Oleh: Bersihar Lubis.
Saya tiba-tiba teringat karya maestro pelukis Indonesia, Basoeki Abdullah yang berjudul “Telaga Toba di Waktu Senja.” Ingatan itu muncul ketika menghadiri pameran lukisan dari seniman yang tergabung dalam Yayasan Simpassri Medan, Jumat (4/5) lalu. Terhampar luas birunya Danau Toba dipadu awan bergulung berbias cahaya. Sangat memanjakan mata.
Maklum, nyaris 70% dari hampir 100 lukisan yang dipamerkan, umumnya adalah landskap pemandangan alam. Lukisan beraliran realisme dan naturalisme ini, suatu masa pada awal abad 20, popular dengan sebutan Indie Mooi, atau Hindia Belanda (sebutan Indonesia di era kolonial) Molek.
Lukisan Basoeki Adullah itu ternyata menarik perhatian Presiden Soekarno. Beliau malah mengoleksinya dan memasukkannya ke dalam buku katalog lukisan Bung Karno. Masih ada lukisan lain Basoeki yang berjudul “Pemandangan Danau Toba.”
Adalah pelukis Sudjojono yang mempopulerkan istilah Indie Mooi ini pada 1930. Adapun lukisan Mooi Indie adalah karya lukis yang menggambarkan pemandangan di Hindia Belanda atau Indonesia yang serba indah, damai, dan tenteram.
Memang, umumnya lukisan Indie Moii tampil berupa pemandangan alam seperti sungai, gunung, hutan, suasana pedesaan, sawah yang indah. Juga menggambarkan wanita-wanita di Hindia Belanda yang juga eksotik, entah sedang menari atau melakukan aktivitas sehari-hari. Pilihan warnanya selalu teduh, terang, dan damai.
Jenis lukisan itupun sudah dilakoni oleh pelukis Raden Saleh dengan gaya naturalistik pada abad 19. Memang, luar biasa. Karya Raden Saleh yang berjudul La Chasse au Taureau Sauvage” terjual dengan harga yang mengejutkan, nyaris menembus Rp150 miliar, dalam lelang di Vannes, Prancis, pada 27 Januari 2018 lalu.
Memang, pemerintah Belanda telah mensponsori para pelukis Belanda—seperti Du Chattel—maupun bumiputera untuk membuat lukisan “indie moii”. Lukisan tersebut kemudian dipamerkan di Eropa, yang bertujuan menarik para wisatawan Eropa datang ke Indonesia.
Memancing Turis
Saya kira seiringan dengan kehendak memacu target kunjungan satu juta wisatawan asing ke Sumatera Utara pada 2019, barangkali, peranan lukisan untuk memancing minat turis boleh diandalkan. Jika tak mungkin di pamerkan di Eropa, Amerika Serikat, China, Jepang dan negara-negara Asean, setidaknya dipajang di Bandara Kualanamu dan Silangit. Atau di lobi hotel bertaraf internasional di daerah ini.
Alangkah elok jika pemerinah juga mendorong bangkitnya galeri senilukis di kawasan Danau Toba. Sekaligus juga bertumbuhnya sanggar sen lukis, tempat para pelukis menciptakan karya-karyanya, akan merupakan obyek wisata yang menarik, seperti telah terjadi di Pulau Bali. Sehingga ketika wisatawan asing datang berkunjung, mereka dapat menikmatinya, dan siapa tahu tergoda untuk membelinya.
Apalagi potensi lukisan landskap alam memang sangat digemari para pelukis di daerah ini. Nyaris 70% dari karya-karya yang pamerkan oleh Yayasan Simpassri Medan itu umumnya beraliran “Indonesia Cantik.”
Dalam catatan saya, masih ada pelukis Hardiman Wisesa, yang juga suka melukis Danau Toba. Atau Didi Prihadi, sarjana seni dari Jurusan Pendidikan Seni Rupa Unimed. Ada satu karyanya tentang Bunga Teratai di permukaan Danau Toba, meski condong ke gaya impresionisme.
Lalu ada Bambang Triyogo dan Agus Opung. Agus terkenal dengan lukisan tentang Kawanan Angsa. Terakhir Wawan Saad yang melukis Danau Toba dan Lembah Bakkara. Sayang, mulai dari Hardiman hingga Wawan Saad tidak ikut dalam pameran Simpassri, kali ini.
