Budaya Konsumtif Menjelang Lebaran

Oleh: Normansyah Lubis, SE, M.Si.

Pusat-pusat perbelanjaan seperti pasar tradisonal dan modern mulai ramai dan menjadi sangat ramai, itulah salah satu fenomena khas yang terjadi di perte­ngahan bulan Ramadan dan menjelang Idul Fitri atau yang dikenal dengan lebaran. Ramainya pusat perbelanjaan sudah nampak mulai dari area depan pusat perbe­lanjaan, tempat parkir kendaraan penuh, dan bahkan aktivitas berbelanja yang berdesakan.

Terdapat kesamaan aktivitas masya­rakat di tempat-tempat perbelanjaan tersebut, yaitu memenuhi kebutuhan Idul Fitri atau lebaran.Kebutuhan utama bagi masyarakat saat Idul Fitri adalah pakaian baru.Idul Fitri telah identik dengan menggunakan pakaian baru, bahkan sam­pai ada istilah kalau tidak menggu­nakan pakaian baru maka belum merasakan namanya Idul Fitri.Apakah benar saat merayakan Idul Fitri harus menggunakan pakaian baru? Tentunya hal tersebut tidak benar.Entah darimana dimulainya tradisi Idul Fitri dengan pakaian baru, namun perilaku Idul Fitri harus menggunakan pakaian baru jelas menunjukkan perilaku konsumtif.

Masyarakat Indonesia memang sudah dikenal sebagai masyarakat konsum­tif.Saat barang-barang yang dimiliki masih berfungsi, tetapi ketika produk terbaru keluar maka terdapat kecende­rungan untuk membeli produk baru. Da­sarnya adalah mengikuti per­kem­bangan terbaru atau trend dan memiliki kekuatan finansial untuk membelinya tanpa terlalu mem­pertimbangkan fungsi dasarnya.

Kecenderungan perilaku kon­sumtif ini juga dilakukan oleh orang-orang yang ke­kuatan finansial­nya tidak mema­dai.Bahkan demi mendapatkan produk terbaru, mereka sampai berhutang. Karak­teristik tersebut jelas meng­gambarkan bagaimana konsum­tifnya masyarakat kita.

Masyakarat juga tidak terlalu sadar, bahwa setelah lebaran masih ada kebu­tuhan hidup yang harus dipenuhi. Bagi mereka yang cermat, akan menyisa­kan rejeki tunjangan hari raya yang diperoleh untuk menabung atau dana cadangan ke­butuhan mendesak. Namun apakah semua masyarakat kita berpikir seperti itu.

Di tahun ini, lebaran juga disertai de­ngan tahun ajaran baru pen­didi­kan. Tentunya pengeluaran masyarakat untuk menyekolahkan anak dan meme­nuhi ke­butuhan yang berkaitan dengan pendidi­kan juga tinggi.Hal ini perlu dicermati dan disiapkan masyarakat, jangan sampai mengutamakan membeli barang-barang baru untuk dipakai saat Idul Fitri tetapi kebutuhan utama pendidikan anak terbeng­kalai.

Budaya konsumtif

Lahirnya masyarakat konsumtif merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pemegang otoritas keaga­maan. Pencitraan diri (self-identity) yang selama ini seringkali dinisbahkan pada nilai-nilai agama, telah mengalami pergeseran yang luar biasa dalam masyarakat konsumtif.

David Loy, seorang filosof, menggam­barkan bahwa upaya untuk menjawab pertanyaan fundamental tentang makna hidup sudah tidak lagi didominasi oleh agama, akan tetapi sudah digan­tikan oleh definisi para produsen tentang kenya­manan dan imajinasi manis yang ditawarkan oleh berbagai produknya.

Kepemilikan terhadap produk-produk tertentupun sudah dijadikan landasan untuk mengukur tinggi-rendahnya status sosial seseorang di masyarakat.Tak heran apabila kemudian yang dijadikan sebagai falsafah hidup adalah, memodifikasi istilah Descartes, “I shop, therefore I am”, saya berbelanja, maka saya ada. Pendek kata, eksistensi manusia diukur hanya dari apa yang dimiliki. Bahkan, pada tingkatan yang lebih ekstrem, identitas diri seakan-akan sudah menyatu dan tidak bias dipisahkan dengan berbagai merek produk dan model tertentu.

Memang, tingkat konsumerisme masyarakat kita belumlah sampai pada taraf ekstrem tersebut, akan tetapi indikasi bergeraknya masya­rakat ke arah sana sudah bisa kita amati, terutama pada kalangan menengah ke atas. Ancaman akan munculnya berbagai dampak negative dari perilaku konsumtif pun bisa menimpa masyarakat kita.

