Senja di Danau Toba

Oleh: Tsi Taura. Lobi Inna Parapat, pengi­napan terletak di Jalan Marihat Danau Toba itu masih sepi, mungkin karena bukan hari libur. Seorang lelaki berkaus hitam dan bercelana jean kumal biru pudar, duduk memandang jauh permu­kaan Danau Toba. Hanya ber­jarak beberapa menit untuk tiba di sana, danau vulkanik, berjuluk Bali baru. Terlihat pegunungan berkabut di pagi hari, keindahan itu dihadirkan pula dengan hutan pinus yang menghijau. Dia me­milih Inna Prapat karena di situ terdapat tepi danau khusus.

Di tengah danau hadir pula Pulau Samosir, menambah daya pukau keindahan alami. Lelaki itu seakan terhipnotis, hingga tak sadar jemarinya menyentuh pun­tungan rokok di jemarinya. Dia pa­damkan ke asbak kaca yang ku­mal.

Lelaki itu memungut brosur ke­cil pariwisata di bawah meja. Setidaknya dia ingin tahu gamba­ran singkat tentang Danau Toba. Penginapan itu berjarak sekitar 1,5 km dariPelabuhan Ajibata, melayani penyeberangan menu­ju Pulau Samosir. Ajibata sebuah kecamatan di Kabupaten Toba Samosir.

Kecamatan Ajibata berada di atas sekitar 908 hingga 1.300 me­ter di atas permukaan laut. Ma­yoritas penduduknya berasal dari suku Toba dan memeluk Kristen. Ada juga memeluk ke­yakinan ajaran aliran kepercaya­an, Parmalim.

Kecamatan Ajibata memiliki pelabuhan menujuPulau Samo­sir, selain Balige dan Tigaras.

Ajibata memiliki dua jenis pe­labuhan, reguler. Kapal-kapal ka­yu tradisional mengangkut penumpang, pelabuhan ferry me­nyeberangkan kenderaan, ba­rang maupun orang dari Pulau Sa­mosir dan sebaliknya.

Ajibata memiliki tiga objek wi­sata, pantai Long Beach di ke­lurahan Parsaoran Ajibata. Bukit Senyum di Desa Motung, dan wisata spiritual, Pancur Napitu di Desa Parsaoran Sibisa.

Konon, Danau Toba dan Pu­lau Samosir terbentuk dari letu­san gunung berapi. Dideskripsi­kan sebagai letusan supervul­kanologi yang sangat dahsyat.

Jam di tangan lelaki itu me­nunjukkan waktu 17.35 WIB. Dia melemparkan brosur yang sudah dibacanya ke tempat semula.

Senja mulai merayap bersama di ufuk barat binar ujung pelangi menghunjam danau. Lelaki itu bangkit dari sofa lobi, melangkah menuju kamar penginapan. Di lo­rong, dia berpapasan seorang perempuan berambut sebahu, berlesung pipit, mata yang teduh.

Mereka beradu pandang. Pe­rempuan itu tertegun seperti so­sok yang hilang ketemu dalam waktu yang tak diharapkan. Le­laki itu melempar senyum sambil meneruskan langkah yang tersisa untuk sampai ke ruang rehatnya.

Perempuan itu berbalik arah, mempercepat langkah dan sete­ngah berteriak, “Tunggu...!”.

Lelaki itu membalikkan tu­buh­nya, jarak mereka begitu dekat.

“Ada apa?” tanya lelaki itu.

“Anda Helmi, kan” tanya si perempuan dengan suara yang hampir tak kedengaran, berdesis.

Lelaki itu mengangguk heran dan berkata, “Sorry, saya belum mandi, jika punya waktu, tunggu di lobi ya. Kita bisa ngobrol di sa­na,” tak sempat perempuan itu merespons, lelaki itu sudah me­langkah, hilang dari pandangan­nya.

* * *

Usai solat Magrib, lelaki itu menuju lobi, menemui pe­rempuan yang menyapanya sen­ja tadi. Matanya meliar, mencari perempuan yang menyapanya, hingga mengitari lobi itu dan tak ketemu. Dia kembali duduk di lobi menikmati panorama Danau Toba di waktu malam. Angin ber­hembus lembut. Bulan mati, bintang satu dua terlihat berjauh­an.

Jenuh di lobi, dia menelusuri Hutaginjang, berlokasi sekitar tujuh kilometer dari Bandara Silangit. Di Hutaginjang terdapat tiga teras pandang. Waduh, sa­yangnya terlihat kumuh seperti tak terawat. Malam memanggil kabut. Panorama tetap memukau mata.

Di teras lain terhampar taman yang penuh pohon pinus. Di Pa­natapan Hutaginjang, lelaki itu disuguhi pemandangan yang tak terkatakan. Decak kagum, bukan main indahnya.

