Oleh: J Anto. PADA masa pendudukan Jepang (1942-1945), sejumlah organisasi kebudayaan dibentuk pemerintahan Jepang. Tujuannya mensponsori propaganda Jepang dalam mobilisasi dukungan rakyat Indonesia terhadap perang Jepang melawan Sekutu. Sejumlah seniman dan jurnalis terkemuka, bergabung dengan proyek itu. Apa untungnya bagi perkembangan kesenian dan media persuratkabaran kita?
Saat propaganda dimaksudkan sebagai kendali dan sensor, karena seniman dipaksa, dengan cara dibayar atau yang lainnya oleh pihak lain, misalnya negara atau korporasi besar, agar berkarya untuk mengikuti garis politik tertentu, tentu saja propaganda menjadi berbahaya.
Namun kalau propaganda adalah suatu kesadaran politik, atau politik dalam pengertian yang luas, maka setiap karya seni adalah propaganda. “Saya tidak percaya estetika bisa dipisahkan dari politik. Pandangan yang memisahkan estetika dengan politik adalah pandangan yang berbahaya, karena menumpulkan daya sosial dan daya ubah seni. Ini tidak ada hubungannya dengan kebebasan ekspresi seniman,” ujar Antariksa, dalam surel yang diterima Rabu (6/6).
Antariksa adalahsejarawan sekaligus kurator pameran seni pada kegiatan “3 ½ Tahun Bekerja: Seni dan Propaganda Pendudukan Jepang (1942 - 1945)”, yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta - Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di Teater Kecil Institut Kesenian Jakarta (IKJ), 7 – 10 Mei 2018 lalu. Kegiatan diisi simposium tetang seni dan media massa dengan studi kasus Majalah Djawa Baroe, art performance, pameran poster, pentas teater, dan pemutaran film.
Antariksa adalah pegiat budaya sekaligus pendiri Kunci sebuah lembaga kajian budaya di Yogyakarta. Lembaga ini aktif berkecimpung dengan produksi dan berbagi pengetahuan kritis melalui publikasi media, perjumpaan lintas disiplin, riset-aksi, intervensi artistik dan pendidikan, baik di dalam maupun antara ruang-ruang komunitas.
Menurut Antariksa, selama Perang Asia Pasifik (1937-1945) pemerintah Jepang menjalankan beragam taktik guna memobilisasi manusia dan sumber daya material bagi kampanye militer dalam skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Jepang. Organisasi kedaerahan, asosiasi profesi, dan unit-unit baru yang memungkinkan mobilisasi bantuan dan keterlibatan warga dalam perang didirikan. Seni juga dilibatkan dalam proyek ini.
Pemerintah Jepang membentuk beberapa organisasi propaganda yang bergerak melalui radio, film, surat kabar, dan seni. Misalnya Jawa Hoso Kanrikoru (Biro Pengawas Siaran Jawa), Jawa Shinbunkai (Perusahaan Surat Kabar Jawa), Nihon Eigasha Nichi’ei (Perusahaan Film Jepang), dan Jawa Engeki Kyokai (Perserikatan Usaha Sandiwara Jawa).
Dua organisasi lain dengan skala mobilisasi yang lebih luas dibentuk pada 1943: PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan Keimin Bunka Shidosho (Institut Pemandu Pendidikan dan Budaya Rakyat, atau disebut juga Pusat Kebudayaan).
Ledakan Seniman
Sejumlah seniman terkemuka Indonesia seperti Affandi, Sudjojono, Agus Djajasoentara, Oto Djajasoeminta, Barli, Hendra Gunawan, Emiria Soenasa, Basuki Abdullah, Oetojo, dan Armijn Pane menurut Antariksa bekerjasama dalam proyek proganda ini.
Tak terkecualidi kalangan jurnalis. Menurut Ignatius Haryanto, peneliti media dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta, para jurnalis Indonesia awal revolusi atau mereka yang kemudian menjadi para pendiri suratkabar awal setelah Indonesia merdeka terlibat dalam proyek ini. Mereka di antaranya BM Diah, Rosihan Anwar, Adi Negoro, dan Mochtar Lubis.
Ada beragam alasan soal keterlibatan seniman. Di antaranya keberhasilan Jepang melakukan negosiasi dengan Soekarno, kemudian melibatkan dia dan tokoh politik kunci Indonesia lainnya dalam organisasi-organisasi propaganda Jepang.
Pemerintah Jepang juga menyediakan cat minyak, kanvas, studio, dan bahkan model secara cuma-cuma bagi seniman Indonesia yang bergabung dengan proyek Jepang. Kursus-kursus melukis bersama guru-guru Jepang dan pelukis terkemuka Indonesia diselenggarakan di berbagai kota.
