Ketika Batu Itu Merapat

Oleh: Fadmin Prihatin Malau. Petang ini seperti petang-petang kemarin, mentari perla­han jatuh ke balik Pulau Samosir menandakan petang telah tiba. Birunya air Danau Toba dilapisi warna merah tembaga. Seruni, gadis berambut panjang, berkulit sawo matang, menandang lepas ke Pulo Samosir.

Ketinggian tem­pat Seruni du­duk di gubuk bam­bu berteman­kan seekor an­jing bernama Toki. Seruni melepas kelelahan setelah mencangkul tanah di pebukitan un­tuk ditanam gadong[1] dan ca­bai.

Porlak[2] milik orangtuanya itu tidak be­gitu luas, tapi cukup un­tuk memenuhi kebutuhan sa­yuran dan penganan buat keluar­ga. Porlak terletak di pebukitan itu, sangat nyaman, sebab angin berhembus tak henti-hentinya. Tempat tinggal Seruni di bawah perbukitan porlak itu, di tepi Da­nau Toba, sebuah desa kecil di te­pi danau.

Suami-istri, Hotman dan Tiur memiliki seorang anak perem­puan bernama Seruni. Hotman dan Tiur tidak sendiri di desa ke­cil di tepi Danau Toba itu. Ada beberapa keluarga yang hi­dup bersama dalam satu Lum­ban[3]. Beberapa rumah adat Ba­tak saling berhadapan dan dike­lilingi tanaman pohon bambu.

Mentari petang perlahan ma­suk ke balik Pulau Samosir. Ca­hayanya semakin redup dan biru­nya air Danau Toba yang ditatap Seruni dari ketinggian bukit. Per­lahan berganti dengan warna me­rah tembaga sebagai pertanda pe­tang akan berlalu.

Seruni membersihkan cang­kul, berkemas meninggalkan por­lak, pulang ke rumahnya menyusuri jalan setapak menuju tepi Danau Toba. Seruni harus me­ninggalkan Porlak sebelum mentari petang sempurna hilang di balik Pulau Samosir. Bila men­tari menghilang di balik Pulau Samosir, Seruni akan kesulitan menuruni jalan setapak menuju rumahnya sebab sudah gelap.

Toki sang anjing bersiap-siap menuntun jalan bagi Seruni me­nuruni bukit sampai di Lumban tempat tinggalnya. Senja tiba, Seruni sampai di tangga rumah.

“Sudah pulang kau, Seruni,” sapa Tiur.

“Sudah Mak,” jawab Seruni singkat. Dia langsung ke dapur menghantarkan gadong dan jagung.

“Bah, banyak juga gadong itu kau bawa, Seruni,” ucap Hotman melihat Seruni mengeluarkan isi karung yang dibawanya.

“Iya, Bapak. Lumayan juga, jagung juga ada,” kata Seruni sambil menyusun jagung itu di de­kat tungku memasak.

Senja berlalu, malam pun tiba. Alam gelap gulita. Cahaya lampu minyak di depan rumah adat Ba­tak memecahkan kegelapan ma­lam bersama suara deburan om­bak Danau Toba.

Dari jendela rumah adat Ba­tak, Seruni menatap gelapnya Da­nau Toba, kerlap-kerlip caha­ya di kejauhan, satu pertanda da­ri cahaya itu di sana ada lum­ban. Seruni tahu persis lumban itu. Di sana ada seorang pemuda bernama Togar. Sudah dua pekan Seruni tidak bertemu Togar. Su­dah dua pekan pula Seruni tidak ke onan[4]. Seruni biasanya ber­temu Togar bila ke onan.

Apakah Togar di Lumban itu? Hati Seruni bertanya. Rindu un­tuk bertemu dengan Togar, tapi rasa rindu itu harus dipendam da­lam-dalam. Besok Seruni akan ke onan sebab gadong, jagung dan cabai akan dibarter[5] dengan sandang.

Kembali Seruni menatap kerlap kerlip cahaya di kejauhan itu dan tersenyum bahagia sebab besok akan bertemu Togar. Se­runi bergegas ke ruang tengah. Di sana bapak dan ibunya sudah duduk di atas tikar pandan meng­hadap hidangan. Ikan mas bakar dan nasi putih panas tersedia.

“Mengapa lama sekali kau Se­runi berada di jendela itu. Mari makan, nanti kau terlambat ma­kan, bisa masuk angin kau,” kata Tiur ketika Seruni mendekat ke ruang tengah.

Seruni hanya tersenyum.

“Betul, kata mamak kau itu. Jangan banyak kali melamun, tak baik buat anak gadis seperti kau melamun, Seruni,” kata Hotman menimpali.

Seruni diam, duduk di atas ti­kar pandan di antara mamak dan bapaknya. Menatap mamak­nya membuat nasi ke piring un­tuk bapaknya dan menyerahkan kepada bapaknya. Bila sudah begitu tidak ada lagi waktu untuk berbicara, hanya menanti bapak­nya memimpin doa untuk makan.

