Oleh: Azmi TS. HUBUNGAN timbal balik ekosistem ikan dengan lingkungan habibatnya, menjadi ujung kritik sosial pelukis I Gusti Agung Mangu Putra. Kritikan yang begitu bersemangat ikut menggerakkan nalurinya bicara tentang kerusakan lingkungan alam. Karena itu lukisannya pun berisikan subjek ikan-ikan bercahaya berenang berderet, dengan mata bening.
Makhluk-makhluk dari hasil imajinasi I Gusti Agung Mangu Putra memang unik seperti terlihat pada “Lukisan Ikan, 1999” dan itu. Seekor ikan berwarna biru bermata jernih itu seolah-olah tengah siaga, berenang dengan mulut terbuka. Setiap pelukis punya karakter sendiri dalam mengimajinasikan berbagai kreasi ciptaannya seperti dalam “Migrasi, 2002”.
Termasuk pelukis Mangu punya trend estetika spesifik tentang ikan-ikannya, melalui teknik valet yang jadi andalannya. Selain penguasaan teknik Mangu juga sengaja merawat implus yang begitu lepas mengalir sehingga idenya memunculkan ikan-ikan nan apik. Dengan permainan teknik Mangu tak ingin terjebak kepada tema-tema orisinal, yang akan mengerdilkan arti metafora ikan itu sendiri.
Mangu lebih menekan kepada proses akhir yang lebih menukik ke gagasan kritiknya terhadap kerusakan ekologi alam laut yang begitu harmoni. Kekayaan laut yang dihuni oleh berbagai jenis ikan. Mereka hidup disetiap zone kedalaman 0,5 meter hingga 200 meter itu menjadi sumber inspirasi pelukis. Misalnya pelukis asal Bali Mangu akhirnya menawarkan suatu parodi pertunjukkan ikan-ikan hasil imajinasinya itu.
Kebanyakan memakai cat dengan jejak sapuan valet, tetap tidak mengurangi karya originalitas tentang ikan bersisik karang tersebut. Ketika jejak pisau valet yang kasar justeru menimbulkan efek-efek kilatan cahaya dari tubuh ikan-ikan tadi. Begitu pula lelehan cat, bergemuruh turun itu memperlihatkan Mangu memang pandai mengusik imajinasi kita tentang ikan yang begitu banyak.
Sekali lagi Mangu tetap konsisten bahwa teknik haruslah dikuasai agar terlahir ukuran efek bernuansa estetika. Suguhan artistik ikan itu bisa dinikmati sepuas-puasnya lewat tata rupa yang lainnya. Mangu tetaplah pelukis bukan seorang saintis ekologi. Sajian tentang ekologi ikan Mangu hanya sebatas imajinasi, sejurus (protes) kritikan yang terselip di dalam karya lukisannya.
Bisa jadi Mangu berharap bisa menyebarkan isu-isu kerusakan seputar alam bawah laut. Berdampak sampai ke lapisan sosial masyarakat yang peduli. Ada dua lukisan terkait dengan pesan itu dalam “Ikan Cengkarama di Dasar Laut, 2003” dan “Ikan yang Tersisa, 2002”.
Terkait dari kisah lukisan Mangu tersebut imajinasi ikan itu terasa ada dua bentuk yakni natural “Ikan, 2000”. Beda dengan ”Abstraksi Ikan, 2001” ini termasuk lukisan semacam amsal yang artifisial.
Secara estetika ikan kedua-duanya terperangkap oleh sikap protes ala Mangu. Terpapar bagaimana Mangu mengimajinasikan ikan-ikan dibedah, isi perut keluar berlumuran darah. Tragisnya mati tergantung di atas tanah. Di sisi lainnya ada lukisan tentang ikan sangat harmoni berenang tanpa ada rasa takut, yaitu “Ikan Putih di Latar Biru, 2002”.
Dari rangkaian jagat ikan imajinasi Mangu itu menunjukkan ada hal yang perlu diusik yakni tentang ekologi. Itulah prioritas kritikan Mangu terhadap salah urus di khasanah surgawi laut kita. Sebatas itukah imajinasi seorang pelukis? Tentu jawabannya kembali terpulang kepada kearifan apresian untuk menafsirkan isi lukisan ikan-ikan bersisik batu tersebut.