Begitu juga pameran, lomba, dan pemberian penghargaan. Semua keistimewaan dan kemewahan itu, selama masa pendudukan Belanda hanya bisa dinikmati oleh seniman dan kelompok teratas dalam masyarakat. Tidak mengherankan selama periode singkat pendudukan Jepang terjadi ledakan jumlah seniman di Indonesia.
Para seniman Indonesia bekerja bersama lebih dari 100 orang ahli dan profesional terkemuka dari Jepang yang dikirim untuk tinggal dan bekerja di Indonesia, misalnya Takashi Kono (desainer grafis), Rintaro Takeda (sastrawan), Seizen Minami (pelukis), Saseo Ono (karikaturis), Soichi Oya (penulis, wartawan), Eitaro Hinatsu (sutradara film), Miyamoto Saburo (pelukis), dan Ryohei Koiso (pelukis).
Banyak Belajar
“Dari situ, seniman kita juga mempelajari banyak gaya dan teknik baru dalam membuat karya seni. Saseo Ono umpamanya, memperkenalkan mural kepada seniman-seniman Indonesia,” katanya. Maret 1942, tiga hari setelah mendarat di Jawa, Saseo Ono membuat mural Bersatulah Bangsa Asia di Serang, Banten.
Ono juga mendorong seniman-seniman Indonesia untuk belajar membuat sketsa cepat di luar ruangan, memperkenalkan teknik animasi stop motion (misalnya dalam film berita tentang propaganda menabung, 1943) dan juga teknik pembuatan film boneka (Pak Kromo, 1943). Contoh lainnya adalah desainer Takashi Kono. Selain menjadi pengarah desain untuk sejumlah media massa di Indonesia, dia juga memperkenalkan teknik kolase dan montase pada desain dan fotografi kepada seniman-seniman Indonesia.
Hasil riset Antariksa itu, memerlihatkan hubungan seni dan propaganda, berbeda dengan pemahaman barat yang cenderung menyederhanakan dan melihat negatif hubungan propaganda dan seni. Propaganda cenderung dilihat sebagai mesin yang bergerak satu arah: yang pertama mengendalikan yang kedua, propaganda perang menguasai seni sepenuhnya.
Pandangan seperti itu dinilai gagal memahami jiwa dan cara kerja propaganda Jepang, karena terpusat pada stereotip sifat masyarakat Jepang dan kebudayaan timur sebagai masyarakat bermental budak yang mengabdikan hidup kepada raja.
“Propaganda Jepang bisa bekerja secara efektif bukan karena ia bisa menyampaikan pesan yang tepat kepada masyarakat, melainkan seringkali propaganda itu berasal dari masyarakat, propaganda bisa merengkuh hati dan jiwa masyarakat.”
Di Indonesia, bias seperti ini juga terjadi. Seniman dan pihak yang menerima proyek propaganda Jepang dianggap sebagai golongan kolaborator dan yang menolak ‘kontra’. Penerimaan secara hitam-putih seperti itu, menurutnya, lepas dari kompleksitas sejarah yang ada.
“Misalnya begini, Pusat Tenaga Rakyata dalah organisasi bentukan militer Jepang dan mereka menunjuk Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansoer. Apakah kita akan melihat mereka sebagai pro dan kolaborator Jepang?” ujar Antariksa.
Alih-alih menyederhanakan persoalan hitam-putih, ia cenderung memahami situasi saat itu sebagai “saling memanfaatkan”. Jepang memanfaatkan orang-orang Indonesia, begitu sebaliknya.
Membaca dan Menafsir
“Masa lalu mesti terus-menerus kita baca dan kita tafsirk kembali,” katanya. Dalam kasus sejarah pendudukan Jepang, ia ingin dengan sumber-sumber dokumen yang baru dan berbeda, bisa dipahami dengan dengan perspektif yang lebih kaya dan beragam.
Untuk dunia seni, khususnya bagi penulisan sejarah seni Indonesia, ia ingin menunjukkan bahwa periode pendudukan Jepang, telah memainkan peran sangat penting dan menciptakan landasan pertumbuhan seni di Indonesia pada masa-masa berikutnya.
“Periode yang pendek ini, telah menyediakan kesempatan bagi transfer dan akuisisi (pengambilalihan) pengetahuan dan keterampilan baru dalam praktik berkesenian, juga menunjukkan suatu model tentang hubungan antara seni dan politik,” kata penulis buku Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Ripa - Lekra, 1950-1965 itu.