Hutaginjang menghidangkan pesona alam di bawahnya. Ten­tunya yang sangat menawan. Hamparan Danau Toba dan Pulau Samosir, entah dengan apa me­lukiskan keindahannya. Menye­jukkan mata, membuncah imaji­nasi. Di situ berdiri warung-wa­rung kecil, menyaji kopi meng­halau cuaca dingin.

Helmi, lelaki asing tersebut, memasuki sebuah warung. Me­ne­guk kopi panas, menyulut ro­kok seperti sepur. Asap seperti tak henti. Hutaginjang tempat strategis menikmati view Danau Toba, nyaris sempurna. Tak ter­baca apa yang berkecamuk di da­da lelaki itu, gelisah seperti men­cari sesuatu.

Dalam lamunan yang absurd, lelaki itu dikejutkan oleh teriakan kecil. Suara yang samar-samar mengingatkan dia pada seseo­rang.

Dia menoleh ke arah suara itu. Perempuan yang menyapa­nya senja tadi, sudah duduk di depannya. Menjulurkan tangan dan mereka bersalaman.

“Boleh aku duduk di sini?”, kata perempuan itu. Lelaki itu hanya mengang­guk, penuh seli­dik. Siapakah perempuan ini, dia tahu namaku?”

Lelaki itu menawarkan mi­num kopi, perempuan itu meng­geleng, “Aku tak bisa ngopi, teh manis saja.”

“Koq kamu tahu nama saya?.”

Perempuan itu tersenyum, me­nawan dengan hiasan lesung pipitnya. Wow, kemudian dia tergelak deras. Dia menarik bungkus rokok lelaki itu. Me­nyulutnya. Kelihatan, dia pero­kok berat.

“Ditanya, malah tertawa, lu­cukah pertanyaanku?” lelaki itu penasaran, membuncah tanya. Siapa perempuan ini,” dia mem­batin.

“Namamu siapa?” tanya Hel­mi lagi.

Perempuan itu menatap tajam dengan sorot mata menghadirkan banyak tanya. Dengan lembut dia berkata, “Masih pentingkah namaku buatmu? Kau boleh me­ngikis masa lalu, tapi tidak bisa menghapus peristiwa?” Lelaki itu semakin galau, penasaran, menggali ingatannya dalam ka­but Danau Toba yang mulai me­mekat.

“Bagiku namamu masih pen­ting, setidaknya aku bisa  bangkit dari kubur lupa ingatan. Kita lupakan sejenak masa lalu, jika aku adalah serpihan masa lalu itu. Mungkin kau tersakiti di sa­na,” kata lelaki itu dengan mata yang tak berkedip.

“Dua puluhan tahun, memang bukan waktu yang singkat. Semua bisa berubah bahkan me­lupakan sesuatu yang tertuliskan di kalbu. Aku pun telah melupa­kanmu, seperti kau melupakan jan­tung hatimu. Media sosial Facebook, menyentuh ingatanku pada seseorang. Aku selalu me­nikmati puisi-puisimu, hingga kita berteman. Icinawa Akira? Kau ingat nama itu?” perempuan itu tergelak lagi.

Lelaki itu berdiri, juga si pe­rempuan.

“Nadya, aku tak menyebutmu Icinawa Akira”.

Bersalaman lagi dan ketika le­laki itu ingin mengecup ke­ning­nya, perempuan itu merun­duk dan duduk. Kembali mereka duduk berhadapan.

“Kau ingat kita pernah ke sini, merayakan perpisahan yang pe­rih? Berbeda keyakinan dan adat istiadat, kita harus berseberang jalan. Aku ke Taiwan, jadi TKW, engkau entah ke mana. Masih ku­ingat puisi terakhir yang kau selipkan di dadaku:

 

Senja di danau toba

Kusimpan rindu di ranting - ranting pinus

Jangan layarkan ke danaumu

Limbahku caci makimu

 

Helmi tertunduk, meraih sisa rokok di atas meja, menghem­bus­kan asap ke sembarang pen­juru. Dengan suara setengah ber­bisik dia berkata, “Apakah per­temuan ini secara kebetulan, Nadya?”

“Tidak. Aku rindu Danau Toba, Tomok dan batu gantung. Pulau Samosir yang memiliki si­tus sejarah. Makam Raja Si­dabutar. Rindu juga Danau Si­dihoni dan Danau Aek Natonang yang dijuliki Danau Di Atas Danau. Rumah adat Batak Toba dan Tari Tradisional Sigale-gale. Kebetulan aku dapat cuti. Aku me­­milih berlibur ke mari. Aku sing­gah ke sanggarmu di Kota Cina Marelan, kata mereka kau ke Prapat.”

“Hahaha, dari mana kau tahu sanggar itu? Kota Cinna hanya persinggahanku saja kalau aku ke Medan.”

