Plesetan, Kritik dan Aksi

Oleh: Azmi  TS. KATA-kata lazim dijadi­kan senjata untuk memprotes atau mengkritik sebuah kebi­jakan, bentuknya mulai satu kata hingga kalimat. Termasuk kata dan kalimat saduran ba­hasa Indonesia dan asing. Ber­ikutnya ada protes lewat aksi bu­nyi-bunyian, hingga pleset­an makna dan tingkatannya mulai dari amatiran hingga pro­pesional.

Dalam plesetan visual (gam­bar yang sengaja diple­set­kan), juga ba­nyak ragam­nya, tergantung konsep yang ingin diangkat ke publik. Gam­bar plesetan yang divisualkan bahkan jadi booming ketika ada ha­jatan politik (kam­panye) yang banyak mengumbar janji, minim terealisasi.

Seni plesetan di Indonesia jus­tru berkembang sejak era 1990-an, hing­ga sekarang ini, terutama saat run­tuhnya rezim orde baru. Media mas­sapun berlomba-lomba me­mun­­cul­­kan jargon kritikannya le­wat ka­rikatur. Televisi juga mena­yangkan hiburan yang dike­mas de­ngan kritikan humor melalui lawa­kan dan seterus­nya.

Lirik lagu pun tak mau ke­tinggalan momentum, sehing­ga banyak syairnya dipleset­kan pula. Perseteruan antarku­bu yang amatir dan propesio­nal tak terhindarkan. Anehnya banyak pula yang suka dalam mengapresiasinya walaupun ter­batas. Bisa jadi mungkin es­kalasi riak-riak memeleset­kan ini, melalui kata atau gam­bar itu dalam upaya mengkri­tisi sekaligus menghibur.

Adanya kritisi dalam upaya me­ma­hami makna senirupa akan me­munculkan aksi yang melestari­kan di satu sisi. Ada pula gerakan me­run­tuhkan mitos para pendahu­lu­nya. Bisa jadi aksi berawal iseng dari sim­patisan individu, akhirnya berubah jadi aliran kesepaha­m­an. Karena adanya visi dan misi yang diemban ada kese­pahaman berubah menjadi so­lidaritas suatu gerakan dalam senirupa.

Kejadian Gerakan Seni Ru­pa Baru (GSRB) tahun 1975 berawal pro­tes Bonyong atas ke­tidakadilan. Akhirnya men­ja­di tonggak sejarah seni di In­donesia. Akibat kritikan pe­dasnya berbuah pemecatan se­bagai mahasiswa ASRI. Soli­daritas kampus senirupa ITB pun ikut menggalang aksi pro­tes Bonyong dengan slogan Desember Hitam. Berdampak buruk buat Bonyong, sehingga melepas status mahasis­wa­nya. Dampak keberaniannya itu men­jadi pemicu lahirnya peta ke­kuat­an baru dalam gerakan seni­rupa.

Apa hikmah yang bisa dipe­tik dari adanya kritik ber­muara menja­di aksi, sehingga mun­cul­nya plese­tan dalam seniru­pa, tergantung publik tentu­nya. Kalau Marcel Duchamp pro­tes kepada anti kema­pa­nan melalui caranya sendiri dan di­ikuti oleh penerusnya. Salvador Dali juga protes terha­dap lukisan klasik Monalisa dengan menam­bah­kan kumis, itu tak ada reaksi yang berle­bihan.

Masih banyak lagi bentuk kritik da­lam plesetan visual, terhadap lu­kisan klasik lainnya termasuk seni patung, ilustrasi dan diskomvis. Aksi pelukis yang berani merepro itu bu­kan­nya tanpa sebab semua di­ciptakan sesuai bobot kriti­kannya. Ter­masuk perhitung­an unsur seni yang matang, se­hingga tidak kaku setelah men­jadi lukisan versi sipen­ciptanya. Sebagai penikmat seni; plesetan yang mereka suguhkan, menarik juga, bah­kan bisa senyum sendiri dibu­atnya.

Awam pun mungkin hanya bisa bergumam dalam hatinya. Kenapa bisa begitu, kenapa tak bengini ya! Coba bayang­kan bagaimana pera­saan sipe­lukis yang lukisannya di­tam­­bahi animasi (ngejek). Apakah marah atau malah cuek saja? Jawa­b­an pasti tentu sipelu­kis­nya yang lebih tahu, sejauh ma­na sen­sitivitas itu terdetek­si. Meme­le­set­kan lukis­an para pendahulu ka­rena hendak me­runtuhkan mitos, ba­gaimana pula para dadaisme yang melu­lu beraksi?

Lukisan para maestro Leo­nardo da Vinci berjudul Mona­li­sa telah be­gitu sering diple­setkan. Apakah de­ngan cara san­tun, hingga ektrim pun tak bisa meruntuhkan bahwa ka­­­rya aslinya. Aslinya tetap lebih mu­lia ketimbang aksi lukisan ple­setannya. Dari segi apa pun, de­ngan dalih apa pun konon tak akan meng­go­yahkan mi­tos-mitos karya klasik itu. Pe­lukis F. Sigit Santosa, Surono Isur, Yvaral dan Ahmad So­bi­rin sa­ling berlomba untuk ber­kreasi me­lon­tarkan kritikan­nya.

Lukisan Monalisa pun ma­lah terlihat unik karena wajah­nya tepat berada dalam wadah kloset yang menjadi latarnya. Begitu pula sosok patung Da­vid karya Michael Ange­lo di­plesetkan oleh Ahmad Sobirin itu tak kalah nyelenehnya. Ada dua versi tentang David yakni pertama ia tampil dalam posisi duduk se­utuh­nya dan kedua po­tret David, tapi sengaja di buat dalam trigestur (tiga pose).

Beda dengan karya Surono Isur yang mengambil lukisan ter­kenal Ra­den Saleh tentang per­buruan, di­olah sebagai sub­jek lukisan di tamb­ah gaya wa­nita tepat di depan­nya.

Sebagai pelukis tentunya me­reka juga menyadari, suatu saat mung­kin saja karya mere­ka juga di­plesetkan. Terpulang kepada publik un­tuk menilai. Apa­kah karya yang mereka di­plesetkan itu tergolong me­na­brak sendi etika atau malah mem­perkuat rambu-rambu es­tetika.

Momentum aksi yang tepat dilakukan bila pandangan ter­hadap estetika sudah sampai ke titik jenuh. Peristiwa-peris­tiwa ini oleh para pengamat menjadi sebuah catatan pen­ting, yang suatu saat bisa dija­dikan standar memulai aksi terbaru lagi.

Maraknya kritikan dalam men­do­brak kebijakan dalam ber­seni­rupa yang timpang itu, mungkin saja di balik itu me­nimbulkan aksi berupa dekon­truksi keindahan. Sa­ngat rugi kalau seni plesetan visual ini di­abaikan begitu saja kehadir­an­­nya.

()

Baca Juga

Rekomendasi