VUCA dalam Dunia Pendidikan

Oleh: Freddy Nababan

DUNIA sedang mengalami turbulensi. Efek­nya adalah banyak hal yang berubah de­ngan cepat, tidak pasti, kom­pleks dan bisa jadi membingungkan. Dan hari-hari ini kita kerap melihat ber­munculannya ben­da-benda yang tidak per­nah kita ba­yangkan akan hadir sebe­lumnya.

Contohnya, beberapa waktu lalu, kita me­nyaksikan bahwa Sophia-robot ber­basis kecerdasan buatan yang bisa ber­tin­dak sebagai asisten manusia besutan David Hanson-menerima status kewarga­ne­garaan untuk entitas nonmanusia per­tama di dunia dari Putra Mahkota Kera­jaan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman. Kemudian, kita menyaksikan Alexa, juga produk kecerdasan buatan persembahan Amazon yang mampu bertindak sebagai asisten pribadi dengan berbagai keunggulannya. Ada juga Rina (Microsoft), dan Siri (Ios Apple).

Intinya, semua entitas tersebut adalah pencapaian terkini manusia yang mampu mem­berikan nilai lebih dan kemu­dahan hidup bagi penggunanya. Inilah peruba­han-perubahan yang tampak kasatmata dan sangat signifikan memengaruhi cara hidup dan pola pikir manusia secara keseluruhan.

Sampai di sini, bisa disimpulkan bah­wa tidak bisa tidak, dunia akan terus me­­ngalami perubahan. Perubahan itu pasti dan abadi. Segala kesusahan ber­ubah menjadi kemudahan. Apa yang du­lun­ya tak mungkin, menjadi mungkin se­bagai­mana dikatakan oleh filsuf Yu­nani, Heraclitus (535 BC-475 BC) dengan kata-kata bijaknya the only thing that is constant is change.

Jika kita amati, ada berbagai macam ek­ses dari perubahan-perubahan ini, salah sa­tunya dikenal sebagai disrupsi atau ke­kacauan. Disebut “gangguan/keka­cau­an” karena hal ini-baik langsung maupun tidak langsung, masif maupun mikro-me­nyebabkan peralihan-peralihan yang tidak kentara, juga ketidaknyamanan bagi se­bagian orang, terutama yang berada dalam status quo atau zona nyaman (comfort zone).

Orang-orang menjadi tidak nyaman ka­rena bisnis ataupun karir pekerjaan mereka terganggu, bahkan “terancam” oleh para pendatang baru pengusung dis­rupsi, yaitu kaum mile­nial. Bagi kaum mi­lenial “berubah-ubah” dan “ketidak­ber­aturan” adalah lifestyle mereka.

Karena punya pola pikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya, dalam berbisnis ataupun berkarir mereka juga banyak menawarkan konsep-konsep baru yang tidak ter­pikirkan sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya bisnis rintisan (start up business) berbasis di­gital akhir-akhir ini, seperti Uber, Gojek, Grab dan lain sebagainya. Para pemain lama terganggu oleh karena inovasi dan berbagai kemudahan yang ditawarkan para pemain baru (milenial) pelaku bisnis rintisan tersebut. Inilah dunia VUCA.

VUCA Penawar VUCA

VUCA (volatility, uncertainty, com­ple­x­ity dan ambiguity)-sebagaimana di­sitir oleh Victor Yasadhana-adalah istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh US Army War College untuk meng­gam­bar­kan keadaan dunia yang semakin rentan, tak pasti, rumit dan membingungkan se­bagai dampak multi­lateralisme dunia pasca-Perang Dingin.

Jika pada awalnya fenomena ini ber­gelayut pada ranah bisnis dan teknologi-in­formasi, maka kini hal yang serupa bisa kita saksikan dalam domain pendidi­kan. Sebagaimana sudah banyak diulas oleh para ahli di bidangnya, tatanan dunia pen­didikan global sekarang ini mengha­dapi apa yang disebut jurang teknologi dan informasi antara digital im­migrants (guru lama pembelajar teknologi) dan dig­ital natives (siswa penikmat dan peng­guna teknologi), di mana kebanya­kan guru yang ada sekarang masih ter­bilang gagap menghadapi para siswa pe­nutur teknologi.