Nadya Icinawa Akira juga tergelak, “Dari sahabatmu, teman kita di SMA dulu.”

“Hmm, hebat pelacakanmu,” kata Helmi.

“Tapi aku tak habis pikir, ke­napa kau mencariku, hingga kemari? Bukankah aku sumber caci makimu, kebencian dan mungkin kesalahanku tak ber­ampun?”

Icinawa melepaskan tawa­nya. Seakan gemanya singgah di ranting-ranting pinus, tempat rindu yang disimpan lelaki itu. Rindu itu mencair, seperti getah yang meleleh di pohon rambung. Dengan tenang ia bertutur, “Ha­tiku bukan batu. Kalaupun batu, berlubang juga ditetes air yang me­nyentuh lembut. Tak boleh­kah ketika cinta berlalu, mene­rima kelahiran persahabatan? Helmi, aku takkan mendatang­kan badai dalam bahtera kehidu­panmu. Kenapa kita tak sama-sama melupakan kesedihan masa lalu?”

Helmi terpojok. Terdiam be­be­rapa saat menahan perihnya tu­sukan lembut anak-anak ka­limat Icinawa Akira. Sayup-sayup terdengar penggalan lagu Lissoi ciptaan Nahum Situmo­rang:

Dongan sa pakki la la an

Ooo...par mi tu

Dongan sa par ti na o nan

Ooo...par mitu

 

Helmi terhanyut menikmati lagu Lissoi. Seakan dia tak sadar di depannya seorang perempuan masa lalu.

DiIa tersentak ketika Icinawa Akira menyentuh dagunya. Ici­nawa bertutur lagi, “Kalau keha­diranku mengganggu pikiranmu, aku mohon maaf, kita berpisah di sini, Mi. Satu hal yang harus kau ketahui, aku mencarimu hanyalah untuk silaturahim. Jika itu pun tak boleh, anggaplah aku onggokan sampah yang penuh lalat.”

“Bukan itu, Nadya. Aku ha­nya meratapi takdir. Kenapa perbedaan keyakinan dan adat is­tiadat harus memisahkan kita. Kita seperti membangun bangu­nan dari tumpukan pasir. Musnah hanya karena air pasang atau om­bak kecil. Kita terlalu lemah, kenapa pada saat itu kita mena­brak kungkungan tersebut?”

“Sudahlah, Mi, untuk apa kita menyesali masa lalu, menyesali suratan takdir? Kalau semua yang kita inginkan terkabul, kapan kita berdoa, kapan kita berikhtiar?” Icinawa teguh pen­dirian, seperti guru kehidupan memberikan wejangan pada mu­ridnya yang rapuh hati.”

“Aku bangga pada panda­ngan­mu, dari dulu hingga kini kau seorang yang realis, sedang aku peragu murni,” kata Helmi sambil tersenyum kecut.

“Jangan terlalu memuji, Bung. Omong-omong, kau sendiri ke­mari? Apa yang kau lakukan di sini,” tanya Icinawa Akira.

“Takdir yang membawaku kemari seorang diri. Tiba-tiba saja aku rindu Danau Toba, aku ingin ke makam Raja Sidabutar, aku senang berkunjung ke situs-situs bersejarah.

“Siapa sebenarnya Raja Sida­butar itu, Mi?”

“Akupun kurang tahu. Sekilas ada yang mengatakan dia adalah orang pertama di Pulau Samosir. Di Samosir banyak bukti pening­galan sejarah, salah satunya ter­letak di Desa Tomok, di situlah kuburan sarkofagus Raja Sida­butar. Konon dia memiliki ke­saktian. Kesaktiannya itu diyaki­ni mereka yang ada di sana ber­awal dari rambutnya yang pan­jang dan gimbal. Mitos atau fakta, aku pun tahu. Jika berke­nan, besok kita ke sana. Kita ta­nyakan pada orang-orang tua di sana atau pada pemandu wi­satanya.”

Icinawa Akira menimpali, “Aku pernah mendengar begitu. Bahkan kudengar juga. Raja Si­dabutar mempersiapkan makam­nya sendiri dengan mengundang tukang pahat yang ada di pulau itu. Makamnya tak berhiaskan nisan, tapi makamnya dihiasi simbol. Terlihat ukiran kepala yang besar, ukiran kepala lain dengan ukuran yang lebih kecil menunjukkan permaisurinya, boru Damanik. Itu yang pernah kudengar, kebenarannya tak bisa kujawab, Mi”.

Malam semakin menjulang, mereka pun kembali ke pengina­p­an. Hidup itu misteri, kita tak tahu, apa yang terjadi sedetik kemudian. Sepertinya juga kein­dahan, ada saja yang lebih indah, begitulah adat dunia fana.

Medan, 15 April 2018.

()

Baca Juga

Rekomendasi