Roman Perlawanan dari Medan

Oleh: J Anto.

USAHA memasukan roman Medan dalam sejarah sastra Indonesia modern, belum cukup serius. Padahal roman Medan punya kelebihan. Tak sedikit ceritanya berisi anjuran melawn kolonialisme, berlawanan dengan roman Balai Pustaka yang dianggap ‘anak kandung’ kolonialisme. Roman Medan ‘hidup’ sekitar 35 tahun, jelas bukan singkat. Sayang, di kota kelahirannya sendiri, jejak roman Medan seolah terhapus.

Pada 1979, Martina Heinsch datang ke Medan, ia hendak meneliti roman Medan sebagai bahan disertasi doktornya di Universitas Hamburg, Jerman. Tapi usaha itu gagal, ia tidak menemukan dokumentasi roman Medan. Jaringan seniman Medan yang ia temui, tak ada yang mengoleksi. Termasuk perpustakaan kampus dan lemba­ga arsip milik pemerintah. Bahkan penga­rang roman Medan seperti Joesoef Souyb yang pernah ditemui Damiri Mahmud, juga tak menyimpan karya-karyanya di perpus­takaan pribadinya.

Martina Heinsch akhirnya pulang dengan tangan hampa. Ia kemudian menulis diser­tasi tentang Sastra Angkatan ‘45.  Kisah itu dituturkan Ketua Pusat Studi Ilmu-ilmu Sosial dan Sejarah Unimed (PUSSIS), Ichwan Azhari dalam seminar Jejak Historis Roman di Medan: Karya Sastra dan Sejarah yang Terlupakan diadakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan Sejarah Unimed, di Ruang Serba Guna, Sabtu (31/3). 

Narasumber lain seminar itu, Koko Hendri Lubis, yang banyak meneliti roman Medan, Damiri Mahmud, sastrawan senior Sumut, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Parwisata Sumut, Wan Hidayati. Seminar

Menurut Ichwan, dokumentasi roman Medan justru banyak tersimpan di lembaga arsip Belanda dan sejumlah lapak buku-buku tua di beberapa kota besar di Pulau Jawa. Harga buku  berukuran saku dengan tebal 60 – 80 halaman itu, di lapak buku Jakarta dibandrol Rp 500 ribu. Ia sendiri telah berhasil mengoleksi 20-an eksemplar.

Ribuan Eksemplar

Hasil perburuan Koko Hendri Lubis di perepustakaan  Belanda, menemukan lebih banyak. Kini di perpustakaan pribadinya, ia mengoleksi 300 roman Medan.  Dalam hal tiras, ada juga info menarik dari Koko yang pernah jadi peneliti tamu di Asian Library, Leiden pada September 2017. Roman Medan saat terbit, khususnya karya penulis yang terkenal, dicetak sampai 5.000 eksem­plar. Bahkan karya Joesoef Souyb bisa mencapai 15 ribu eksemplar. Luar biasa, sebuah buku fiksi, begitu terbit langsung dicetak ribuan eksemplar. Itu terjadi  pada era 1930-an.

Diperkirakan sepanjang 1930 – 1965, masa hidup roman Medan, tak kurang 450 judul yang telah diterbitkan di Medan. Data tersebut menunjukkan, Medan pernah menjadi lokasi penerbitan roman terbesar di Asia Tenggara.

Menurut Ichwan, roman Medan punya ciri yang tak lazim ditemukan pada karya-karya sastra mainstream saat itu, yang disebut sastra angkatan Balai Pustaka. Tema-tema roman Medan sangat beragam,  mulai dari politik, percintaan, fantasi, detektif, hingga sejarah Indonesia masa klasik.

“Alur cerita dalam roman Medan juga sangat hidup, imajinatif bahkan mende­barkan,” katanya. Yang lebih khas lagi, terdapat tokoh-tokoh politik yang masih hidup pada masa roman itu ditulis. Ia memberi contoh kehadiran tokoh seperti Tan Malaka dan Bung Karno.

Dicontohkannya, roman karya Emnast alias Muchtar Nasution yang berjudul Tan Malaka di Kota Medan. Roman itu terbit 1941, berkisah perburuan intel Belanda terhadap Tan Malaka, tokoh pergerakan yang harus berpindah-pindah negara untuk menghindari kejaran intelejen Belanda. Dalam roman Emnast, intel Belanda menda­pat bocoran, Tan Malaka hendak lari ke Medan lewat Pangkalan Brandan.

Dimulai dari episode salah tangkap orang di Pelabuhan Pangkalan Brandan inilah, intel Belanda dikisahkan berkali salah tangkap terhadap orang yang disangka Tan Malaka. Kota Medan pun jadi geger. Soalnya kisah salah tangkap itu disiarkan di surat kabar. Namun saat Tan Malaka tengah ditahan polisi, dari stasiun radio Marom, radio milik pemerintah Belanda, tiba-tiba penyiar disandera orang yang mengaku sebagai Tan Malaka asli. Begitu berkali kisah salah tangkap.

