Oleh: M.E. Sudrajat
“Kuasailah Udara untuk melaksanakan kehendak nasional, Karena kekuatan nasional di Udara adalah faktor yang menentukan dalam perang Modern”
Ir. Soekarno, 1 April 1955
SAAT ini pembangunan kekuatan militer menjadi hal yang sensitif dikarenakan menyebabkan security dilemma bagi negara lain. Bisa terjadi salah kalkulasi (miscalculation), salah menilai (misjudgment) dan saling mencurigai (mistrust) sehingga menimbulkan ketegangan dan kekuatiran di kawasan.
Untuk menghindari destabilisasi perlombaan senjata akibat modernisasi militer yang dilakukan sebagaian besar negara-negara Asia-Pasifik, dalam Shangri-La Dialogue dibicarakan pentingnya transparansi strategis.
Rezim transparansi persenjataan adalah bagian dari keamanan bersama (common security) yang didefinisikan oleh Palme Commission. Apalagi dalam hal modernisasi pertahanan udara dapat menimbulkan berbagai multi tafsir, meskipun secara internal sebagai upaya membangun sistim pertahanan terhadap perkembangan strategis, sedangkan secara ekternal diartikan sebagai ancaman suatu kawasan meskipun dengan menggunakan pendekatan membangunan ketahanan nasional sebagai argumentasi.
Demikian pula dengan perkembangan TNI AU sebagai penegak kedaulatan udara yurisdiksi nasional Indonesia sebagai garda terdepan bertanggungjawab dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan udara nasional Indonesia. Tugas, peran dan fungsi TNI AU diwujudkan dalam upaya pertahanan, penegakan hukum, keamanan nasional serta pemberdayaan wilayah pertahanan udara guna menghadapi setiap kemungkinan ancaman militer maupun non militer terhadap keselamatan, kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
TNI AU lahir pada 9 April 1946, kelahiran TNI AU bermula dari BKR Oedara (BKRO/Badan Keamanan Rakyat Oedara), kemudian pada 5 Oktober 1945 berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawatan Penerbangan di bawah Komodor Udara R. Soerjadi Soerjadarma, yang bermarkas di jalan Terban Taman No. 1 Yogyakarta. Pada tanggal 24 Januari 1946, Presiden Soekarno mendekritkan kembali perubahan nama TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan TRI AU ditetapkan tersendiri melalui Penetapan Pemerintah No:6/S.D tanggal 9 April 1946 dengan R. Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf TRI AU. Tanggal 9 April kemudian diperingati
Perkembangan saat ini
Menurut Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Yuyu Sutisna, Komando Operasi TNI AU (Koopsau) saat ini terdiri Koopsau I bermarkas di Jakarta dan bertanggung jawab di wilayah barat Indonesia, membawahi 20 pangkalan udara. Sementara Koopsau II bermarkas di Makassar, Sulawesi Selatan bertanggungjawab di wilayah Indonesia tengah dan Indonesia timur, membawahi 20 pangkalan udara. Direncanakan tahun ini ditambah Koopsau III diwilayah Papua sehingga beban Koopsau II dibagi ke Koopsau III. Hal ini sesuai harapan Panglima TNI, bahwa TNI AU harus membentuk Koopsau III, TNI AD membuat divisi, dan TNI AL membuat armada. Tiga matra kompak memilih wilayah timur Indonesia sebagai lokasi pengembangan kotama. Itu terbukti melalui rencana pemekaran divisi Kostrad oleh TNI AD, pembangunan armada baru yang dirancang TNI AL, serta TNI AU menambah komando operasi III di wilayah Biak atau Sorong yang masuk daerah Papua.
