Oleh: Dra. Yusna Hilma Sinaga
Hadist Nabi Muhammad Saw diriwayatkan Abu Musa al-Asy’ari Ra, yang artinya, “Ia berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi Muhammad Saw. Salah seorang mereka berkata, “Ya Rasulullah Saw angkatlah kami sebagai pejabatmu.”Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya,”
(HR Bukhari dan Muslim).
MEMAKNAI hadist Nabi Muhammad Saw ini sangat jelas bahwa menjadi pemimpin, pejabat itu tidak boleh diminta. Artinya, harus ditunjuk. Mengapa dikatakan tidak boleh meminta jabatan sebab hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Abdurrahman bin Samurah Ra, Ia berkata,”Rasulullah Saw bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepadamu. Namun, apabila jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada dua catatan penting. Pertama, jika diminta maka tanggungjawab sepenuhnya kepada yang meminta. Kedua, jika tidak diminta maka dalam melaksanakan tugas jabatan akan ada yang membantu. Kedua catatan ini menegaskan bahwa ajaran Agama Islam tidak dibenarkan mencalonkan diri menjadi pemimpin atau tidak dibenarkan meminta jabatan.
Tepat, sebab dalam ajaran Agama Islam jabatan itu adalah amanah. Bila amanah tentunya yang diberi, bukan yang diminta. Siapakah yang memberikan anamah itu? Tentunya orang yang akan dipimpin yakni rakyat atau umat yang memberikan amanah.
Sangat jelas dan diterima logika sebab bila diberi amanah maka orang yang memberi amanah akan mendapat membantu sepenuhnya. Beda dengan yang meminta jabatan akan mempertanggungjawabkan nya serta akan bekerja tanpa mendapat bantuan dari orang yang meminta pejabatan.
Alasan logika ini sejalan dengan hadit Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Auf bin Malik dari Nabi Muhammad Saw, Rasullullah bersabda yang artinya,”Jika kalian mau, aku beri tahu kepada kalian tentang jabatan, apa hakikat jabatan itu? Awalnya adalah celaan, yang kedua adalah penyesalan dan yang ketiga adalah adzab di hari kiamat, kecuali orang yang berlaku adil. Bagaimana mungkin ia dapat berlaku adil terhadap keluarga-keluarganya?” (HR al-Bazzar).
Makna yang terkandung dari hadist Nabi Muhammad Saw itu bahwa tidak mudah untuk melaksanakan jabatan. Ada tiga fase bagi yang menerima jabatan. Pertama akan mendapat celaan. Kedua, akan menyesal dan ketiga akan mendapat adzab pada hari kiamat. Agar terhindar dari tiga fase itu maka orang yang menerima jabatan mampu melaksanakannya dengan berlaku adil. Tepat, tidak mudah untuk berlaku adil.
Terbuka peluang untuk bisa berlaku adil apa bila jabatan itu bukan yang diminta akan tetapi diberi, diamanahkan. Hal ini sejalan dengan hadist Nabi Muhammad Saw yang artinya, “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR Bukhari)
Ambisi, berarti ingin menghabisi, ingin menguasai, ingin berkuasa. Bila keinginan-keinginan itu menggebu-gebu maka sulit berlaku adil. Oleh karena itu dalam ajaran Agama Islam tidak dibolehkan meminta-minta jabatan. Hadist Nabi Muhammad Saw yang artinya, “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Logikanya orang yang sangat berambisi akan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkannya. Setelah mendapatkannya akan menilai semuanya itu karena kehebatannya. Sementara menjadi pemimpin atau mendapat jabatan harus berlaku adil. Bila tidak mampu berlaku adil maka tugas jabatan yang diterimanya sulit untuk dilaksanakan.
Alasan yang mendasar menjadi pemimpin atau menerima jabatan bukan pekerjaan yang mudah, sangat sulit dan harus ahli pada bidangnya. Bila tidak ahli pada bidangnya maka secara logika akan sulit untuk melakukannya.
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya, “Apa bila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Logika sehat memang apa bila seseorang mengerjakan satu pekerjaan tetapi tidak paham, tidak ahli pada pekerjaan itu maka wajar saja gagal atau hancur. Tidak mudah menerima jabatan karena harus ahli pada jabatan yang diterima. Sudah tentu orang yang meminta jabatan tidak memikirkan apakah dirinya ahli atau tidak sebab yang berbicara ambisi untuk mendapatkan jabatan.
Nabi Muhammad Saw menjadi tauladan sebagai seorang pemimpin karena bisa berlaku adil. Dalam ajaran Agama Islam untuk menjadi pemimpin atau menerima amanah. Syaratnya pertama harus Shiddiq (berkata jujur). Kedua, harus Fathonah (cerdas). Ketiga harus Tabligh (mampu berkomunikasi) dan keempat harus Amanah (bisa dipercaya).
Bila empat syarat ini dimiliki seseorang maka orang akan memintanya menjadi pemimpin atau orang akan memberinya jabatan. Bila dinilai empat syarat menjadi pemimpin itu ada pada diri seseorang maka layaklah seseorang itu menjadi pemimpin atau diberi jabatan. Empat syarat itu harus dimiliki maka barulah diberi jabatan atau dipilih menjadi pemimpin.
Ajaran Agama Islam memberikan petunjuk mencari dan memilih pemimpin atau menerima jabatan. Firman Allah Swt dalam Alqur’an Surah Ali Imran ayat 28 yang artinya, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”
Allah Swt kembali mengingatkan dalam Alqur’an Surah Al Maidah ayat 51 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.”
Adanya beberapa kali Allah Swt mengingatkan menandakan sangat penting bagi umat Islam dalam hal menentukan siapa calon pemimpin atau kepada siapa diberikan jabatan. Dalam ajaran Agama Islam cukup jelas dan tegas. Kini tugas umat Islam mengimplementasikannya atau melaksanakannya dalam kehidupan keseharian umat Islam.
Agama Islam mengajarkan cara memilih pemimpin atau memberikan jabatan dengan petunjuk Nabi Muhammad Saw dan firman Allah Swt dalam Alqur’an dalam mendapatkan pemimpin yang baik dan benar.
***
Penulis alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara, pemerhati masalah sosial ke-Islaman