Oleh: Wayudin Wen
BERTAHUN-tahun kita memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Bertahun-tahun juga kita menaruh asa bahwa pendidikan nasional kita akan semakin baik dan menghasilkan generasi penerus bangsa yang bukan hanya cerdas secara intelektual namun juga cerdas spritualnya. Akan tetapi, melihat fakta yang terpampang di depan mata, kita tentu akan mengakui bahwa apa yang dicita-citakan selama ini belum sepenuhnya terwujud. Pendidikan Indonesia belum mampu berbicara banyak di dunia internasional dan kini, degradasi moral, intoleransi, serta sikap apatis turut menghantui generasi muda bangsa ini.
Untuk mengatasinya, pemerintah berusaha mengotak-atik kurikulum pendidikan, model pendidikan ala barat yang dianggap mumpuni diadopsi, pendidikan karakter (budi pekerti) dan Pancasila kembali digiatkan, dan untuk menumbuhkembangkan pola berpikir kritis, soal-soal Ujian Nasional pun dibuat lebih sulit. Berhasilkah? Mungkin terlalu dini untuk menuntut hasilnya, namun waktulah yang akan membuktikan apakah hal-hal tersebut akan memberikan hasil sesuai yang diharapkan atau tidak. Melihat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, penulis berpendapat bahwa pemerintah mengartikan tujuan bangsa Indonesia yang salah satunya berbunyi “Mencerdaskan kehidupan bangsa” hanya dalam arti sempit, yakni dalam lingkup sekolah sebagai lembaga sosial formal yang memang diberikan mandat untuk mencerdaskan masyarakat. Pada hakekatnya, manusia bukan hanya mengenyam pendidikan formal selama hidupnya, pendidikan informal juga memegang pengaruh penting, bahkan tak kalah penting dibandingkan dengan pendidikan formal.
Apa itu pendidikan informal? Sederhananya, pendidikan informal adalah pendidikan yang tidak terikat pada aturan, tempat, ataupun seseorang yang disebut sebagai guru karena pendidikan informal dapat terjadi di sekitar (lingkungan) kita. Pendidikan informal juga tidak memberikan ijazah tanda lulus dan dapat berlangsung sepanjang hidup manusia. Contoh pendidikan informal yang seringkali kita lupakan keberadaannya adalah keluarga. Sebagaimana yang kita ketahui, keluarga merupakan agen sosialisasi yang utama dan pertama bagi seorang anak karena melalui keluargalah, seorang anak pertama kali diperkenalkan pada nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain sebagai agen sosialisasi, keluarga juga berperan untuk memberikan kasih sayang, memenuhi kebutuhan ekonomi, melindungi, serta mengawasi tingkah laku anggotanya. Dengan demikian, keluarga juga menjadi salah satu agen pengendalian sosial yang seharusnya paling mampu dan paling berperan dalam melindungi anggotanya dari perilaku menyimpang mengingat adanya kedekatan fisik dan emosional yang lebih dalam dibandingkan dengan lembaga sosial lainnya.
Munculnya murid-murid yang bermasalah di sekolah (bahkan dalam beberapa kasus berani melawan, mencederai, dan menghilangkan nyawa guru), maraknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh murid, pernikahan anak di bawah umur, dan kasus intoleransi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat mengindikasikan bahwa peran keluarga dalam membentuk kepribadian anak sudah semakin lemah dan keluarga telah gagal menjadi benteng terakhir dalam melindungi anak dari pengaruh negatif lingkungan. Murid-murid yang bermasalah ketika belajar di sekolah bukan semata-mata karena guru yang kurang piawai dalam menyampaikan materi pelajaran, namun juga dikarenakan anak yang kurang mendapat perhatian dari keluarga sehingga mereka berusaha mencari perhatian, baik dari teman-teman sekelas ataupun dari guru yang tengah mengajar. Begitu pula mereka-mereka yang terlibat dalam narkoba, tawuran, bahkan kasus sepasang anak di bawah umur di Bantaeng yang ingin segera menikah dengan alasan takut tidur sendirian, semakin menguatkan argumen bahwa ketika keluarga gagal melaksanakan fungsinya, maka hasilnya akan terlihat pada perilaku menyimpang yang muncul pada anak tersebut.
