72 Tahun Penguasa Udara

Oleh: M.E. Sudrajat

“Kuasailah Udara untuk me­laks­anakan kehendak nasional, Karena kekuatan nasional di Udara adalah faktor yang menentukan dalam perang Modern”

Ir. Soekarno, 1 April 1955

SAAT ini pembangunan kekuatan militer menjadi hal yang sensitif dikarenakan menyebabkan security dilemma bagi negara lain. Bisa terjadi salah kalkulasi (miscalculation), salah menilai (misjudgment) dan saling mencurigai (mistrust) sehingga menimbulkan kete­gangan dan kekuatiran di kawasan.

Untuk menghindari destabilisasi perlombaan senjata akibat moder­ni­sasi militer yang dilakukan seba­gaian besar negara-negara Asia-Pasifik, da­lam Shangri-La Dialogue dibicarakan pentingnya transparansi strategis.

Rezim tran­sparansi persenjataan adalah bagian dari keamanan bersama (common security) yang didefinisikan oleh Palme Commission. Apalagi dalam hal moderni­sasi pertahanan udara dapat menim­bulkan berbagai multi tafsir, mes­kipun secara internal sebagai upaya membangun sistim perta­hanan terhadap perkembangan stra­tegis, sedangkan secara ekternal diartikan sebagai ancaman suatu kawasan meskipun dengan meng­gunakan pendekatan memba­ngunan ketaha­nan nasional sebagai argumentasi.

Demikian pula dengan perkem­bangan TNI AU sebagai penegak kedaulatan udara yurisdiksi nasional Indonesia sebagai garda terdepan bertanggungjawab dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan udara nasional Indonesia. Tugas, peran dan fungsi TNI AU diwujud­kan dalam upaya pertahanan, pe­negakan hukum, keamanan nasional serta pemberdayaan wilayah perta­hanan udara guna menghadapi se­tiap kemungkinan ancaman militer maupun non militer terhadap kese­lamatan, kedaulatan dan keu­tuhan Negara Kesatuan Republik Indone­sia (NKRI).

TNI AU lahir pada 9 April 1946, kelahiran TNI AU bermula dari BKR Oedara (BKRO/Badan Kea­ma­­nan Rakyat Oedara), kemudian pada 5 Oktober 1945 berubah men­jadi Ten­tara Keamanan Rakyat (TKR) Ja­watan Penerbangan di ba­wah Ko­modor Udara R. Soerjadi Soer­ja­darma, yang bermarkas di jalan Ter­ban Taman No. 1 Yogya­karta. Pada tanggal 24 Januari 1946, Presiden Soekarno mendekritkan kembali perubahan nama TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan TRI AU ditetapkan ter­sendiri melalui Penetapan Peme­rin­tah No:6/S.D tanggal 9 April 1946 dengan R. Soerjadi Soerja­darma sebagai Kepala Staf TRI AU. Tanggal 9 April kemudian dipe­ringati

 Perkembangan saat ini

Menurut Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Yuyu Sutisna, Komando Operasi TNI AU (Koopsau) saat ini terdiri Koopsau I bermarkas di Jakarta dan bertang­gung jawab di wilayah barat Indo­nesia, membawahi 20 pangkalan udara. Sementara Koop­sau II ber­markas di Makassar, Sulawesi Selatan bertanggung­jawab di wila­yah Indonesia tengah dan Indonesia timur, membawahi 20 pangkalan udara. Direncanakan tahun ini di­tambah Koopsau III diwilayah Papua sehingga beban Koopsau II dibagi ke Koopsau III. Hal ini sesuai harapan Panglima TNI, bahwa TNI AU harus mem­bentuk Koopsau III, TNI AD mem­buat divisi, dan TNI AL membuat armada. Tiga matra kompak memi­lih wilayah timur Indonesia sebagai lokasi pengem­bangan kotama. Itu terbukti melalui rencana peme­karan divisi Kostrad oleh TNI AD, pem­bangunan armada baru yang diran­cang TNI AL, serta TNI AU me­nambah komando operasi III di wi­layah Biak atau Sorong yang masuk daerah Papua.

Bahwa pengembangan pemba­ngu­nan ke wilayah Timur sudah se­pantasnya mengingat Indonesia memiliki luas daratan 1.904.556 kilometer persegi, serta lautan 5,5 juta kilometer per­segi. Luas lautan ini sudah termasuk di dalamnya lan­das kontinen sebesar lebih kurang 2,8 juta kilometer persegi, sehingga apabila   meng­gunakan skala per­ban­­di­ngan luas wilayah darat dan laut ialah 1:2, serta dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa menem­patkan Indonesia pada posisi ke empat setelah China, India dan Ame­rika Serikat. Secara struktur fisik Indonesia merupakan negara kepu­lauan (Archipelagos) yaitu terdiri dari pulau besar dan pulau kecil tidak kurang 17.508 pulau. Dengan anugrah ini pula Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dan berpengaruh, diantara 10 negara anggota ASEAN.

