Laris Manis Bisnis Aksesoris

Oleh: J Anto. Perempuan mana yang tak ingin tampil cantik, modis dan terlihat menarik tiap hari? Tas yang trendy dan fashionable saja rupanya tak cukup.  Masih dibutuhkan aksesoris lain untuk ‘menyempurnakan” penampilan perempuan, juga anak-anak perempuan. Itu sebabnya mereka yang belanja tas di Jalan Palangkaraya, umumnya juga me­nyem­patkan mampir untuk berburu berbagai aksesoris.

“Biasanya usai belanja tas, saya memang cari aksesoris,” tutur Esah, guru TK di sebuah sekolah swasta di Medan Sunggal. Ia tak beli untuk diri sendiri, tapi juga memborong bebe­rapa aksesoris. Lewat jejaring perte­manan di sosial media atau sesama guru, ia menjajakan aksesoris itu. Tapi Esah sendiri mengaku tak rutin berbisnis aksesoris.

 Sejauh mata memandang, toko-toko aksesoris memang bertebaran di sekitar Pajak Hongkong. Jelang Idul Fitri dan hari besar lain seperti tahun baru, mereka juga tak kalah sibuk melayani pembeli. Baik pembeli eceran atau grosir.

Lihatlah Kamis (24/5) siang, sebuah toko aksesoris di Jalan Natal, samping Pajak Hongkong, sejak pagi pembeli hilir mudik masuk ke toko yang penuh gantungan aksesoris. Mulai dari aksesoris perhiasan teli­nga, kalung, bros, tali rambut, jedai,  tas platik, kipas tangan plastik dan ribuan jenis aksesoris tak hanya bergantungan, tapi juga menempel di dinding-dinding toko,  memenuhi rak stelling, juga bergeletakkan di lantai.

“Wah, nggak teratur natanya, susah jalan kita,” keluh seorang laki-laki. Ia memilih duduk di emperan toko, menunggu isterinya yang tengah berbelanja di situ.  Ati (54), kepala pelayan di toko itu mengakui, di tokonya ribuan barang aksesoris memang tak bisa ditata. Soalnya tiap bulan atau dua bulan, ribuan aksesoris baru datang dari Jakarta. Praktis hal itu membuat stok barang  jadi  tak sempat lagi ditata lebih rapi.

Ramai saat orang Aceh turun

“Soalnya begitu barang baru datang, pembeli juga ramai datang, apalagi kalau orang Aceh sudah turun seperti sekarang ini,” tuturnya. Di tokonya ada 4 karyawan yang sibuk melayani para pembeli. Pelanggan toko ini tentu tak hanya pedagang eceran asal Aceh, tapi juga datang dari Rantau Prapat, Samosir, Pema­tang­siantar, Medan dan kota lain di Sumut. Ribuan aksesoris itu umum­nya produk asal Tiongkok, namun  banyak juga produk buatan dalam negeri.

Produk Tiongkok umumnya punya warna ‘ngejreng’ di mata, modelnya juga beragam. Karet ikat rambut semisal, atau disebut juga karet gundu yang disimpan dalam tabung plastik, sekilas mirip permen karet atau hiasan akuarium. Sebuah produk aksesoris yang sama, juga bisa punya ragam harga berbeda.

“Jedai atau ikat rambut misalnya, satu lusin yang paling murah Rp 6.000, yang paling mahal 45.000,” ujar Ati yang mengaku baru 2 tahun berbisnis aksesoris.

Memilih ke Onan

Bisnis aksesoris bukan tanpa tantangan, terlebih bagi pedagang pengecer. Di era perdagangan online, banyak lahir pebisnis dadakan.  Pasangan suami isteri Richardo Purba - Linda Butar-Butar yang berdagang aksesoris di Pajak Horas, Pema­tang­siantar, mengakui dampak itu. Me­reka dulu biasanya berbelanja  akse­soris di sekitaran Jalan Palangkaraya dan Pajak Hongkong. Mereka bahkan sudah punya toke langganan.

“Dulu kita belanja aksesoris pria, wanita segala umur, juga topi, kaos kaki, tas dan souvenir wisata,” tutur Richardo. Namun tahun 2015, saat pesaing  makin banyak, mereka mulai melirik berburu aksesoris ke Jakarta dan Bandung. Di kedua kota itu, ragam aksesoris berkembang pesat. Berasal dari berbagai manca negara, bukan hanya produk dalam negeri semata.

Berbisnis aksesoris, tambah Linda menuntut agar jenis aksesoris variatif. Makin variatif,  katanya makin diburu calon konsumen. Maklum, hari demi hari, tuntutan  orang untuk “tampil  beda” dibanding yang lain makin tinggi. Apalagi di era media sosial dimana orang makin banyak “unjuk diri”.

Menurut Linda, toke di Medan kadang juga suka jahil. Pernah jahil. Pernah mereka pesan barang akse­soris tertentu, tapi dibilang barang sedang kosong. Akhirnya aksesoris di toko mereka jadi tidak lengkap. Langganan beralih ke toko lain.  Selidik punya selidik, akhirnya ketahuan, sikap toke Medan itu lebih disebabkan  mereka masih punya tunggakan utang.

“Kadang pilih kasih mereka, akibatnya dagang kita gak lengkap, gak laku, toko teman yang laku,” tuturnya. Tapi Linda juga punya alasan lain kenapa sekarang belanja langsung ke Jakarta. Aksesoris di Jakarta katanya lengkap. Tak saja jenis, model dan asal negara yang memproduksi aksesoris. Sola harga, diakui memang tak jauh berbeda dengan di Medan.

Berdagang ke Onan

Richardo dan Linda tak menampik bisnis aksesoris kini banyak tanta­ngan. Isu terorisme juga ikut memberi dampak. Tak banyak lagi turis asing yang belanja aksesoris ke tokonya. Belum lagi maraknya bisnis online. Ia sebenarnya juga masuk ke situ, tapi tak terlalu serius. Ia tak sabar menghadapi calon pembeli yang banyak tanya, tapi belum tentu jadi membeli.

Bersama suaminya, ia lebih me­milih  membawa mobil mereka, ber­jualan ke sejumlah onan (hari pa­sar besar), di sejumlah kota kabu­paten, misalnya ke Toba Samo­sir, Balige dan Tarutung.

“Kalau hanya andalkan toko di pajak, nggak cukup,” ujar mereka. Begitulah siasat  yang dilakukan para pedagang aksesoris agar tetap laris manis. Terutama bagi mereka yang berjualan eceran.

()

Baca Juga

Rekomendasi