Usai berdoa, mereka bertiga menyantap makanan. Sekilas ter­lintas wajah Togar dalam benak Seruni. Berusaha membuang bayangan wajah itu dari benak­nya. Seruni tak ingin dikatakan orangtuanya makan sambil me­lamun.

Tidak baik dan dilarang ma­kan sambil melamun untuk anak gadis seperti dirinya. Seruni ingin menunjukkan kepada orangtuanya bahwa dirinya ma­kan dengan lahap. Seruni terus berusaha apa lagi ketika bapak dan mamaknya melirik Seruni ketika menyuap nasi.

Ketika makan selesai, Hot­man menatap Seruni dalam-da­lam. Seruni yang ditatap demi­kian menyadari bakal ada yang akan dikatakan bapaknya. Seruni menebak-nebak, apa yang bakal dikatakan bapaknya. Apakah ma­sih seperti kemarin-kemarin memberikan teguran kepada diri­nya sebab makan melamun.

“Seruni,” suara Hotman me­me­cah keheningan malam di ru­mah itu. Seruni terkesima dan mena­tap sekilas bapaknya dan menunduk.

“Kamu sudah dewasa, Seruni. Sudah waktunya untuk meni­kah,” ucap Hotman lagi sambil menggulung tembakau di daun jagung kering.

Tersentak Seruni mendengar perka­taan untuk menikah. Me­mang Seruni sudah lama mengim­pikan menikah. Gadis-gadis seba­yanya di lumban itu sudah banyak yang menikah dan sudah ada yang memiliki anak. Ada rasa senang di hati Seruni mendengar perkataan bapaknya. Tiba-tiba ada kecemas­an menghinggapi dirinya, dengan siapa dirinya akan menikah?

“Bagaimana menurutmu, Seru­ni. Kau sudah siap untuk menikah?” kata Hotman lagi bertanya pada Seruni.

Seruni tidak menjawab, tetapi mengangguk perlahan. Mamaknya yang disampingnya tersenyum ke­tika melihat Seruni mengangguk pasti.

“Bapak dan ibumu sudah sepa­kat, kami mau menikahkanmu pada Si Husor. Kau tahukan Si Hu­sor itu, pariban[6]-mu yang ada di lumban ini,” kata Hotman man­tap Seruni.

Seruni terkesima, ingin rasanya membantah, tapi tak memiliki ke­kuatan untuk membantah. Seruni sadar, tidak boleh membantah ke­inginan orangtua, apa lagi perintah untuk menikah. Terlebih lagi pe­rintah menikah itu dengan pariban yang sudah ditentukan secara adat, harus diterima, nanti dikatakan ti­dak beradat.

Semalaman Seruni tak mampu memejamkan matanya. Seruni se­dih karena dijodohkan dengan pa­ribannya. Bapak dan mamaknya ti­dak salah karena begitu kata adat. Seruni berusaha menerima keten­tuan adat. Hatinya menolak. Seruni tak sedikit pun mencintai si Husor. Seruni bingung, mengapa adat tak bisa dibantah, mengapa adat tidak memberi ruang untuk memilih.

Bapaknya tidak salah, secara adat dirinya harus menikah dengan paribannya. Seruni berusaha mene­rima kenyataan, walau, jiwanya berontak. Seruni bingung mengapa dirinya menyukai Togar. Mengapa ada benih-benih cinta di hatinya ke­pada Togar. Mengapa benih-be­nih cinta itu tidak ada sama Si Husor.

Dalam kesedihan, Seruni terti­dur sejenak, kemudian tersentak dari tidurnya. Hari telah pagi.

 “Seruni, kau jangan lupa hari ini hari onan. Kau pergilah ke onan, bawa gadong, jagung dan cabai itu untuk dibarter dengan kain,” kata Tiur, wanita setengah baya itu mengingatkan anaknya yang masih bermalas-malasan.

“Iya, Mak. Sebentar lagi Seruni ke onan,” balasnya perlahan.

Seruni tak memiliki semangat untuk ke onan, terus teringat per­kataan bapaknya mau dinikahkan pada pari­bannya. Seruni teringat si Togar yang bakal bertemu di Onan sebagai tempat bertemunya para muda-mudi.

Seruni dan melangkah menuju onan, membawa barang-barang yang bakal dibarter. Langkah Se­runi begitu berat menuju onan, tak sanggup bertemu si Togar. Seruni tak ingin dikatakan gadis ingkar janji. Akhirnya langkah Seruni terhenti dan berbalik arah.

Seruni melangkah perlahan tapi pasti menuju porlak tempatnya ber­cocok­tanam di pebukitan dengan pa­norama keindahan Danau Toba. si Toki, bingung melihat tuan pu­trinya berbalik arah, tidak jadi ke onan.