Para guru lama ini kerap susah untuk me­ngubah paradigma belajar dan me­ngajar, sulit menyesuaikan diri dengan tren-tren terbaru pengajaran berikut me­dia-media pembelajaran berbasis digital yang berkembang cepat, merasa ter­ancam dengan teknologi, dan merasa bim­bang/bingung untuk ber­ubah. Alasan paling klise adalah: sudah tua dan mau pen­siun. Dan barangkali sudah merasa nyaman dengan suasana yang ada.

Namun sejatinya, para guru harus mau dan mampu mengubah mindset tersebut sebab perubahan itu adalah abadi. Guru harus mau terbuka dengan perubahan zaman sebab guru adalah pembelajar sejati seumur hidup. Guru adalah role model dan agent of change kehidupan.

Perubahan dan kesulitan yang mung­kin ditimbulkannya tak mesti ditakuti se­bab sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada jalan. Di balik perubahan pasti ada kemudahan. Selalu ada semacam “serum” penetralisir. Dalam bukunya, Lea­ders Make the Future: Ten New Lea­dership Skills for an Uncertain World, Bob Johansen yang juga peneliti pada Ins­titute for the Future menawarkan so­lusi untuk mengatasi dunia VUCA ini, juga dengan VUCA (vision, understan­ding, clarity dan agility).

Sejatinya resep VUCA ini bisa di­aplikasikan dalam dunia pendidikan se­bagai berikut. Volatility (perubahan cepat tak terduga) bisa diakomodir dengan me­nerapkan visi (vision) yang jelas. Apa yang hendak dicapai di masa depan di­tetapkan hari ini. Guru harus me­netapkan apa yang menjadi program bulanan, se­mester, dan tahunan. Guru harus memas­tikan semua materi sudah on the track, kon­tekstual dan sinkron dengan tren terbaru.

Uncertainty (sulit terprediksi) dinis­bih­kan dengan pe­mahaman (under­stan­ding) yang baik akan apa yang menjadi pe­nyebabnya. Hal ini umumnya berkai­tan dengan karakter siswa. Untuk itu, guru harus menjadi fasilitator yang lebih ba­nyak mendengar, membaca dan meli­hat perspektif yang berbeda dari para mu­­rid­nya. Guru harus mengenali gaya be­lajar mereka karena mengenali murid secara utuh adalah keharusan.

Selanjutnya, complexity (keruwetan dan kerumitan) yang dialami dari para sis­wa dalam pembelajaran diatasi dengan ke­mauan para pendidik untuk lebih ba­nyak merespon, tidak reaktif, dan meng­kla­rifikasi setiap permasalahan yang ada agar tercipta kejelasan (clarity) dalam mengambil keputusan.

Dan terakhir ambiguity (kebingungan/kebimbangan) dalam pembelajaran dapat diselesaikan dengan agility (kelin­cahan/keluwesan) para guru melihat solusi-solusi yang ada. Kelincahan (baca: ke­ari­fan) para guru dalam memberikan jalan ke­luar yang terbaik dari kebimba­ngan sis­wa berkorelasi dengan kemata­ngan se­orang pendidik dan “jam terbang­nya” yang hanya bisa didapat dari ke­mau­an para guru untuk terus belajar, baik in­dividual maupun kolaboratif dengan sia­pa saja dan di mana saja.

Esensinya adalah para pendidik harus adaftif dengan segala macam dinamisasi pendidikan, termasuk denga per­kemba­ngan-perkembangan terbaru dalam dunia teknologi (digitalisasi pendidikan). Guru harus selalu on, tidak boleh off.

Volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity boleh jadi hanyalah salah satu fe­nomena yang kebetulan mendera dunia se­karang ini. Akan ada fenomena-fe­nomena lain ke depannya. Untuk itu, tu­gas kita semua adalah, tidak hanya pen­didik, bersiap-siap sebab perubahan itu pasti dan abadi adanya.***

Penulis adalah alumnus CULS (Ceko), mahasiswa FKIP Pascasarjana Nommensen, Medan dan pegiat literasi di Toba Writers Forum (TWF) Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi