Bekerja Sebagai Bekal Ibadah

Oleh: Sam Edy Yuswanto

SEBAGIAN orang mungkin beranggapan bahwa mereka bekerja siang dan malam sebagai bekal untuk ber­iba­dah kepada Sang Mahapencipta. Ang­gapan semacam ini me­mang ada be­narnya, tapi kalau menurut saya kurang te­pat. Karena pekerjaaan atau setiap ben­tuk aktivitas yang kita lakukan, pada ha­kikatnya bisa langsung bernilai ibadah bila kita selalu meniatkan untuk ber­ibadah dan menggapai ridha-Nya. Na­mun dengan catatan, selama jenis peker­jaan tersebut memang diperboleh­kan atau tidak berbenturan dengan ketentuan syariat.

Dengan kata lain, apa pun bentuk pro­fesi yang kita tekuni, selama itu diper­bolehkan dalam hukum agama, maka dapat bernilai ibadah jika kita meniatkan­nya sebagai amal ibadah. Misalnya, pro­fesi kita sebagai pedagang makanan dan minuman yang dihalalkan dalam ajaran syariat, maka hendaknya dalam mene­kuni profesi tersebut diniatkan untuk ber­ibadah meraih ridha-Nya. Selain itu, niat­kan juga untuk membantu sesama ma­nusia yang sedang membu­tuhkan ma­ka­nan dan minuman.

Ketika antara pekerjaan dan niat iba­dah disatukan, maka pada saat kita sedang be­kerja (hingga rasa lelah menyerang sekujur tubuh) maka atas izin-Nya kita mendapat dua hal sekaligus, yakni; uang hasil bekerja, dan pahala karena niat ibadah tersebut. Bahkan, rasa lelah akibat pekerjaan yang dilakukannya pun dapat bernilai pahala di sisi-Nya.

Bahkan, kelelahan usai bekerja dapat menjadikan gugur­nya dosa-dosa (kecil) yang pernah kita kerjakan. Sebagai­mana keterangan dalam sebuah hadits riwayat Thabrani, Rasulullah Shallallaahu ‘alai­hi wasallaam bersabda, “Barang siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang dilakukannya (pada pagi dan siang), maka pada sore itu dosa-do­sanya diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala (Kerja Itu Ibadah/Syamril/Mi­zania/2014).

Tentu saja masih dengan catatan, se­lama bekerja kita tidak meninggalkan pe­rintah-Nya dan berusaha menjauhi se­tiap hal yang dilarang oleh-Nya. Mi­sal­nya, di sela-sela bekerja, ketika waktu sha­lat lima waktu telah tiba, kita ber­henti sejenak untuk menunaikan ibadah yang akan men­datangkan ketenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Meraih Keberkahan

Selanjutnya, agar uang atau harta yang kita peroleh (dari hasil bekerja) tersebut dapat meraih keberkahan, maka ber­usahalah menggunakannya (tentu saja dengan tak lupa meniatkannya sebagai amal ibadah kepada-Nya) untuk hal-hal ber­manfaat dan bernilai ibadah. Misal­nya, untuk menaf­kahi anak dan istri, mem­biayai pendidikan anak, membantu pem­bangunan tempat-tempat ibadah, bersedekah kepada fakir miskin, meno­long tetangga atau saudara yang sedang mem­butuhkan uang, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, apa yang dimaksud de­ngan harta yang ber­kah? menurut pe­ma­haman saya, harta yang berkah dapat di­artikan sebagai harta yang akan selalu ber­tambah kebaik­annya jika digunakan un­tuk kegiatan-kegiatan yang ber­man­faat. Misalnya, sebagaimana sudah saya jelaskan sebe­lumnya, untuk bersedekah kepada fakir miskin, dan meno­long sau­dara yang sedang membutuhkan uluran per­tolongan dari kita.

Sebenarnya, makna “berkah” sendiri itu seperti apa, sih? Mungkin pertanyaan ini terbersit dalam benak sebagian orang. Secara singkat dan umum, KH Thon­tho­wi Djauhari Musaddad, selaku pe­nga­suh Pesantren Luhur Al Wa­si­lah, Rais Syuriyah PCNU Garut, mengu­rai­kan bahwa barokah atau berkah oleh para ulama yang mula-mula menye­bar­kan Islam di Indonesia disimbolkan de­ngan “ber­kat” atau oleh-oleh yang di­bawa dari acara hajatan atau tasyakuran. Di kalangan pesantren, barokah didefi­nisi­kan secara singkat dengan kata maje­muk “jalbul khoir” atau sesuatu yang dapat membawa kebaikan (NU Online/04/12/2007).

Sementara bila kita merujuk pada bahasa Arab, berkah disebut barakah, yak­ni kebaikan yang melimpah (al-khair al-wafir). Muslim yang mengucapkan salam berarti men­doakan hidup penuh ke­damaian, kasih sayang, dan keberkah­an. Hidup penuh berkah menjadi limpahan kebaikan dan selalu mendapat petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala (Muhbib Abdul Wahab/Khazanah Republika.co.id/26/03/2013).

Mendatangkan Kebahagiaan

Harta yang diraih dengan cara halal dan digunakan untuk hal-hal yang ber­manfaat, selain mendatangkan keberkah­an juga menghadirkan rasa bahagia di dalam jiwa. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ya, karena setiap hal baik pada hakikat­nya akan menimbulkan rasa tenteram dan bahagia di dalam hati kita. Logikanya seperti ini, ketika kita menolong orang lain yang sedang tertimpa kesusahan fi­nansial misalnya. Bia­sanya kita akan lang­sung memosisikan diri kita sebagai orang yang sedang kesusahan tersebut. Betapa susah dan sedihnya bila kita yang pada saat itu sedang berada dalam kesu­litan. Nah, pada saat itulah jiwa kita akan merasa terpanggil untuk membantunya.

Orang yang kita bantu, biasanya raut wajahnya akan mengekspresikan rasa syukur tak terhingga seraya mengucap kata terima kasih kepada kita. Dan itu akan menular kepada jiwa kita. Kita pun ikut tersenyum bahagia karena dapat mem­bantunya. Dari sinilah benih-benih ke­ba­hagiaan dalam jiwa kita muncul dan men­jadikan kita kelak lebih peduli saat me­lihat orang-orang yang sedang ter­timpa kesusahan. Semakin sering mem­bantu orang lain, semakin bahagialah jiwa kita.

Kesimpulannya, ketika kita terbiasa menggunakan harta (yang kita peroleh dari hasil kerja keras kita) untuk hal-hal kebai­kan dan bernilai ibadah, maka jiwa kita akan semakin merasakan kebaha­gia­an. Mari, mulai sekarang, saat kita se­dang beraktivitas atau bekerja, iringi de­ngan niat untuk beribadah dan meng­gapai keridhaan dari-Nya.***

*Penulis adalah alumnus STAINU Kebumen.

()

Baca Juga

Rekomendasi