Hal tersebut juga dibuktikan sendiri oleh penulis yang kebetulan mengampu mata pelajaran ilmu sosial dan ketika menyampaikan materi mengenai hubungan sosial dan penyimpangan sosial, penulis menanyakan kondisi keluarga dari beberapa murid yang dikenal “bermasalah” di kelas. Hasilnya tentu sesuai perkiraan penulis, mayoritas mereka berasal dari keluarga dengan orang tua yang sibuk bekerja sehingga waktu untuk kumpul keluarga sangat terbatas dan sisanya berasal dari keluarga yang justru overprotective. Pada orang tua yang sibuk bekerja, anak akan dimanjakan dengan materi yang berlimpah serta gawai-gawai terkini sebagai kompensasi dari hilangnya waktu kebersamaan. Bahkan tak jarang pula ketika berkumpul, masing-masing anggota keluarga justru sibuk dengan gawainya masing-masing daripada berinteraksi satu sama lain. Lain pula pada keluarga yang overprotective yang justru memunculkan sikap pemberontak yang dilampiaskan si anak ketika berada di sekolah karena ketika di rumah, mereka tidak dapat mengekspresikan keinginan mereka. Perilaku intoleransi juga tidak akan memiliki kesempatan untuk berkembang bila keluarga menanamkan nilai-nilai pluralistik kebangsaan sejak dini ataupun orang tua sendiri mengajarkan dan memberikan contoh menghargai keberagaman, misalnya dalam kehidupan bertetangga.
Pendidikan Karakter
Melihat peran keluarga yang sedemikian penting, hendaknya pemerintah menggeser prioritas pendidikan karakter agar dimulai dari keluarga, bukan di sekolah. Keluarga harus mengambil alih peran sekolah, bahkan harus memainkan peran utama dalam menanamkan nilai dan karakter-karakter dasar pada anak, sementara sekolah bertugas untuk melanjutkan (pendidikan karakter), dan akhirnya masyarakatlah yang mematangkan karakter-karakter tersebut. Dengan demikian proses pembelajaran nilai dan karakter yang terjadi pada seorang anak akan terjadi secara berkesinambungan dan dengan adanya tahapan-tahapan tersebut, nilai serta karakter luhur yang diharapkan akan tertanam semakin kuat dan ketika dewasa, karakter-karakter itulah yang muncul sebagai jati diri mereka, menjadi ciri khas yang membedakan mereka sebagai manusia Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Menghilangkan peran keluarga sebagai pendidikan informal dalam pembentukan karakter mengakibatkan adanya mata rantai yang hilang dalam proses pendidikan nasional sehingga memunculkan persepsi adanya mismatch antara harapan dengan kenyataan dalam dunia pendidikan.
Selama ini sekolah diberikan beban untuk menumbuhkan karakter-karakter positif pada murid sementara hal tersebut tidak terjadi ketika si murid berada di rumah karena keluarga cenderung melakukan pembiaran pada perilaku anak karena keluarga yang gagal menjalankan fungsinya sehingga pada akhirnya timbul konflik dalam diri si anak. Secara alami, anak tentu akan lebih memilih untuk mengikuti lingkungan dengan pengawasan minim, tanpa aturan yang ketat dan akhirnya sekolah tampak gagal dalam menjalankan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan oleh pemerintah karena mendapat resistensi dari sang anak.
Tentulah belum terlambat bagi kita untuk menyadari kekeliruan yang ada, dan kiranya momen peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini dapat menjadi titik awal untuk mengembalikan pendidikan informal (keluarga) sebagai jiwa dari pendidikan nasional itu sendiri yang dimulai dari saya (penulis) dan anda. Tanpa peran serta keluarga, sebagus apapun kurikulum, sesulit apapun soal-soal yang diujikan, output pendidikan hanyalah manusia cerdas tanpa karakter. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Salam. ***
Penulis adalah guru SMP Methodist-3