Eksploitasi Tambang Merusak Bumi

Oleh: Suadi. Manusia dengan tamak terus meng­eksploitasi bahan tambang di berbagai tempat. Eksploitasi tersebut sepintas dianggap berkah dan mem­bawa kemakmuran karena mendorong terciptanya la­pangan kerja untuk warga lo­kal, menambah pendapatan asli daerah (PAD), membaik­nya investasi serta turut mengerek pe­rtumbuhan eko­nomi nasional. Buaian surga terse­but buyar seketika tatka­la eksploitasi tam­bang terse­but menghadirkan kerusakan mengerikan di sana sini.

Kerusakan akibat eksploi­tasi tambang meli­puti pence­maran air tanah, sungai, mua­ra sungai, udara, serta meru­sak tanah, tanaman dan hu­tan. Eksploitasi tambang juga mengancam kehidup­an ma­nusia dan pemicu punahnya satwa dan flora. Misalnya hutan Batang Toru di Tapa­nuli Selatan, Sumatera Utara serta Manggamat dan Sa­­­wang, di Kabupaten Aceh Selatan. Euforia me­nam­bang emas mengakibatkan air su­ngai sebe­lum­nya jernih jadi keruh tidak bisa digu­nakan dan meninggalkan puluhan lubang sedalam belasan me­ter di hutan dan perbukitan.

Bahkan menurut berbagai LSM dan Jaringan Monitoring Tambang (JMT), aktivitas tam­bang di Aceh dan Suma­tera Utara 70 persen berada di kawasan hutan lindung dan 32 Izin Usaha Per­tam­bangan (IUP) masih berma­salah (medan­bisnis, Selasa 15 November 2016).

Kerusakan juga kentara di kawasan tambang Freeport di Kabupaten Mimika, Pa­pua. Eks­ploitasi tambang di sana mencemari enam su­ngai dengan emisi beracun terdiri dari pasir sisa tambang, lo­gam berat, merkuri, timbal ar­sen dan sianida. Keenam sungai tersebut adalah Su­ngai Ajkwa, Aghawagon, Otomona, Minajerwi, Aimoe dan Tipuka. Tidak tanggung-tanggung, menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerugian akibat eksploitasi tambang tersebut ditaksir Rp 185 triliun. Hal serupa terjadi di Kalimantan, Riau dan Su­matera Selatan akibat eks­ploitasi tambang batubara.

Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), 44 persen luas daratan dan kepulauan Indonesia sudah dikapling oleh perusahaan tambang. Sebanyak 5.587 IUP minerba sudah kadalu­warsa dan 2.509 IUP di anta­ranya status­nya bermasalah dan merugikan negara sebesar Rp 4,3 triliun.

Bumi Terancam

Kerusakan akibat eksploi­tasi tambang tidak hanya di Indonesia, tetapi seantero planet bumi. Di Brasil, per­usahaan Samarco yang ber­gerak di sektor tambang bijih besi menyebabkan ben­dung­an Fundao runtuh tak kuat menahan lim­bah tambang. Akibatnya laut di sepanjang pantai Espirito Santo terce­mar lumpur beracun, meng­hancurkan 100 unit rumah warga sekitar dan mencemari air tanah, hutan dan sungai Doce hingga 200.000 orang kehilangan sumber air ber­sih.

Eksploitasi tambang juga faktor penyebab hilangnya 38 juta hektar lahan hutan di Brasil, di samping faktor per­tanian dan industri kayu.

Sementara di negara Ko­ngo, Afrika, eksploi­tasi tam­bang coltan (Columbite-tantalite: bahan baku pembuatan baterai gadget, tablet, kom­pu­ter dan seluler) merusak hutan lindung, taman nasio­nal Kongo dan taman nasio­nal Kahuzi Biega. Eksploitasi juga merusak tanah-tanah subur dari hutan yang ditam­bang dan mengan­cam keber­adaan satwa gajah dan gorilla. Tam­bang coltan terse­but juga memicu konflik berda­rah, penyelundup ilegal dan faktor penyebab kemis­kinan dan kelaparan di Ko­ngo.

Eksploitasi tambang juga menghancurkan negara Nau­ru yang terletak di tengah Samudera Pasifik. Negara Nauru berdiri di atas sebuah pulau kecil seluas 21 km2 yang ditemukan penje­lajah Eropa pada 1798. Awal dite­mukan, pulau terse­but sangat subur, indah dan dipenuhi pohon kelapa. Pasca merdeka dan ditemukan tambang fos­fat pada 1968, Nauru menjel­ma menjadi negeri super kaya. Namun, setelah tam­bang fosfat habis, Nauru jadi bangkrut total. Kerusakan alam tidak terhindarkan se­hingga 75 persen wilayah Nauru berstatus tidak layak huni. Pohon kelapa yang se­belumnya hidup subur di se­antero pulau, kini sudah ja­rang, habis dibabat untuk ke­pentingan tambang.

Planet bumi tidak akan pernah aman dari kerusakan selama eksploitasi tambang terus berlanjut. Ironisnya, berbagai kemudahan yang didapat manusia di era modern justru merupakan imbal balik dari eksploitasi tam­bang di seantero planet bumi. Kemudahan yang didapat me­nuntut tumbal kerusakan lingkungan.

Misalnya untuk membuat alat-alat transpor­tasi, kons­truksi dan perkakas rumah tangga dibutuhkan bahan-bahan dari hasil tambang se­perti besi, aluminium, timah dan nikel. Bahan ba­kar pe­ma­nas ruangan dan mengge­rakkan me­sin pabrik industri dan mesin kendaraan meng­gunakan batubara dan mi­nyak bumi. Membuat piring, gelas, kaca dan barang pecah belah dari pasir kuarsa.

Hampir seluruh aspek ke­hidupan tidak terle­pas dari ba­han dasar tambang. Alat sederhana seperti pisau da­pur, parang memotong da­ging atau wajan untuk me­ma­sak adalah terbuat dari besi yang didapat dari hasil tambang. Bukan mus­tahil, ketergantungan hidup manu­sia terhadap bahan tambang yang menghasilkan kerusak­an adalah kombinasi tanda-tanda alam bahwa bumi su­dah tua dan mendekati masa akhir yaitu kiamat.

Stop Eksploitasi, Kembali ke Alam

Sulit menyetop eksploitasi tambang di planet bumi. Di samping memang sudah men­­jadi kebutuhan hidup ma­nusia, juga eksploitasi terse­but dimotivasi oleh alas­an klise yaitu kemak­muran. Atau, stop eksploitasi tam­bang dan hanya mengguna­kan segala kebutuhan seba­gaimana yang sudah ada. Artinya, jangan lagi menam­bang besi, timah, aluminium, pasir kuarsa dan se­bagainya. Menghadapi kenyataan per­tam­bahan penduduk, maka penduduk yang tidak kebagi­an barang-barang kebutuhan berbahan dasar tambang ha­rus menjalani hidup tradisio­nal.

Misalnya, keluarga baru ti­dak lagi membeli wajan, kuali, parang, perabot ru­mah, keramik, seng dan seba­gainya yang berbahan dasar hasil tambang. Mereka bisa mendapatkan dari barang be­kas dari saudara, family, ke­luarga atau dari pasar loak barang-barang bekas. Jika tek­nologi modern mengaku sudah canggih, maka semes­tinya mampu mendaur ulang barang-barang bekas menjadi baru. Jadi tidak perlu me­nam­bang dan merusak alam. Ini menarik tapi tidak semua negara mampu, apalagi nega­ra yang konon hobi menjual tanah airnya kepada peng­usa­ha tambang asing.

Mungkin gerabah, piring, cangkir, tempayan dan per­ka­kas hidup dari tanah liat atau tem­purung kelapa bisa jadi solusi ramah lingkung­an. Batang bambu juga bisa dipotong jadi cangkir. Nenek moyang zaman dulu meng­guna­kan barang-barang ter­se­but. Belum ditemukan ka­ca, aluminium apalagi kom­por gas, mesin cuci, kulkas dan ricecooker.

Berat menghentikan eks­ploitasi tambang di planet bu­mi. Tapi, faktanya bila di­biarkan planet ini akan rusak dan hancur. Memang, resiko­nya semua penghuni planet bumi sama-sama mera­sakan­nya. Tapi, apakah tidak ter­gerak di hati sanubari untuk menghentikannya mulai saat ini? bisa dimulai dari hal kecil, misalnya hemat listrik, tidak boros belanja perkakas rumah yang tidak dibutuhkan dan perbanyak jalan kaki. Ya, dimulai dari hal sesederhana itu.

(Penulis alumnus UMSU S1 & UNNES S2)

()

Baca Juga

Rekomendasi