Oleh: Churmatin Nasoichah. Nusantara ini terbentuk dari kisah-kisah masa lalu. Berbagai peristiwa penting terjadi di masa lalu. Baik yang tercatat maupun hanya diceritakan lisan secara turun temurun. Kisah yang diceritakan secara lisan tentunya memiliki nilai keakuratan perlu untuk dikaji lebih dalam lagi. Karena tidak dijumpai adanya bukti otentik untuk memastikan kebenaran dari cerita. Berbeda dengan kisah atau informasi yang dituliskan melalui sebuah tulisan, bisa dikatakan memiliki nilai keakuratan yang lebih tinggi. Walaupun masih perlu juga untuk dikaji lebih dalam lagi.
Sebenarnya kebiasaan menulis sudah diwariskan oleh nenek moyang kita sejak jaman dulu. Sekitar abad 4 Masehi, nusantara telah mengenal bentuk tulisan yang berupa aksara Palawa. Tertulis pada 7 buah Prasasti Yupa, ditemukan di Kalimantan Timur. Aksara Palawa tersebut berasal dari India Selatan, sehingga bahasa yang digunakan juga menggunakan bahasa berasal dari daerah asalnya, bahasa Sansekerta.
Dalam perkembangan dan persebarannya, mulai dikenal beberapa aksara-aksara nusantara. Di antaranya aksara Jawa Kuno, Bali Kuno, Sunda Kuno dan Melayu Kuno.
Di Sumatera Utara, masyarakatnya juga sudah mengenal beberapa bentuk aksara di masa lalu. Pada sekitar abad 11-14 Masehi beberapa prasasti beraksara Melayu Kuno dan beraksara Batak banyak ditemukan. Terutama di wilayah percandian Padang Lawas. Bersamaan dengan biaro-biaro disana, membawa pengaruh Hindu-Buddha di wilayah tersebut.
Prasasti-prasasti itu di antaranya, Prasasti Tandihat 1, Prasasti Tandihat 2. JUga ada Prasasti Lokanatha, Prasasti Batu Gana, Prasasti Sitopayan dan beberapa prasasti lainnya. Umumnya prasasti-prasasti, dituliskan pada sebuah batu yang dipahat.
Dalam perkembangan selanjutnya, aksara Batak sangat dominan digunakan. Terutama bagi para etnis Batak yang tersebar di hampir seluruh wilayah Sumatera Utara. Mulai dari sub-etnis Mandailing, Angkola, Toba, Simalungun, Karo, Dairi dan Pakpak.
Tidak hanya dituliskan pada sebuah batu. Beberapa aksara Batak lainnya, banyak dituliskan pada sebuah media berupa bambu, pustaha laklak, tulang binatang maupun pada bangunan-bangunan kayu. Aksara-aksara Batak, di masing-masing sub-etnis memiliki beberapa perbedaan bentuk namun tidak terlalu signifikan.
Satu hal persamaan antara aksara Melayu kuno dan aksara Batak, keduanya sama-sama turunan dari aksara Palawa. Keduabya memiliki pola penulisan yang sama. Sama-sama memiliki bentuk huruf ina ni surat dan anak ni surat.
Uli Kozok -yang banyak meneliti tentang aksara-aksara Batak- dalam salah satu tulisannya menyebutkan, aksara Batak diklasifikasikan sebagai abugida. Paduan antara silabogram dan abjad. Sebuah abugida terdiri dari sebuah aksara yang melambangkan dari konsonan, sementara vokal dipasang pada aksara sebagai tanda diakritik.
Selain dua bentuk aksara yang menjadi turunan aksara Palawa, di Sumut juga mengenal aksara Arab dan aksara Arab-Melayu. Berbeda dengan aksara turunan Palawa yang menyertakan pengaruh Hindu-Buddha di dalamnya. Aksara Arab dan Arab-Melayu sangat kental dengan pengaruh Islamnya.
Dengan adanya berbagai jenis makam Islam berinskripsi menggunakan aksara Arab, banyak ditemukan di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah. Menunjukkan sebagian masyarakat di Sumatera Utara pada masa lalu telah mengenal aksara Arab. Selain itu di Sumatera Utara juga ditemukan beberapa kitab Arab-Melayu. Kini menjadi koleksi Museum Negeri Sumatera Utara.
Kolonialisme masuk ke nusantara terutama di Sumatera Utara, membuat wilayah tersebut juga mendapat pengaruh dari budaya Eropa. Termasuk juga penggunaan aksara Latin. Akhirnya latinlah sampai saat ini terus digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Sumatera Utara dan nusantara pada umumnya.
Banyak naskah-naskah dan dokumen-dokumen penting berbahasa Belanda, Jerman dan Inggris ditemukan tersebar di wilayah Sumatera Utara. Dokumen itu menyertakan juga pengaruh kristen di Sumatera Utara.
Salah satu contoh dokumen penting dari masa lalu, alkitab (bibel) yang memiliki angka tahun 1666. Alkitab berukuran 43 x 28 cm dengan tebal kurang lebih 15 cm dan berbahasa Jerman. Alkitab ini kini disimpan di salah satu rumah pendeta Gereja HKBP Si-pirok, Tapanuli Selatan. Memiliki sampulnya terbuat dari papan kayu dilapisi dengan kulit binatang. Dikuatkan lagi dengan lapisan tembaga.
Pada kulit binatang tersebut terdapat motif-motif tanaman dan sulur-ulur. Sedangkan lembarannya diikat dengan tali tambang yang kemudian dililit dengan tali.
Begitu beragamnya tinggalan-tinggalan arkeologi di Sumatera Utara. Berupa tulisan dengan berbagai bentuk aksara, menjadikan Sumatera Utara sebagai wilayah yang sudah mengenal literasi sejak jaman dulu. Tidak hanya budaya lisan yang berkembang di wilayah ini. Budaya tulis-menulis juga sudah dikenal sejak jaman dulu. Setidaknya sebagian masyarakat di Sumatera Utara sudah melek aksara.
Berharap ke depannya, sebagai generasi muda perlu untuk terus mengenal dan melestarikan tinggalan literasi nenek moyang kita. Caranya mempelajari beberapa bentuk-bentuk aksara, agar tidak punah dan tergerus jaman. Banyak hal-hal di dalam naskah-naskah ini patut dipelajari dan patut untuk diterapkan. Salam Literasi.