Dalam hal penambahan kekuatan Alutsista (alat utama sistim persen­jataan) TNI AU terima Hibah 24 Jet Tempur F-16 C/D dari Amerika Serikat (AS) di Lanud Iswahjudi Ma­diun, Jawa Timur, (28/2/2018).  Hal tersebut sebagai wujud berja­lan­nya Program Management Office (PMO) antara Indonesia – AS. Selain itu, juga menjadi bukti komitmen kerja sama antara Indo­nesia dan AS di bidang pertahanan. Rencananya, se­banyak 16 unit pesawat F-16 tersebut akan ditem­patkan di Skuadron Udara 16 Lanud Pekan­baru, dan delapan unit lainnya ditempatkan di Skuadron Udara 3 Lanud Iswahjudi, Madiun. Hal akan semakin memperkuat keberadaan TNI AU dan semakin diperhi­tung­kan di kawasan

Sementara itu, dengan telah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pe­ngamanan Wilayah Udara RI yang telah diundangkan oleh Men­teri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 19 Februari 2018, maka TNI AU sebagai penegak kedaula­tan udara yuris­diksi nasional Indo­nesia sebagai garda terdepan ber­tang­­gungjawab dalam menjaga dan memper­tahankan kedaulatan udara nasional Indonesia semakin mem­perkuat komitmen TNI AU. Selain itu dalam PP ini mengatur juga sinergi sipil mliter.

Kerjasama sipil militer seba­gaimana dimaksud, menurut PP ini, bertujuan untuk menjamin Kesela­matan Penerbangan dengan mem­berikan prioritas Pesawat TNI dalam melaksanakan penega­kan kedaula­tan, penegakan hukum, operasi dan latihan militer. Dalam rangka me­laksanakan tanggung jawab terse­but, PP ini menye­butkan, Peme­rintah me­netapkan: a. kawasan uda­ra terlarang (prohibited area); dan b. kawasan udara terbatas (restricted area). Selain itu, Pemerintah dapat menetapkan zona identifikasi pertaha­nan udara (air defence identification zone/ADIZ). Kawasan udara terla­rang (prohibited area), menurut PP ini, merupakan kawasan udara di atas daratan dan/atau pe­rai­ran dengan pembatasan perma­nen dan menye­luruh bagi Pesawat Udara. Kemudian PP tersebut telah menetapkan kawa­san udara terbatas (restricted area),

Dalam mengatasi pelanggaran wilayah udara, PP ini menegaskan Pesawat Udara Negara Asing yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara harus memiliki lzin Diplomatik (diplomatic clearance) dan Izin Keamanan (security clearance). Untuk Pesawat Udara Sipil Asing tidak berjadwal yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara, menurut PP ini, harus me­miliki Izin Diplomatik (diplomatic clearance), Izin Keamanan (security clearance) dan Persetu­juan Terbang (flight approval).

Sedangkan “Pesawat Udara seba­gaimana dimaksud yang ter­bang dengan tidak memiliki izin merupa­kan pelanggaran,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP ini. Setiap orang yang me­lang­gar ketentuan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dikenakan sanksi administratif berupa denda admi­nistratif paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Sedangkan makna pemba­ngunan Alutsista merupakan kebutuhan vital bagi perwujudan daya tangkal yang handal dalam rangka men­du­kung tercapainya kepentingan na­sional. Kepentingan nasional terse­but tentunya ber­muara pada per­wujudan kese­jah­teraan (prosperity) dan keamanan (security) secara seimbang yang harus diupa­yakan secara terus menerus dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara.

Selain itu, TNI membangun ke­kuatan militer berdasarkan kepenti­ngan nasional, solusi dan menaje­men konflik atas kejadian lingku­ngan strategis, dengan berpe­doman pada Confidence Building Measu­res (CBM) dan preventive diplo­macy, sehingga terwujud ketahanan nasional dan ketahanan ASEAN. Sebagai cata­tan akhir kekuatan militer merupakan salah satu deterrence effects yang dapat menangkal atau minimal membuat negara lain mengurungkan niat untuk meng­ganggu NKRI.

“Dirgahayu TNI AU ke 72”

***

Penulis, Pemerhati Lingkungan Strategis

()

Baca Juga

Rekomendasi