Oleh: War Djamil.
SISI positif dari kemerdekaan pers di dunia antara lain tiada sensor dan bredel serta larangan siaran. Di Indonesia, Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (baca : UU Pers) menyatakan dengan gamblang dalam pasal 4 ayat 2 : “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran”.
Pasal-1 UU Pers dalam butir-9 menyebut, pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
Sedangkan dalam butir-8 tertulis: Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Pada masa lalu, sangat populer sebutan “budaya telepon” dari pihak-pihak tertentu dan ketika masih ada Departemen Penerangan RI, momok yang sangat menghantui media cetak yakni berdering telepon dengan pesan khusus agar berita ini/berita itu tidak dimuat serta jika terjadi kekeliruan dalam pemberitaan, bukan mustahil izin terbit dicabut sehingga penerbitan terhenti.
Mengapa itu terjadi ? Pada waktu itu memang diberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) lalu berubah menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang diawasi langsung Departemen Penerangan RI. Namun setelah berlaku UU Pers Nomor 40/1999 ini, sampai sekarang hal semacam itu tidak terjadi.
Hal yang masih mencuat, bagaimana jika terjadi pelanggaran atas Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Atau terjadi penyimpangan atas UU Nomor 40/1999. Atau, pers masuk ranah hukum seumpama pencemaran nama baik dengan pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau penghinaan dengan pasal 311 KUHP?.
Hal prinsip yang patut dipertahankan adalah penegak hukum harus taat pada pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40/1999 ini. Artinya, tiada sensor, tidak ada bredel dan tiada pelarangan penyiaran. Kalimat sederhana lain: Media itu tidak ditutup seperti terjadi pada masa pemerintahan terdahulu.
Sebab, kalau masuk ranah hukum, sejak diproses pihak kepolisian, lalu kejaksaan hingga sampai ke pengadilan, pihak media itu diwakili oleh penanggungjawab. Bahkan dalam pasal 12 UU Pers dengan jelas menyebut “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan”.
Dalam kasus pers, tentu penanggungjawab yang akan hadir di depan penegak hukum guna mempertanggungjawabkan isi media atau konten yang menjadi delik pers. Untuk itu, ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi terkait dengan figur penanggungjawab media. Pertama, seseorang yang dipercayakan atau ditugaskan sebagai penanggungjawab memang figur yang memiliki kompetensi untuk itu. Artinya, memiliki kemampuan dan keterampilan jurnalistik. Kedua, figur tersebut juga mengetahui/memahami peraturan-peraturan yang terkait pers secara maksimal, sehingga kalau terjadi delik pers mampu dihadapi.
Nah, kehadiran pasal 4 ayat 2 UU Pers ini makin jelas sejalan pasal 12 UU Pers. Kalau terjadi pelanggaran atau penyimpangan, bukan media yang diberedel, melainkan penanggungjawab media itu yang dipanggil untuk bertanggungjawab. Prosedur hukum patut dilalui secara fair. Mungkin diawali Hak Jawab dan atau permintaan maaf dari media. Atau, memang langsung masuk ranah hukum hingga ke meja hijau di pengadilan. Silakan saja.
Ini bermakna : Kalau terjadi pembredelan, tentu akan terjadi pemutusan hubungan kerja. Wartawan dan karyawan media itu akan menganggur. Berakibat negatif bagi rumahtangga mereka. Karena dalam proses hukum fokusnya pada figur penanggungjawab, maka kelangsungan hidup media tetap berlanjut.
Publik juga diminta memahami ketentuan ini. Jika ada masalah pemberitaan, foto dan atau tulisan serta iklan, hendaknya ditempuh ketentuan yang berlaku. Tidak usah demo dengan spanduk minta media itu ditutup. Sebab, pasal 4 ayat 2 UU Pers melindungi pers dari pembredelan.
Kalau kita kembali ke masa lalu. Pernah beberapa kali pers nasional terkena bredel. Itu akibat pemberitaan yang sebenarnya kenyataan (= fakta), tetapi pemerintah saat itu tidak ingin diberitakan. Kini, meski tiada bredel, tentu saja pers nasional tidak sembarangan. Pemberitaan tetap harus mengacu pada UU yang berlaku serta berpedoman pada KEJ. Ketentuan semacam ini sesungguhnya bukan hanya di Indonesia. Di mancanegara, diberlakukan hal serupa, sebagai bagian dari kemerdekaan pers.