Oleh: Adelina Savitri Lubis
MAMA muda (mamud) menjelma sebagai ikon kaum ibu era now. Mereka bergaya, mengenakan busana paling hits secara fashion terkini. Tingkah laku mereka pun beda tipis dengan para gadis. Bedanya, para mamud ini kerap melibatkan bayi mereka dalam setiap aktivitas sosial. Ciri lainnya, para mamud ini eksis di media sosial (medsos).
Sebuah penelitian Google Indonesia (2018) menunjukkan, satu dari empat pengguna internet adalah kaum ibu. Internet digunakan untuk membeli keperluan anak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar merawat anak. Penelitian tersebut juga menunjukan, ibu-ibu yang belanja daring memberikan kontribusi 3,5 kali lebih banyak dalam kategori keperluan bayi dan balita. Ada pun tiga produk teratas yang dicari ibu adalah susu anak, keperluan perawatan bagi anak, dan popok.
Kalau dulu para ibu muda akan menelpon mamanya dan bertanya apa yang boleh dan tidak boleh, sedangkan sekarang mencari di internet. Jadi tak heran jika ibu muda zaman kini boleh dibilang cukup banyak melanggar aturan atau mitos-mitos yang umumnya diyakini orangtua dulu.
Misalnya, jika dulu seorang ibu percaya, tidak boleh membawa anaknya yang masih bayi ke luar rumah, karena dikhawatirkan adanya palasik yang membahayakan anak. Namun zaman sekarang, hal itu tak lagi diyakini. Setidaknya cukup banyak ibu muda yang membawa bayinya berpergian, meskipun usia bayi masih di bawah 40 hari.
Mitos lainnya, jika ibu dulu percaya harus mengolesi bayinya dengan bawang putih jika berpergian ke luar, harus menutup kepala dan tubuh bayi dengan bedong (selimut bayi), namun ibu muda zaman sekarang justru secara tak langsung mempertontonkan bayi mereka kepada publik.
Mengenakan busana-busana yang fashionable agar sang bayi terlihat menawan. Juga tak ketinggalan aktivitas sosial ibu muda bersama bayinya ini pun diunggah ke medsos.
Apakah ini salah? Tergantung bagaimana sudut pandang kita. Persis gulali, tak dipungkiri kemasan kehidupan glamor dan serba indah menjadi etalase menggoda bagi para mamud untuk mencicipi gaya hidup serupa. Apalagi di era teknologi mobile dan internet seperti sekarang, paparan referensi gaya hidup bisa diakses semudah dan secepat menggerakkan ujung jari.
Para mamud menjadikan media sosial idola mereka sebagai rujukan gaya hidup. Dampaknya mirip sudah jatuh tertimpa tangga. Dalam hiper-realitas akan membuat wanita tertindas dua kali. Setelah kerja keras berakrobat menyeimbangkan tuntutan di dunia personal, profesional, dan rumah tangga, ia masih harus mengalami penindasan simbolis. Ia merasa harus memiliki tas, lipstik, gadget, sepatu dengan merek tertentu, atau menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dengan embel-embel nasional plus atau internasional di belakangnya.
Euforia Media Sosial
Semakin runyam karena ketika euforia media sosial yang bercampur baur dengan tuntutan gaya hidup ini, berada di luar jangkauan kemampuan para mamud. Alhasil, tak sedikit mamud yang memaksakan diri demi mengatrol citra diri. Mereka bahkan berlomba-lomba untuk menjadi yang paling kekinian dan hits di tengah komunitasnya.
Andrea (26) mengakui itu. Menurutnya entah bagaimana, yang dipamerkan di medsos itu terlihat begitu effortless (mempengaruhi). Membuat para mamud, termasuk dia, terkagum-kagum. Padahal, di usia mereka, para mamud masih memiliki banyak kegelisahan.
Ada pun tiga sumber terbesar kegalauan adalah biaya pendidikan anak yang makin tinggi, ketakutan tidak memiliki investasi yang cukup, dan tidak bisa mengimbangi tuntutan gaya hidup.
Pengamat gaya hidup dan pakar marketing, Yuswohady menyikapi gejala di atas sebagai dampak logis kemunculan medsos dan fenomena kelas menengah yang kurang matang. Setiap orang memiliki medianya sendiri dan menjadi selebritas bagi audiensi atau komunitasnya. Sementara itu, mamud memiliki kebutuhan besar untuk tampil.
Kecenderungan untuk menampilkan citra diri melalui gaya hidup dan kekayaan ini, menurutnya, akan menjadi fenomena yang menguat, tidak hanya menimpa mamud, tapi juga semua orang yang mengalami krisis identitas kelas menengah. Artinya mereka belum cukup kaya, tapi ingin masuk ke dalam status sosial atas.
Fenomena gaya hidup hedon para mamud juga bisa dipahami dengan melihat bahwa mereka sedang dalam periode peralihan. Perilaku ini menjadi bagian dari pencarian identitas baru, dari seorang lajang yang kemudian menjadi istri dan ibu.
Sejatinya kalau orang tersebut mampu, tentu tidak jadi soal. Tapi masalahnya, hobi pamer kehidupan hedon ini kebanyakan justru dilakukan mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Mengambil akses keuangan melalui penggunaan kartu kredit yang tidak bijak, mereka mulai gali lubang tutup lubang, memaksakan diri untuk membawa kehidupan hiper-realitasnya ke keseharian mereka. Termasuk menabrak mitos yang sudah diyakini orangtua sejak dulu.