Oleh:Gigih Suroso.
Dahulu, kalimat syahadat adalah hal yang sangat sakral bagi mereka yang berpindah dari kekafiran menjadi seorang muslim. Dan begitu pun sampai sekarang. Lalu bagaimana dengan kita yang telah berislam sejak lahir, Ayah kita muslim, Ibu kita muslimah bahkan nenek moyang kita pun telah memeluk Islam sejak lama, apakah nilai dari sebuah kalimat syahadat. Seperti apa kedudukannya pada keislaman kita hari ini?
Jangan-jangan sakralnya dua kalimat syahadat hanya berlaku untuk mereka yang baru memeluk Islam, sedangkan bagi kita hanyalah bacaan rutinitas yang biasa disebut dalam sholat dan ibadah maghdoh lainnya. Samakah dengan ucapan “apa kabar” atau “selamat pagi” yang biasa kita ucapkan sehari-sehari saat bertemu dengan orang lain? Tentu saja tidak
Karena sakralnya dua kalimat syahadat, ia pun ditempatkan di urutan pertama dari lima perkara yang Islam dibangun diatasnya. “Dari Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khattab ra. Berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Islam dibangun di atas lima perkara; yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji ke baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadan’.” (HR: Imam Bukhari dan Muslim)
Tidak bermaksud menggurui siapa pun, penulis hanya ingin mengingatkan kembali kepada diri sendiri dan pembaca, bahwa dua kalimat syahadat adalah ikrar, sebuah kalimat sakral yang diucapkan sebagai bentuk pengesaan kita kepada Allah, dan percayanya kita bahwa Rasullah adalah utusan Allah. Untuk itu pula, mengucapkannya pun kita harus sepenuh hati, sadar dan siap dengan konsekuensi.
Tidak disebut seorang muslim, jika belum mengikrarkan dua kalimat syahadat. Termasuk kita yang telah lahir dari leluhur yang muslim, ibu muslimah dan keluarga yang beragama Islam. Islam ini bukan agama warisan, tetapi sebuah pilihan, bagaimana cara kita memilihnya, tentu caranya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu, setelah itulah barulah bisa mengamalkan sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya. untuk itu beberapa ulama menasehati kita untuk senantiasa memperbaharui syahadat kita, ketika berbuat maksiat, lalu kita bertaubat, jangan jangan maksiat yang kita lakukan terindikasi sebab sebab yang mengeluarkan dari keislaman kita.
Legalitas sebagai Muslim
Sebab dua kalimat syahadat yang telah kita ucapkan secara lisan, lalu kita Imani dalam hati inilah, kita mendapatkan legalitas sebagai muslim. Maka setelah legal keislaman kita,barulah berhak kita menerima pahala dari Allah atas kebaikan kita selama di dunia.
“…Barang siapa murtad di antara kamu, lalu dia mati dalam kekafiran. Maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya” (QS: Albaqarah Ayat 217)
Satu dari sekian banyak konsekuensi dari dua kalimat syahadat yang kita ucapkan dan diimani dalam hati adalah memperoleh banyak kebaikan, pahala dan berakhir di syurga. Dan konsekuensi dari tidak mengucapkan dua kalimat syahadat ialah, sekalipun selama di dunia berbuat banyak kebaikan, atau ikut sholat dan puasa bahkan rajin sedekah. Semua itu tidak bernilai di sisi Allah.
Maka tidak berlaku bantahan orang-orang di akhirat nanti, saat mereka merasa telah berbuat banyak kebaikan namun tidak pernah mengikrarkan dua kalimat syahadat dengan lisan dan hatinya. Tidak ada penolong bagi mereka, sebab selama di dunia bukan Allah yang diyakini sebagai tuhan yang esa dan tidak percaya atas kerasulan Nabi Muhammad.
“Sungguh, orang-orang kafir dan mati dalam kekafiran, tidak akan diterima (tebusan) dari seseorang diantara mereka sekalipun (berupa) emas sepenuh bumi, sekiranya dia hendak menebus dirinya dengannya. Mereka itulah yang mendapatkan azab yang pedih dan tidak memperolah penolong” (Ali Imran Ayat 91)
Betapa sakralnya dua kalimat syahadat itu, hingga saat paman Rasulullah Abu Thalib pada akhir hayatnya diminta untuk mengucapkannya, namun pupus harapan semua itu tidak terjadi. Begitu pun Siti Khadijah, menjadi wanita pertama kali di dunia ini yang melegalkan dirinya sebagai muslimah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Masih ada sahabat Rasulullah, seperti Bilal, Sumayah, Amr, dan khabab yang menahan siksa karena telah berikrar bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.
Kita juga perlu mengingat, bagaimana Rasulullah terusir dari Mekah, dilempari, dihina bahkan menjadi buronan untuk dibunuh, sebab mengajak umat manusia mengucapkan dua kalimat syahadat dan berpaling dari menyembah berhala.
Penentuan di akhir hayat
Pantaslah kita khawatir seperti apa nanti akhir kita nanti, boleh saja kita tenang sebab kita memang telah terlahir sebagai seorang muslim, lalu bagaimana nanti saat mati, tibalah sakaratul maut? Adakah penjamin bahwa kalimat terakhir yang keluar dari mulut ini adalah dua kalimat syahadat. Jika iya, maka husnul khatimalah kita, dan jika tidak, maka neraka telah membuka pintunya sangat lebar untuk kita.
Di dunia yang hari ini dipenuhi dengan banyaknya fitnah yang datang dari berbagai arah, kita sering kali terpasung, terpenjara di dalamnya. Sudah tidak bisa dihitung lagi berapa banyak perkara-perkara yang pada akhirnya bisa menggurkan keislaman kita, sekilat mungkin membatalkan syahadat kita. Haramkanlah diri kita ini, untuk meremehkan agama hanya untuk dunia yang sementara.
Berapa banyak kita saksikan, betapa ringan lidah digerakkan untuk mengucapkan kata kata yang menghinakan agamanya sendiri, Islam. Mengaburkan kesakralan dua kalimat syahadat atas nama perdamaian. Kapitalisme di junjung tinggi, dan agama dijinjing ringan seolah tanpa beban. Perlu lah kita ingat, bahwa sebuah dosa diampuni Allah, kecuali syirik, menyukutukan Allah sampai dia bertaubat.
Syirik atau menyekutukan Allah adalah salah satu faktor yang bisa membatalkan syahadat kita, menjadi dari banyaknya sebab amal-amal kita tertolak karena tidak punya legalitas lagi sebagai muslim. Mari kita lebih berhati hati lagi dalam menjaga keabsahan dua kalimat syahadat yang kita ucapkan dengan lisan dan Imani dengan hati ini. Mari kita rawat keislaman kita, jaga lisan, jangan gadaikan iman dengan dunia yang penuh tipuan. Semoga kita lahir sebagai muslim dan mati pun tetap sebagai muslim, karena tidak ada yang lebih indah dari itu (khusnul khatimah).
Penulis: Alumni UIN Sumatera Utara, Pelajar di Ma’had Daarul Firdaus, Yogyakarta.