Dalam khazanah ilmu penge­tahuan kontemporer, sorotan terha­dap dampak negatif dari perilaku konsumtif sebenar­nya sudah banyak dikaji, mulai dari ber­bagai polusi yang dihasilkan dari perilaku tersebut baik berupa sampah yang tidak bias didaur ulang, berbagai jenis racun (toxic), hingga berbagai masalah keseha­tan lainnya, bah­kan banyak pihak yang mensinyalir bahwa perilaku konsumtif masya­rakat turut memberikan kontribusi yang signifikan bagi munculnya perma­salahan perubahan iklim (climate change).

Namun, maraknya industri periklanan, dengan berbagai kelihaiannya dalam membentuk opini publik, yang men­dorong kita untuk berperilaku konsumtif tetap terasa lebih dahsyat dan mampu memperdaya konsumen. Keha­diran berbagai buku yang mengan­jurkan pen­tingnya menghindari perilaku konsumtif yang sempat mengemuka beberapa tahun silam, seperti Small is Beautiful-nya E.F. Schumacher, seakan tidak mampu mem­bendung lahirnya masyarakat konsumtif yang tidak sadar, atau tidak mau tahu, akan serangkaian dampak negatif yang ditimbulkannya.

Oleh karena itu, upaya untuk menum­buhkan kesadaran akan bahaya perilaku konsumtif perlu segera ditanamkan oleh berbagai pihak, termasuk didalamnya para pemegang otoritas keagamaan.

Dampak budaya komsumtif

Konsumsi merupakan aktivitas manu­sia untuk membeli dan mengkonsumsi barang dalam memenuhi kebutuhan hi­dupnya. Dalam kajian ilmu ekonomi konsumsi sebagai salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan eko­no­mi. Dengan meningkatnya kon­sumsi akan terjadi peningkatan permin­taan terhadap barang dan jasa sehingga para produsen akan menambah volume produksi.

Namun konsumsi yang mele­bihi dari kebutuhan atau sudah mengarah pada budaya prilaku konsumtif akan berubah menjadi penyakit serius dalam kehidupan ekonomi maupun sosial bahkan ling­kungan.

Perilaku konsumtif sudah menjadi budaya konsumtifadalah watak yang selalu ingin berbelanja untuk tujuan prestise di tunggangi oleh egoisme. Yaitu faham yang hanya mencari kepuasan pribadi dengan cara berfoya-foya yang sering mengabaikan tanggung jawab sosial dan dampak buruk bagi lingkungan.

Ego merupakan ambisi untuk mengejar kepuasan nafsu yang tak berkecukupan. Akhirnya gaya hidup mewah dan konsumtif membuat seorang muslim tidak lagi peduli dengan halal atau haram dari produk yang dikonsumsinya yang akhirnya harus bertolak belakang dengan aturan Allah SWT.

Budaya konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup seke­lom­pok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai.  Masalah lebih besar terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak halal. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi.

Pada akhirnya budaya konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, politik, psikologis, sosial bahkan moral.Prioritas infaq berubah, sehingga banyak diantara kita yang berani mengeluarkan uang untuk membeli produk bermerek yang mahal harganya, karena kita sekaligus beli prestise.Tapi mereka merasa berat untuk menyumbang kegiatan ke-Islaman dan kikir jika untuk mendanai proyek-proyek amal. Selanjut­nya dampak dari konsumtif adalah bahaya bercokolnya dalam hati manusia sifat hedonistik dan individualistik.

Budaya konsumtif saat ini memang tengah mengancam kehidupan umat, telah menjebak umat Islam pada aktivitas me­ngejar kesenangan jasadi semata yang akan mendorong seseorang pada perbua­tan yang menyalahi hukum-hukum syara’ bahkan lebih jauh, akan membuat umat Islam berpaling dari tujuan hidup sebenarnya Yakni menjaga Islam dan memperjuangkan kemuliaannya

Penyakit ini akan terus berkembang dan meracuni umat Islam selama sistem kapitalisme dan paham sekularisme yang melandasinya masih mendominasi kehidu­pan umat Islam. Karena itu, saatnya kaum muslimin mencampakkan sistem yang rusak dan merusak ini, kemudian menggan­tinya dengan sistem kehidupan Islam yang menjamin kemuliaan hakiki dengan berupaya berdakwah membangun kesada­ran masyarakat dengan Islam kaffah.***

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UNA Kisaran.

()

Baca Juga

Rekomendasi