Tapi, pelukis S. Sudjojono yang berasal dari Kisaran itu mengkritik lukisan Indie Mooi pada 1939. Dia mengatakan bahwa lukisan-lukisan pemandangan yang serba bagus, serba enak, romantis bagai di surga, tenang dan damai, padahal keadaan masyarakat Indonesia kala itu banyak yang miskin, tinggal di gubuk reyot.
Mazhab Indie Mooi lantas dikecam dan dikritik, dianggap hanya mengabadikan keindahan alam Indonesia saja dan kurang tanggap terhadap kenyataan di sekitarnya yang tidak semuanya indah, serba enak, tenang dan damai.
Sudjojono kerap kerap mengecam Basoeki Abdullah yang dianggap bibit penerus Indie Mooi sebagai tidak nasionalistis, karena hanya melukis perempuan cantik dan pemandangan alam.
Sudjojono bersama PERSAGI yang didirikannya pada 1938, mulai memperkenalkan seni lukis sendiri yang nasionalis.
Namun betatapun pun, lukisan Indie Mooi telah membuat fondasi dasar kemunculan seni rupa di Indonesia. Dan masih hidup hingga sekarang.
Fenomena sosial
Tapi saya kira pelukis di daerah ini harus merespons fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya. Saya ingat pernah Gubernur Ali Sadikin berang melihat lukisan Srihadi berjudul “Air Mancar” (1973). Apalagi sudah digantung di Paviliun DKI di TMII untuk pameran bertema “Jakarta” yang akan diresmikan Presiden Soeharto.
Bang Ali tersinggung karena lukisan Srihadi itu juga memampangkan berbagai produk Jepang, justru mendekati datangnya Perdana Menteri Jepang Tanaka yang akan mengadakan kerja sama ekonomi dengan Indonesia. Tanaka berada di Jakarta pada 14-17 Januari 1974 yang memicu peristiwa Malari.
Kita ingat pula Dede Eri Supria melukis jalanan Jakarta yang lengang. Tak ada arus lalu lintas. Sangat surealis, mengingat arus lalulintas di kota Jakarta terkenal padat dan macet. Mulanya dia memotret arus lalu lintas yang padat dengan kamera. Lalu memindahkanya ke kanvas, namun menghilangkan kepadatan arus lalu lintas.
Saya menganjurkan kawan-kawan di Simpassri bisa juga bermain-main dengan imajinasi. Misalnya, melukis Menara Tirtanadi di Jalan SM Raja yang poros tiangnya sudah membengkok dan airnya bocor, sehubungan kasus defisit air di kota ini.
Permainan tak selalu cuma “hura-hura” tanpa makna. Tengoklah permainan sepakbola sangat profesional sehingga pemain liga di Eropa berharga jutaan miliaran dolar. Johan Huizinga dalam “Homo Ludens” (1955) menulis bahwa permainan bisa sangat serius seperti terlihat dalam berbagai ritus agama bumi yang khusuk. Ada nyanyian, tarian dan gendang bertalu-talu yang estetik dan eksotik.
Bisa juga melukis arak-arakan perahu berwarna warni di Sungai Deli ditumpangi oleh para wisatawan asing sebagai sebuah impian seorang pelukis tentang masa depan Sungai Deli.
Atau suasana di lampu setopan ketika menyala lampu merah, tapi pengendara angkot dan sepeda motor malah meluncur.
Boleh pula melukis orang-orang mengayuh perahu dengan gembira di jalanan kota Medan yang tergenang ketika musim hujan..
Bisa juga melukis Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi sedang naik sepeda bersama dua anak SD. Wajah pak Erry bisa dicuplik dari foto-foto yang ada, lalu tubuh dan kakinya yang mendayung sepeda dilukis begitu rupa.
Lukisan macam itu adalah shock of the new. Yang mengagetkan, menjadi pusat perhatian. Ada sesuatu yang baru, yang sangat eye catching. Sekaligus juga memperlihatkan para pelukis bisa menjadi saksi jaman, yang ikut mengukir sejarah.
Saya kira kreatifitas macam itu akan mendorong masyarakat melirik lukisan dengan bergairah, karena telah menawarkan inspirasi. Sekaligus menghibur dan mencerahkan pemikiran.
Jika hendak disimpulkan, lukisan bertema keindahan alam untuk memancing kunjungan wisatawan asing, monggo saja. Namun tidak melupakan potret Indonesia dalam bentuk fenomena sosial dengan ragam suka dukanya. Keduanya harus dicatat, keduanya dapat, meminjam sajak Chairil Anwar, “Catetan Tahun 1946.”***
Penulis adalah jurnalis tinggal di Medan.