalah peran dari laki-laki (suami).
Begitulah paradigma yang tertanam dalam masyarakat. Hal ini membuatku sedikit kecewa. Akan tetapi secara diam-diam aku mengikuti jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan bantuan guru sekaligus mendaftar program Bidikmisi. Singkat cerita, aku lolos Perguruan tinggi dengan jurusan Sosiologi. Seketika itu pula orang tuaku memberikan izin untuk kuliah dengan sedikit terpaksa setelah melihat tekadku yang kukuh untuk kuliah.
Berangkat dari cerita pengalaman di atas, penulis memandang ada sebuah anomali dalam paradigma masyakarat saat memandang perempuan. Adapun pandangan ini pula yang menyimpan potensi hingga berujung pada persoalan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasi manusia, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.
Salah satu Penyebab dari ketidakadilan gender menurut Mohammad Yasir Alimi yaitu faktor budaya dalam masyarakat itu yang cenderung menggangap kaum laki-laki sebagai kaum yang kuat dan superior. Kecenderungan ini pula terjadi karena kepercayaan terhadap adat maupun disebabkan oleh agama.
Penulis menemukan faktor di atas cenderung terjadi di masyarakat desa. Sebagai contoh ketidakadilan gender yang terlihat secara umum ialah ketika ada pandangan perempuan hanya bekerja dalam bidang domestik. Persoalan ini menimbulkan perempuan kesulitan mendapat peluang bekerja di ruang publik, seperti bekerja dalam bidang pemerintahan, guru, perusahaan dan lain sebagainya. Bahkan adapun perempuan yang bekerja di ruang publik tenden hanya dianggap sebagai penghasil tambahan. Hal ini terjadi karena adanya konstruksi budaya yang sudah sangat mengakar di masyarakat itu sendiri.
Secara definitif konstruksi budaya adalah faktor-faktor yang turut berperan dalam pembentukan suatu budaya mulai dari kebiasaan, cara berpikir, dan kondisi lingkungan. Konstruksi berlangsung melalui suatu proses sosial budaya, tindakan dan interaksi sosial. Dimana setiap individu atau kelompok menciptakan serta melanggengkan suatu realitas dengan pandangan yang subjektif.
Jika ditelisik dari persoalan di atas, konstruksi budaya yang mengakibatkan ketidakadilan gender dimulai sejak lahir dan dibawa secara turun temurun, sebagaimana pengalaman penulis rasakan. Sejak kecil, seorang ibu cenderung mengajarkan anak perempuanya soal bagaimana caranya menjadi ibu rumah tangga yang baik. Sehingga dibiasakan untuk bekerja di dapur ataupun dalam ruang-ruang domestik dan itu berlangsung sampai saat ini.
Jika konstruksi budaya seperti ini tetap dilanggengkan maka perempuan akan susah untuk mendapatkan kesempatan bergerak maju oleh karena terkungkung dengan budaya yang kaku. Padahal perempuan juga memiliki kemampuan yang sama bekerja di ruang publik sebagaimana layaknya laki-laki. Di sisi lain persoalan ketidakadilan gender juga mengakibatkan maraknya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini timbul karena perempuan selalu di nomor duakan dengan alasan laki-laki yang dianggap menempati kelas superior. Hal ini selaras dengan pernyataan Susi Handayani yang mengatakan sepanjang tahun 2017, FPL telah menangani 1.340 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tersebar di tiga wilayah. “Jenis kasus yang tertinggi adalah kekerasan dalam rumah tangga 702 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 508 kasus,” (Kompas, Rabu, 28 Maret 2018).
Oleh karena itu, untuk meminimalisir ketidakadilan gender yang disebabkan oleh konstruksi budaya dapat diatasi dengan cara adanya perbaikan pada sistem pendidikan. Pendidikan yang di maksud disini ialah pemberikan edukasi kesetaraan gender pada siswa sejak dini. Mulai dari sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan peran guru dan pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang berkeadilan gender. Karena selama ini sistem pendidikan tidak pernah membahas secara khusus masalah gender sehingga tidak menjawab persoalan yang ada.
Pendidikan saat ini justru membentuk paradigma siswa yang berujung terhadap ketidakadilan gender. Misalkan bentuk ketidakadilan gender dalam dunia pendidikan dapat dilihat dari buku-buku pelajaran yang menggambarkan perempuan berada pada urusan domestik dan tenden disubordinasikan. Contohnya saja ilustrasi perempuan yang sedang memasak, merajut, menyapu halaman dan lain sebagainya. Di sisi lain laki-laki digambarkan bekerja di ruang publik seperti pemimpin kantor, kepala desa, tentara dan lain sebagainya. Maka dari itu secara tidak sadar paradigma kaum terdidik sejak dini terbentuk sedemikian rupa. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan harus dirombak sehingga ada edukasi mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dalam hal ini pula guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mempraktikan atau memberikan edukasi dalam ruang belajar tanpa adanya bias gender terhadap kaum terdidik. ***
Penulis adalah mahasiswa sosiologi di Universitas Sumatera Utara.