Hilang semangat hidup Se­runi. Alam Danau Toba yang in­dah tak mampu mengemba­likan semangat hidupnya. En­tah dorongan dari mana mem­buat Seruni melangkah menuju ke arah tebing terjal di te­pi jurang Danau Toba.

Sambil membentangkan kedua tangannya seperti orang hendak terbang layang dan kemudian memekik sekuat tenaga memecahkan kesunyi­an alam. Tiba-tiba saja Seruni terperosok ke dalam sebuah lu­bang besar, hingga masuk ke dasarnya.

Seruni tersadar dan minta tolong. Tidak ada orang men­dengar kecuali si Toki sang an­jing yang secara cepat ber­usaha menolong tuan putrinya. Seruni terus minta tolong dan sang anjing terus berusaha menolong tetapi tidak berhasil. Seruni berputus asa. Teringat kembali dirinya akan dinikah­kan pada paribannya, si Husor. Seruni lemas dan memilih le­bih baik mati di dalam lubang itu.

Parapat… parapat ma batu! Parapat ma batu!” seru Se­runi. Berulangkali agar din­ding batu yang ada di dalam lu­bang itu semakin merapat dan menghimpit tubuhnya. Tiba-tiba saja dinding-dinding lubang di bukit itu bergerak me­rapat menjepit tubuh mu­ngil gadis cantik, Seruni.

Melihat kejadian itu si Toki berlari ke rumah tuanya me­minta bantuan. Si Toki segera menghampiri orangtua Seruni dengan menggonggong, men­ca­kar-cakar tanah dan mondar-mandir di sekitar majikannya, si Toki berusaha memberita­hu­kan Seruni dalam keadaan ba­haya.

Orangtua Seruni sadar apa yang sedang diisyaratkan si Toki. Dia segera beranjak me­ngikuti langkah si Toki berlari menuju porlak di atas bukit. Bukan saja orangtua Seruni, tapi diikuti penduduk Lumban.

Ketika kedua orangtua Se­runi dan penduduk Lumban sampai di tepi lubang mende­ngar suara sayup-sayup Seruni yang ada di dalam lubang, “Parapat, parapat ma batu,” suara Seruni berulangkali dan menghilang.

Orangtua Seruni dan pen­du­duk Lumban tidak bisa men­jangkau tubuh Seruni. Lubang terus mengecil karena batu din­ding lubang merapat menjepit tubuh Seruni.

Begitu lubang tertutup rapat terjadi goncangan dahsyat, mem­buat lubang semakin me­ra­pat dan tertutup dengan sen­dirinya. Seruni di dalam lubang akhirnya terhimpit dan tidak dapat diselamatkan.

Beberapa saat setelah gem­pa berhenti, di atas lubang ter­tutup itu muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh se­orang gadis yang seolah-olah meng­gantung pada din­ding tebing di te­pi Danau To­ba. Orang-orang yang melihat kejadian itu mempercayai batu itu adalah penjelmaan dari Seruni. Kemudian menamainya sebagai “Batu Gantung” Parapat.

Seruni berulangkali berucap “Pa­rapat, parapat ma batu” ka­rena ucapan Seruni yang terakhir didengar penduduk Lumban “Parapat, parapat, dan parapat” pen­duduk lumban di daerah di sekitar Batu Gantung itu mem­beri na­ma Pa­rapat.

Catatan Kaki;

1. Gadong bahasa Batak bermakna ubi, umbi-umbian. manggadong, makan ubi, makan. masigadong, tu gadong, meng­am­bil ubi ke ladang. Pargadong hau, ubi kayu.

2. Porlak bahasa Batak Toba bermakna dua petak kebun. Mamarik porlak artinya mem­buat galangan tembok kebun.

3. Lumban bahasa Batak bermakna kampung. Lumban orang yang tinggal bersama dalam satu daerah yang masih bertalian darah atau semarga

4. Onan bahasa Batak ber­makna pasar atau tempat ber­transaksi jual beli pada hari-hari tertentu pada satu tanah lapang.

5. Dibarter artinya dipertukar­kan, barang dengan barang de­ngan jenis barang yang berbeda tetapi memiliki nilai yang sama. Sayuran dengan beras atau beras dengan daging.

6. Pariban adalah pasangan hidup yang ideal dalam adat Ba­tak Toba, yakni antara seorang pria dengan Boru ni Tulang (putri saudara laki-laki ibu). Sebalik­nya antara perempuan dengan Anak ni Namboru (putra saudara perempuan ayah). Konon Boru Batak dulu tidak bisa menolak jika pariban sudah memilihnya menjadi pasangan hidup. Tapi, kini zaman sudah berubah. Pe­nolakan lamaran pun banyak terjadi.

()

Baca Juga

Rekomendasi