Ichwan melihat, roman Emnast sangat imajinatif dan tak muncul pada roman Balai Pustaka. Yang ditulis Emnast sepenuhnya fiksi. Memang ada fakta historis Tan Malaka pernah ke Medan,  namun itu terjadi 1919 – 1921, saat ia jadi guru di sebuah sekolah milik perusahaan  perkebunan di Tanjung Morawa.

Dalam roman Rol Komplotan Meru­buhkan Negara karangan SA Gubaio (1950), bahkan dihadirkan tokoh Bung Karno yang berpidato  di Lapangan Merdeka tentang ancaman spionase Belanda yang melakukan gerakan menghancurkan negara. Bung Karno bilang, spionase itu didanai onderneming perkebunan yang ada di Medan.

“Pada 1950 sebelum perkebunan asing di Sumut dinasionalisasi, perkebunan memang sumber uang,”  katanya. Dalam hal distribusi, roman Medan juga mampu  merambah sampai ke sejumlah kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Jogjakarta, dan Solo. Itu dilakukan karena permintaan pasar. Tidak seperti roman Balai Pustaka yang distribusinya disponsori pemerintah ke sekolah-sekolah di desa.

“Roman Medan boleh dibilang roman perlawanan terhadap roman versi Balai Pustaka,” katanya. Para pengarang menda­pat honor dari hasil penjualan buku. Berbeda dengan pengarang Balai Pustaka yang mendapat honor dari pemerintah kolonial.

Tak sedikit juga cerita roman Medan berisi anjuran melawan pemerintah kolonial seperti terdapat dalam  Spionnage Dienst karya Matumona (1933), atau roman Gadis San Yaru karya Boet Singh. Ichwan berha­rap, ada penelitian lebih lanjut tentang tema cerita roman Medan agar mendapat gam­baran lebih akurat dari genre sebuah karya sastra yang mengalami proses eksklusi dalam sejarah sastra resmi di negara kita.

Mencari Jalan Sendiri

Dalam pandangan sastrawan senior Sumut, Damiri Mahmud, roman Medan sebenarnya mencari jalannya sendiri, berada di luar sastra mainstream waktu itu. Para pengarangnya seolah tak menggubris genre karya sastra  yang muncul di Jakarta, yang tercermin dengan lahirnya angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ‘45 dan Angkatan ‘66

“Mereka soliter. Bentuk, gaya dan tema yang ditulis berbeda dengan Balai Pustaka yang umumnya ingin mengubah adat yang dianggap usang,” tuturnya. Romantisme yang muncul berisi kisah di antra para pelaku yang menjalin asmara dan tak sampai mengusik adat.

Jika kemudian keberaradaan roman Medan tak diperhitungkan dalam sejarah sastra Indonesia modern, menurut penulis buku Menafsir Kembali Amir Hamzah, hal itu disebabkan tidak adanya kritikus yang membincangkan roman Medan.

Berbeda dengan karya sastra angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ‘45 dan Angkatan ‘66 yang punya juru bicara­nya. Kupasan dan karya mereka juga diter­bitkan dalamt buku antologi sehingga jadi bahan ajar di sekolah dan kampus.

“Sebaliknya roman Medan tidak seperti itu. Tak ada kritikus sastra yang membi­ca­rakan,” katanya. Tragisnya, roman Me­dan, oleh wartawan ternama dan ber­pe­nga­ruh, Parada Harahap disebut sebagai roman picisan. Stigma itu membangun pan­dangan karya fiksi itu sebagai karya murahan, bukan karya bermutu.

Agar perjuangan roman Medan menjadi bagian sejarah sastra Indonesia modern berjalan mulus, Damiri Mahmud meng­usulkan ada kajian serius terhadap karya-karya roman Medan. Hasil kajian itu lalu dibukukan dalam buku antologi sastra.

“Seperti dilakukan Taufiq Ismail saat memasukan sastra Melayu Tionghoa dengan memasukkan syair Syair Jalanan Kreta Api karya Tan Teng Kie ke buku antologi Horizon Sastra Indonesia,” katanya. Buku itu diterbitkan Fakultas Sastra UI, Jakarta (2003).  Ia berharap hal yang sama ditiru fakultas-fakultas sastra di Medan. Dengan begitu roman Medan bisa diajarkan di sekolah dan kampus.

Wan Hidayati menyahuti positif gagasan  tersebut. Ia menyatakan komitmennya men­dukung usaha-usaha untuk menge­nalkan roman Medan ke masyarakat. Bahkan berjanji akan mengundang para sastrawan untuk memberi kontribusi  dalam pnyusunan pengembangan kebudayaan, termasuk roman Medan dalam APBD Sumut 2019-2020. 

“Jumlah roman Medan mengalahkan roman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Ang­katan ’45, dan Angkatan ‘66. Distribusinya sampai ke Jawa dan Malaysia. Buku roman yang begitu banyak, namun generasi mudanya tak  mengenal sama sekali,” pungkasnya.  Tak diakui lagi dalam narasi sastra modern kita.

()

Baca Juga

Rekomendasi