Melawan Hegemoni Para ‘Empu’Sastra

HEGEMONI para empu sastra dalam telaah puisi-puisi Chairil Anwar ternyata  meringsek juga ke sejumlah penyair Medan. Ambil contoh sajak Aku Chairil Anwar yang kerap dibawakan  deklamator dengan nuansa semangat perjuangan, ter­utama pada larik: biar peluru me­nembus kulitku, aku tetap meradang menerjang, luka dan bisa kubawa berlari, berlari, hingga hilang pedih,danaku tak perduli, aku mau hidup seribu tahun lagi.

Padahal, menurut Damiri Mah­mud, sajak Aku itu lahir  dari keme­lut batin besar yang dialami Chairil. Pergolakan terjadi saat ia harus melawan seorang ayah yang sangat memanjakan hidupnya. Segala yang dipinta diturutinya. Namun saat sang ayah itu menikah lagi, Chairil tidak memihak ayahnya. Chairil memang pernah sebentar tinggal bersama ibu tirinya.

Namun tidak lama ia memutuskan menyusul ke Kramat Sentiong, Jakarta. Ia memilih tinggal bersama ibu­nya. Ia meninggalkan hidup mewah di Medan bersama ayahnya yang seorang ambtenaar dan memi­lih  hidup sederhana bersama ibunya.

Saat ayahnya datang ke Jakarta dan mengajaknya pulang kembali ke Medan, Chairil menolak. Ia lebih memilih hidup secara bohemian.

“Lalu lahirlah sajak Aku, penuh dengan ungkapan  lambang-lambang pemberontakkan walau sebenarnya saat itu Chairil menangis,” ujar Da­miri, Selasa (1/5). Jika pengkaji sajak Chairil menafsir pemberon­tak­kan itu adalah melawan kekuasaan fasis Jepang atau Belanda, mungkin ka­rena si pengkaji mengaitkan de­ngan situasi revolusiner saat sajak itu tercipta. Damiri mengakui, puisi itu multitafsir, ambigu, namun jangan sampai menggelikan, terutama saat sebuah sajak dideklamasikan.

Bukan Sekadar Teks

Menurut Damiri, kerap tafsir yang dilakukan para empu sastra atau sastrawan ternama, termasuk  kriti­kus asing, ditelan bulat seniman  lain. Baginya, karya sastra merupakan bagian atau pernyataan jiwa penyair­nya. Karena itu menelaah pribadi penyair menjadi penting, termasuk jiwa raganya, kehidupannya, dan tata nilai zaman saat penyair itu mencip­ta.

Membaca sajak Chairil, tak boleh terpaku pada teks dan alpa me­ngait­kan konteks diri si penyair mau­pun tradisi yang memengaruhi gaya hidupnya. Bagi Damiri, kebu­dayaan Melayu Medan tempat Chai­ril hidup dan dewasa sangat memengaruhi sikap berkeseniannya. Apalagi, dalam suratnya kepada Jassin, Chai­ril mengakui sendiri kepenyairannya telah penuh sejak ia berusia 15 tahun. Usia ketika ia masih tumbuh di Medan. ”Seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian,” tulis Chairil dalam kartu pos bertanggal 8 Maret 1944 itu. (Tempo, 15 Agustus 2026).

Menurut Damiri, “Karakter Mela­yu Medan dalam puisi Chairil Anwar itu, 90 persen itu kata-katanya berasal dari bahasa Melayu Medan, sisanya dari Inggris dan Belanda.”  Ia mencontohkan penggunaan kata hambus pada larik sajak Perhitung­an: Sudah itu berlepasan  dengan sedikit heran/ Hambus kau aku tak peduli, ke Bandung, ke Sukabumi….!

Hambus artinya enyah kau. Na­mun karena banyak pengkaji Chairil tidak faham dengan kosa kata ham­bus, ada yang mengganti dengan kata hembus. Tentu saja artinya sangat berbeda. Selain itu, ada kata ”mengi­nyam”, ”menjengkau”, ”mereksmi”, ”sintuh”, ”mengelucak”, ”kupak”, ”se­kali tetak”, ”bermuka-muka”, ”sece­puh”, dan ”remang miang”. ”Chai­ril secara bersung-sungguh meng­goreskan kata, idiom dan simbol yang berasal dari kebudayaan Melayu dalam sebagian besar sajak­nya,” ujar Damiri.

Karakter bahasa Melayu Medan adalah  karakter  pantai yang egaliter, terbuka. Berbeda dengan Amir Ham­zah yang bertutur dengan bahasa Me­layu agak tinggi. Saat bahasa perca­kapan ala Melayu Medan yang egali­ter, terbuka, cenderung kasar, masuk dalam sajak-sajaknya, banyak sastra­wan dan pengkaji Chairil terkaget-kaget.

Maklum, masyarakat sastra sebe­lum­nya terbiasa dengan bahasa dan sastra gaya Pujangga Baru yang santun. Saat Chairil menulis: “Tolol, mampus kau dikoyak-koyak sepi,” banyak yang tak bisa terima.Diksi Chairil dianggap  tidak sopan. Chairil bahkan sempat dicap sebagai peru­sak bahasa.

Goenawan Mohamad bahkan per­nah menyebut  bahwa Chairil  adalah penyair tanpa tradisi. Atau ia adalah seorang penyair yang tradisi­nya hanyalah kesastraan Chairil Anwar: karena itulah yang ditu­ru­tinya seba­gai puisi sejak pertama kali.

Namun bagi Damiri, Chairil bukanlah si Anak Hilang atau si Malin Kundang. Ia tidak mem­bu­takan matanya dan menulikan te­linganya terhadap bahasa yang mem­bentuk  dan membesarkannya. Bah­kan Chairil secara mengejutkan mampu mengangkat, menge­tengah­kan, memodifikasi, memperbaharui bahasa budayanya itu, Melayu, lebih dari penyair mana pun, sekalipun Amir Hamzah.

Namun ini pula yang kerap dia­bai­­kan para empu sastra. Mereka tak mau bertungkus lumus belajar genre bahasa yang lahir dari rahim sebuah budaya yang telah meng­hidupi sikap kesenimanan seorang Chairil. (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi