Oleh: Al-Mahfud.
Kebencian ibarat bara api. Ia bisa membara dengan ganas dan menghanguskan segala. Lawannya adalah cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang menjadi naluri alamiah manusia yang membuat kita saling mendekat, saling peduli, saling memahami, menghormati, dan selalu mendamba keharmonisan hidup bersama. Sedangkan kebencian adalah penyakit yang selalu membuat kita menciptakan jarak dengan orang yang kita benci. Bahayanya, kebencian sering menjadi sumber konflik, pertikaian, bahkan dalam level yg lebih luas, kekerasan atau radikalisme.
Rasa benci, sering diekspresikan dalam pelbagai bentuk. Mulai dari sikap acuh tak acuh, sentimen, sikap dan tindak intoleran, ujaran-ujaran kebencian, ejekan, hingga aksi-aksi kekerasan yang anarkis. Pelbagai ekspresi kebencian tersebut pada gilirannya kerap memicu keretakan sosial dan menghancurkan sendi-sendi persaudaraan kemanusiaan.
Ikatan-ikatan sosial seperti budaya dan tradisi saling menghormati dan menghargai sesama, yang menjadi modal sosial suatu masyarakat yang telah lama terbangun, bisa tiba-tiba hancur karena beberapa individu atau kelompok yang tak bisa membebaskan diri dari kebencian yang bercokol dalam hatinya.
Kebencian bisa semakin meledak dan meluas karena dipicu provokasi, propaganda, dan pelbagai jenis narasi kebencian. Terlebih, di era media sosial sekarang, kita melihat bagaimana konten-konten bermuatan kebencian banyak beterbaran. Oknum atau kelompok-kelompok tak bertanggung jawab, dengan pelbagai motif, menjalankan misinya lewat konten-konten negatif yang disebar di media sosial atau dunia maya. Kebencian disulut, dikobarkan, dan dijadikan komoditas untuk mendulang kepentingan pribadi atau kelompok.
Akibatnya, aroma kebencian menguar di mana-mana, menjalar memengaruhi pelbagai isu publik, menggiring masyarakat untuk kembali menajamkan perbedaan dan saling curiga dengan sesama. Pelbagai persoalan, seperti sosial politik, ekonomi, bahkan agama, dirasuki virus-virus kebencian, sentimen, dan kecurigaan, sehingga mengaburkan pandangan, membuat orang tak lagi berpikir jernih, melupakan kebijaksanaan dan nilai-nilai keadaban kemanusiaan, dan cenderung mengedepankan egoisme diri atau kelompoknya sendiri.
Jika sudah demikian, kepentingan bersama tersingkirkan, sehingga tiang-tiang penyangga persaudaraan dan persatuan goyah, bahkan runtuh. Yang nampak adalah orang-orang yang beringas, mudah marah dan gelap mata, menyerang siapa saja yang berbeda. Di sini, nilai-nilai utama penyokong persatuan, persaudaraan, dan perdamaian, makin melemah. Kebijaksanaan, toleransi, simpati, empati sosial tergerus dan tertutupi oleh rasa benci yang menjadi-jadi.
Bebaskan Diri
Melihat bahaya dari kebencian tersebut, sudah semestinya kita sama-sama membangun kesadaran untuk membebaskan diri dari penyakit benci. Memang bukan perkara mudah. Orang atau pelbagai kelompok orang dengan kepentingannya masing-masing, seringkali memantik rasa benci dan curiga, terlebih ketika kepentingan terusik pihak lain.
Kebencian gampang tumbuh di tengah kondisi sosial yang kacau, terutama karena ketidakadilan. Namun, kita mesti bisa bertindak secara bijak ketimbang menumbuhkan benci atau sikap-sikap arogan. Ketika ada hal yang tak sesuai pemikiran atau merugikan kepentingan kita, kita bisa menyampaikan aspirasi dengan cara-cara yang sesuai aturan. Sebab, kita adalah bangsa beradab, bangsa yang punya hukum dan undang-undang.
Sementara itu, dalam konteks pribadi, membebaskan diri dari rasa benci bisa dimulai dengan membangun kesadaran bahwa kita semua adalah sama-sama manusia ciptaan Allah Sang Pencipta. Kita sama-sama berasal dari keturunan Nabi Adam, yang satu sama lain mesti saling mengenal dan menghormati, bukan saling membenci dan memaki. Kita dianugerahi akal pikiran dan hati nurani untuk saling bekerjasama mengelola kehidupan ini menuju peradaban yang lebih baik, bukan saling menjatuhkan dan meluluhlantakkan perababan lewat aksi-aksi kekerasan, ujaran-ujaran kebencian, atau bahkan peperangan dan tindakan radikal.
Islam mengajarkan kita menebarkan rahmat pada sesama, bukan menebarkan kebencian. Bahkan, untuk menghadapi atau mengobati kebencian dalam hati terhadap orang lain, jalan yang diajarkan adalah mendoakan.
Hamza Yusuf, dalam bukunya Purification of the Heart, yang merupakan terjemahan dan penjelasan dari kitab Mathharat Al-Qulub (Pemurnian Hati) karya wali besar Syaikh Muhammad Mawlud Al-Ya’qubi Al-Musawi Al Muratani, menjelaskan bahwa dalam mengobati kebencian, si penbenci harus mendoakan dengan tulus orang yang dibenci, memohon pada Allah agar memberi orang (yang dibenci) itu kebaikan di dunia dan akhirat.
Hidup bersama di tengah segala perbedaan lebih membutuhkan rasa toleransi, cinta dan kasih sayang antar sesama manusia ketimbang rasa benci dan kecurigaan. Dalam pemaparannya tentang penyakit hati berupa benci, Hamza Yusuf menjelaskan lebih lanjut bahwa penyakit kebencian memang merupakan kekuatan penghancur yang paling dahsyat di dunia. Namun, tegasnya, yang jauh lebih dahsyat adalah cinta. Benci berarti tiadanya cinta, dan hanya melalui cintalah kebencian dapat dihapus dari hati. Kita bisa menebarkan cinta dan kasih sayang dengan pelbagai cara. Seperti sikap ramah dan toleran pada sesama, lewat ucapan yg baik, atau lewat kegiatan atau karya sesuai dengan peran kita masing-masing.
Di era medsos sekarang, kita bisa memulainya dengan menghindari menyebarkan konten-konten negatif, hoax, dan pelbagai hal yang mengandung kebencian pada sesama. Di saat bersamaan, kita bisa menebarkan narasi perdamaian serta pentingnya cinta dan kasih sayang antar sesama manusia. Kita mungkin sulit menuntut orang banyak untuk berhenti menyebarkan kebencian, namun kita bisa memulai dari diri sendiri. ***
Penulis,bergiat di Paradigma Institute (Parist) Kudus.