Bahwa pengembangan pembangunan ke wilayah Timur sudah sepantasnya mengingat Indonesia memiliki luas daratan 1.904.556 kilometer persegi, serta lautan 5,5 juta kilometer persegi. Luas lautan ini sudah termasuk di dalamnya landas kontinen sebesar lebih kurang 2,8 juta kilometer persegi, sehingga apabila menggunakan skala perbandingan luas wilayah darat dan laut ialah 1:2, serta dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa menempatkan Indonesia pada posisi ke empat setelah China, India dan Amerika Serikat. Secara struktur fisik Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagos) yaitu terdiri dari pulau besar dan pulau kecil tidak kurang 17.508 pulau. Dengan anugrah ini pula Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dan berpengaruh, diantara 10 negara anggota ASEAN.
Dalam hal penambahan kekuatan Alutsista (alat utama sistim persenjataan) TNI AU terima Hibah 24 Jet Tempur F-16 C/D dari Amerika Serikat (AS) di Lanud Iswahjudi Madiun, Jawa Timur, (28/2/2018). Hal tersebut sebagai wujud berjalannya Program Management Office (PMO) antara Indonesia – AS. Selain itu, juga menjadi bukti komitmen kerja sama antara Indonesia dan AS di bidang pertahanan. Rencananya, sebanyak 16 unit pesawat F-16 tersebut akan ditempatkan di Skuadron Udara 16 Lanud Pekanbaru, dan delapan unit lainnya ditempatkan di Skuadron Udara 3 Lanud Iswahjudi, Madiun. Hal akan semakin memperkuat keberadaan TNI AU dan semakin diperhitungkan di kawasan
Sementara itu, dengan telah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara RI yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 19 Februari 2018, maka TNI AU sebagai penegak kedaulatan udara yurisdiksi nasional Indonesia sebagai garda terdepan bertanggungjawab dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan udara nasional Indonesia semakin memperkuat komitmen TNI AU. Selain itu dalam PP ini mengatur juga sinergi sipil mliter.
Kerjasama sipil militer sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, bertujuan untuk menjamin Keselamatan Penerbangan dengan memberikan prioritas Pesawat TNI dalam melaksanakan penegakan kedaulatan, penegakan hukum, operasi dan latihan militer. Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab tersebut, PP ini menyebutkan, Pemerintah menetapkan: a. kawasan udara terlarang (prohibited area); dan b. kawasan udara terbatas (restricted area). Selain itu, Pemerintah dapat menetapkan zona identifikasi pertahanan udara (air defence identification zone/ADIZ). Kawasan udara terlarang (prohibited area), menurut PP ini, merupakan kawasan udara di atas daratan dan/atau perairan dengan pembatasan permanen dan menyeluruh bagi Pesawat Udara. Kemudian PP tersebut telah menetapkan kawasan udara terbatas (restricted area),
Dalam mengatasi pelanggaran wilayah udara, PP ini menegaskan Pesawat Udara Negara Asing yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara harus memiliki lzin Diplomatik (diplomatic clearance) dan Izin Keamanan (security clearance). Untuk Pesawat Udara Sipil Asing tidak berjadwal yang terbang ke dan dari atau melalui Wilayah Udara, menurut PP ini, harus memiliki Izin Diplomatik (diplomatic clearance), Izin Keamanan (security clearance) dan Persetujuan Terbang (flight approval).
Sedangkan “Pesawat Udara sebagaimana dimaksud yang terbang dengan tidak memiliki izin merupakan pelanggaran,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP ini. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Sedangkan makna pembangunan Alutsista merupakan kebutuhan vital bagi perwujudan daya tangkal yang handal dalam rangka mendukung tercapainya kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut tentunya bermuara pada perwujudan kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security) secara seimbang yang harus diupayakan secara terus menerus dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara.
Selain itu, TNI membangun kekuatan militer berdasarkan kepentingan nasional, solusi dan menajemen konflik atas kejadian lingkungan strategis, dengan berpedoman pada Confidence Building Measures (CBM) dan preventive diplomacy, sehingga terwujud ketahanan nasional dan ketahanan ASEAN. Sebagai catatan akhir kekuatan militer merupakan salah satu deterrence effects yang dapat menangkal atau minimal membuat negara lain mengurungkan niat untuk mengganggu NKRI.
“Dirgahayu TNI AU ke 72”
***
Penulis, Pemerhati Lingkungan Strategis