Oleh: dr. Angela Fovina
PANU atau dalam bahasa medis disebut Pitiriasis Versikolor, yaitu “pitiriasis” yang berarti penyakit dengan sisik halus dan “versikolor”, artinya berbagai macam warna, merupakan penyakit kulit yang sering terjadi di sekitar masyarakat, terutama pada daerah tropis seperti Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh ragi, yaitu Malassezia spp, terutama Malassezia furfur. Sebenarnya, Malassezia merupakan spesies yang normal pada kulit manusia. Namun jika berubah bentuk menjadi miselia, akan menyebabkan panu.
Infeksi ini sering terjadi pada daerah tropis yang bersuhu panas. Di dunia, prevalensi angka pitiriasis versikolor mencapai 50% di daerah yang panas dan lembab dan 1,1% di daerah yang dingin. Sedang dii Indonesia, prevalensi yang akurat belum ada.
Penyakit ini dapat menyerang seluruh golongan umur, namun biasanya pada usia 16-40 tahun. Kemungkinan dikarenakan pada usia tersebut lebih banyak mengalami faktor pencetus seperti banyak keringat, suka memakai pakaian yang terlalu ketat, melakukan pekerjaan basah.
Penyakit panu akan memberikan gambaran klinis, tampak bercak berwarna putih, kemerahan, atau hitam berbatas tegas yang dilapisi sisik-sisik halus, terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, perut, lengan atas, dan tungkai atas.
Biasanya tidak ada keluhan, namun kadang dapat terasa gatal. Kadang kala, diperlukan pemeriksaan KOH 10% yaitu dengan cara mengerok bagian kulit yang dicurigai dan jatuhan kulit tersebut ditampung pada lempeng yang steril. Setelah itu, ditetesi KOH 10% dan diperiksa di bawah mikroskop.
Jika pitiriasis versicolor, maka akan tampak hifa yang pendek disertai dengan spora yang bergerombol atau gambaran seperti “spaghetti and meatball”. Pemeriksaan lain bisa dilakukan dengan menggunakan lampu Wood, yang akan memperlihatkan fluoresensi warna kuning keemasan.
Untuk menyembuhkan panu, selain pemberian terapi juga harus disertai dengan kebersihan, misalnya pakaian, kain sprei, handuk dicuci dengan air panas. Terapi yang diberikan ada 2 jenis, yaitu secara pengolesan dan konsumsi obat (jika secara pengolesan tidak respon, lesi yang luas, dan sering kambuh).
Terapi secara pengolesan yang dipilih adalah selenium sulfide 2,5% dengan cara dibiarkan selama 15-30 menit kemudian dibersihkan. Dilakukan 2-3 kali seminggu selama 2-4 minggu. Selenium sulfida ini memiliki kekurangan yaitu bau yang kurang sedap serta kadang bersifat iritatif, krim ketoconazole 2% dioleskan sekali sehari selama 2-3 minggu.
Konsumsi obat yang dipilih adalah ketokonazol 200 mg sehari selama 7-10 hari atau itrakonazol dengan dosis 200 mg sehari selama 5-7 hari. Itrakonazol memiliki efek yang lebih kuat daripada ketokonazol sehingga lebih disarankan untuk kasus yang sering kambuh atau tidak respon terhadap terapi lain. Untuk pencegahan, dapat dilakukan dengan selalu menjaga higienitas diri, hindari kulit yang terlalu lembab dan menghindari kontak langsung antar penderita.
Prognosis penyakit ini umumnya baik, namun biasanya berlangsung lama dan hilang timbul serta bila tidak diobati, lesi akan menetap dan meluas. Respon terhadap terapi umumnya baik, tapi pengobatan yang bersifat permanen sulit dicapai, dikarenakan penyakit ini memiliki faktor resiko yang biasanya sulit untuk dihilangkan, sehingga angka kekambuhan cukup tinggi.