Hujan Asam Merusak Lingkungan

Oleh: Prof. Dr. Ir. Hasan Sitorus, MS

Perkembangan sek­tor industri dan trasportasi telah mendorong peningkat­an konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai sum­ber energi di seluruh dunia.  Peningkatan penggunaan ba­han bakar dari fosil itu telah menyebabkan meningkatnya bahan pencemar udara spesi NOx, SOx dan CO2 ke udara yang  menyebabkan terben­tuk­nya hujan asam dan me­nimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Berdasarkan terminologi Kimia Lingkungan (environmental chemistry), hujan asam (Acid Rain) adalah mas­sa air air hujan yang memi­liki tingkat keasaman (pH) lebih kecil dari 5,6. Se­dang­kan hujan normal adalah mas­sa air hujan yang hanya me­ngandung molekul air dan mi­neral dengan tingkat ke­asaman (pH) berkisar netral antara 6,5 – 7,0.

Tingkat keasaman yang rendah disebabkan air hujan mengandung ion-ion asam terlarut dari jenis asam kar­bonat (H2CO3), asam nitrat (HNO3), dan asam sulfat (H2SO4). Timbul pertanya­an, dari mana datangnya je­nis-jenis asam ini dan Ba­gai­mana proses terjadinya hujan asam ?

Terjadinya Hujan Asam

Jenis-jenis asam yang me­larut dalam massa air hujan itu jelas bersumber dari ba­han pencemaran udara dari spesi NOx (NO, NO2, NO3, N2O), spesi SOx (SO2, SO3, SO4), dan spesi CO dan CO2, sebagai hasil sam­ping­an pembakaran bahan bakar minyak.  Asap dari cerobong industri dan kenderaan ber­mo­tor yang menggunakan bahan bakar dari fosil serta asap kebakaran hutan dipas­tikan menghasilkan bahan pencemar spesi NOx, SOx dan CO2 ke udara.

Pertemu­an spesi NOx de­ngan mole­kul air di atmosfer membentuk molekul asam nit­rat, sedangkan spesi SOx akan membentuk asam sul­fat, dan spesi CO2 akan mem­bentuk asam karbonat. Se­nyawa-senyawa asam ini me­larut dalam massa air hujan, sehingga terbentuklah air hujan dengan pH yang ren­dah yang dikenal dengan hu­jan asam (acid rain).

Hujan asam sudah terjadi di seluruh dunia, terutama pada kota-kota yang terdapat pusat kegiatan industri. Hu­jan asam mulai diketahui ke­tika revolusi industri ber­kembang di Inggris tahun 1850-an dengan mengguna­kan batu bara sebagai sumber energi. Revolusi industri yang pesat telah menye­bab­kan wilayah atmosfer di Ing­gris tertutup asap sampai be­berapa bulan dan menyebab­kan sinar matahari tidak lagi tampak.

Hujan yang turun di wila­yah itu dengan warna air yang tidak normal alias hi­tam, telah menyebabkan ke­rusakan pada vegetasi hutan, semak belukar dan tumbuhan lainnya. Hutan menjadi ke­ra­ngas, daun-daun tumbuhan berguguran dan biota air ba­nyak yang mati terutama di perairan tawar. Inilah titik awal diketahuinya terjadinya hujan asam akibat pencemar­an udara oleh industri.

Perkembangan teknologi dewasa ini telah mendorong tumbuhnya berbagai jenis industri, dan tidak dapat di­pungkiri bahwa pencemaran udara akibat emisi dari indus­tri semakin nyata dewasa ini.  Tidak terkecuali, industri di Indonesia juga berkembang ter­utama di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Me­dan dan kota lainnya. 

Menurut hasil penelitian Pusat Studi Lingkungan (PSL) IPB Bogor (2014),  hu­jan asam sudah terjadi terjadi di wilayah Jabotabek dengan pH 5,3. Demikian ju­ga di Kota Medan, hujan asam sudah turun dengan pH 5,4, Palembang dengan pH 5,4-5,6, Menado dengan pH 5,4-5,6 dan di Kota Bogor dengan pH 5,4. Dengan me­lihat data tersebut, secara nyata udara di wilayah Indonesia sudah tercemar  dari bahan pencemar spesi NOx, SOx dan CO2 dan memerlu­kan perhatian yang serius.

Dampak Negatif Hujan Asam

Menurut Manahan (2013) seorang pakar kimia ling­kungan dari University of Missouri, Columbia menya­takan, hujan asam yang me­nerpa suatu wilayah akan menimbulkan dampak nega­tif terhadap lingkungan, yak­ni: 1) kerusakan tanah, 2) per­ubahan pH air permukaan dan air tanah, 3) kerusakan daun tumbuhan, dan 4) mem­percepat korosifnya bahan-bahan dari logam.

Hujan asam yang menerpa tanah dengan frekwensi yang tinggi, menyebabkan tanah menjadi rusak baik dalam struktur tanah maupun kan­dungan unsur hara dan mineral tanah. Beberapa jenis asam yang melarut bersama air hujan akan memasuki pori tanah dan melarutkan bebe­rapa jenis unsur logam yang sifatnya terikat menjadi be­bas, sehingga menyebabkan perubahan Kapasitas Tukar ka­tion (KTK) tanah. Per­ubah­an KTK jelas akan mempengaruhi tingkat kesu­buran tanah dan menimbul­kan kerugian pada sektor per­tanian.

Demikian juga air permu­kaan seperti danau dan su­ngai, massa air hujan asam dapat menyebabkan per­ubah­an tingkat keasaman air tawar. Terlebih-lebih air ko­lam ikan, terpaan hujan asam dapat menurunkan pH air kolam, sehingga pertumbuh­an ikan budidaya menjadi ter­ganggu atau bahkan ikan menjadi mati.  Perubahan pH air tawar juga bisa berpenga­ruh buruk terhadap kesehatan hewan dan manusia yang mengkonsumsi air itu seba­gai sumber air minum.

Air dengan pH ren­dah da­pat menyebabkan gang­guan pencernaan yang serius pada manusia, meningkatnya te­kanan darah, dan kerusakan pada gigi. Oleh sebab itu, su­mur air penduduk yang ber­ada di wilayah perkotaan di­anjurkan untuk ditutup untuk mencegah masuknya air hu­jan asam, untuk meminimal­kan dampak negatif hujan asam terhadap kesehatan.

Terpaan massa air hujan asam yang mengenai daun tumbuhan dengan frekwensi 3 kali per minggu dengan pH air hujan sekitar 5,0 diketa­hui telah menyebabkan hi­langnya lapisan lilin pelin­dung daun tumbuhan. Oleh se­bab itu, hujan asam dengan frekwensi tinggi akan me­nye­babkan tanaman menjadi rusak, kerdil dan tidak pro­duktif. Bahkan menurut Ma­nahan (2013), hujan asam dengan pH dibawah 4,0 akan menyebabkan pohon-pohon hutan menjadi kerangas dan mati, sebagaimana terjadi di Inggris ketika revolusi in­dus­tri berlangsung pada abad ke 19.

Pada sisi lain, hujan asam juga dapat menyebabkan ce­pat korosifnya bahan-bahan dari logam, seperti atap ru­mah seng cepat berkarat, dan alat-alat rumah tangga cepat korosif akibat menggunakan air sumur yang terkontami­na­si hujan asam. Coba kita perhatikan atap rumah pen­duduk di kota besar, hanya dalam beberapa bulan atap seng sudah berubah warna menjadi coklat karat, cepat bo­cor dan rapuh.  Oleh sebab itu, rumah penduduk di per­kotaan lebih dianjurkan agar atapnya terbuat dari non lo­gam seperti genteng press.  Kalaupun menggunakan atap logam harus logam yang ter­lindungi dari proses korosif oleh hujan asam.

Dengan mengetahui bah­wa faktor utama penyebab terjadinya hujan asam adalah akibat emisi buangan indus­tri, transportasi dan asap ke­bakaran hutan, maka upaya yang harus dilakukan untuk mengendalikan terjadinya hujan asam adalah dengan membatasi pengguaan bahan bakar dari fosil atau efisiensi penggunaan energi, dan pe­ngembangan sumber energi terbarukan.

Selain itu, perlu dilakukan penerapan baku mutu ling­kungan (emission standard) secara lebih ketat oleh peme­rintah, sehingga industri ha­rus memasang filter pada ce­robong asap untuk memper­kecil buangan spesi NOx, SOx dan CO2 ke atmosfer, dan dilakukan uji kenderaan bermotor secara reguler.

(Penulis dosen tetap di Universitas HKBP Nommen­sen Medan dan Pemerhati Masalah Lingkungan).

()

Baca Juga

Rekomendasi